JAKARTA, EDUNEWS.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjatuhkan putusan mengejutkan yang memisahkan jadwal Pemilihan Umum (Pemilu) nasional dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mulai tahun 2029.
Namun, keputusan ini tak hanya mengubah lanskap demokrasi, melainkan juga menyulut api kontroversi sengit, dengan DPR menuding MK telah melampaui kewenangannya.
Putusan MK bernomor 135/PUU-XXII/2024 secara spesifik mengatur bahwa Pemilu Presiden, DPR, dan DPD akan digelar terpisah dari Pemilu DPRD dan Pilkada (Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota). Nantinya, Pemilu daerah bakal dilaksanakan serentak, namun dengan jeda waktu 2 hingga 2,5 tahun setelah pelantikan pimpinan nasional. Ini secara definitif mengakhiri era “pemilu lima kotak” yang selama ini dikenal.
DPR: MK ‘Lompat Pagar’ dan Paradoks Putusan
Gelombang protes langsung datang dari Senayan. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhammad Khozin, tidak ragu melontarkan kritik keras. Menurutnya, MK telah “lompat pagar” dengan memutuskan hal yang seharusnya menjadi domain legislatif.
“Bahwa Undang-Undang (UU) Pemilu belum diubah pasca putusan 55/PUU-XVII/2019 tidak lantas menjadi alasan bagi MK untuk ‘lompat pagar’ atas kewenangan DPR. Urusan pilihan model keserentakan pemilu merupakan domain pembentuk UU,” tegas Khozin pada Jumat (27/6/2025).
Lebih lanjut, Khozin menyebut putusan MK terbaru ini sebagai “paradoks”. Ia merujuk pada putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang pada Februari 2020 silam, justru memberikan enam opsi keserentakan pemilu kepada DPR.
“Putusan 55 cukup jelas, MK dalam pertimbangan hukumnya menyadari urusan model keserentakan bukan domain MK, tapi sekarang justru MK menentukan model keserentakan,” ungkapnya. Khozin menekankan bahwa MK seharusnya konsisten dengan putusan sebelumnya, yakni hanya memberikan pilihan kepada DPR.
Di sisi lain, MK berdalih bahwa pemisahan ini diperlukan untuk mengurangi kejenuhan pemilih, memberikan ruang bagi masyarakat menilai kinerja pemimpin, serta menghindari terabaikannya isu-isu daerah akibat dominasi isu nasional. MK juga menyoroti dampak negatif keserentakan terhadap partai politik yang disebut mudah terjebak pragmatisme.
