EDUNEWS.ID – Dalam buku-buku teks ekonomi, seringkali digambarkan bahwa kita, manusia, adalah makhluk yang sepenuhnya rasional. Setiap kali dihadapkan pada pilihan, kita akan menghitung untung-rugi dengan cermat, lalu membuat keputusan yang paling menguntungkan.
Mitos ini, yang telah berakar kuat selama puluhan tahun, kini mulai runtuh di hadapan sebuah disiplin ilmu baru yang menarik, Ekonomi Perilaku. Ilmu ini lahir dari pengamatan terhadap perilaku sehari-hari yang seringkali tidak masuk akal.
Kisah ini bermula dari seorang psikolog, Daniel Kahneman bersama rekannya Amos Tversky menghabiskan puluhan tahun meneliti cara otak manusia mengambil keputusan. Mereka menemukan bahwa alih-alih bertindak seperti komputer, kita seringkali dipandu oleh bias dan emosi.
Aversi Kerugian
Kahneman dan Tversky menemukan sebuah konsep revolusioner yang mereka sebut aversi kerugian (loss aversion). Secara sederhana, konsep ini menjelaskan bahwa rasa sakit akibat kehilangan uang, misalnya, dua kali lebih kuat dibandingkan kebahagiaan saat mendapatkan jumlah yang sama.
Bayangkan Anda kehilangan dompet berisi Rp 500.000. Rasanya pasti sangat sakit. Namun, jika Anda tiba-tiba menemukan uang Rp 500.000 di jalan, kebahagiaannya tidak akan sebesar itu. Fenomena ini yang seringkali membuat investor menahan saham yang merugi terlalu lama, berharap harganya kembali naik, hanya untuk menghindari rasa sakit akibat kerugian.
Temuan mereka ini, yang dirangkum dalam buku fenomenal Thinking, Fast and Slow (2011), menjadi fondasi bagi generasi ekonom baru.
Richard Thaler dan “Nudging”
Karya Kahneman kemudian menginspirasi Richard Thaler, seorang ekonom yang dikenal karena pendekatan uniknya. Thaler menyadari bahwa jika manusia tidak selalu rasional, kita bisa membantu mereka membuat keputusan yang lebih baik. Thaler dan rekan penulisnya, Cass Sunstein, menciptakan konsep “nudging” atau dorongan halus.
Nudging bukanlah paksaan, melainkan seni “arsitektur pilihan” atau cara suatu pilihan disajikan. Bayangkan Anda ingin mendorong karyawan untuk menabung pensiun. Daripada memaksa mereka mendaftar, pemerintah mengubah sistem menjadi “otomatis mendaftar, namun bisa keluar kapan saja.”
Secara psikologis, manusia cenderung pasif dan enggan melakukan perubahan. Dengan mengubah pengaturan default, tingkat partisipasi program pensiun melonjak drastis. Nudging kini digunakan di berbagai bidang, mulai dari kebijakan publik untuk mendorong pola makan sehat hingga kampanye penghematan energi.
Dampak Nyata
Kisah Ekonomi Perilaku bukan sekadar teori. Penerapannya terlihat di mana-mana. Pemasar menggunakan konsep aversi kerugian untuk membuat penawaran “terbatas” yang memicu ketakutan akan kehabisan. Pemerintah di seluruh dunia, termasuk Inggris dan Amerika Serikat, telah mendirikan unit khusus untuk menerapkan nudging dalam kebijakan publik.
Pada akhirnya, Ekonomi Perilaku mengajarkan kita satu hal, manusia adalah makhluk yang kompleks, tidak seutuhnya rasional, tetapi juga tidak seutuhnya irasional. Dengan memahami bias-bias yang ada dalam diri kita, kita bisa menciptakan sistem dan lingkungan yang membantu kita membuat keputusan yang lebih baik, baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat.
