JAKARTA, EDUNEWS.ID – Polemik seputar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135 Tahun 2025 yang memisahkan Pemilihan Umum (Pemilu) Nasional dan Pemilu Daerah terus bergulir di kalangan politisi.
Menyikapi pernyataan Ketua MPR Bambang Soesatyo yang menilai MK telah bergeser menjadi ‘aktor pembentuk hukum, pakar Hukum Tata Negara (HTN), Dr. Sukaca dengan tegas membantah tudingan inkonstitusionalitas tersebut.
Dr Sukaca, yang juga alumni UGM dan Kepala Pusat Kajian Otda serta PUU Universitas Dirgantara ini menjelaskan bahwa kewenangan MK dalam menguji undang-undang terhadap UUD 1945 didasarkan pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
“Lembaga negara yang dapat menafsirkan suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 hanyalah Mahkamah Konstitusi, sehingga tidak mungkin MK melampaui kewenangannya,” tegas Sukaca dalam keterangannya, Kamis (31/7/2025).
Menurutnya, putusan MK bersifat final, sehingga Pemerintah dan DPR mestinya segera menindaklanjuti dengan membentuk Undang-Undang Pemilu yang baru, bukan mempertanyakan kewenangan MK.
Ia menambahkan bahwa putusan MK yang bersifat mengatur detail implementasi bukanlah hal baru, merujuk pada putusan-putusan terkait masa jabatan kepala daerah atau persyaratan calon dari kalangan mantan narapidana.
Putusan MK Tidak Mengambil Alih Kewenangan DPR
Dr Sukaca menjelaskan bahwa MK tidak mengambil alih pembentukan undang-undang. Dalam amar putusannya, MK hanya menyatakan bahwa Pasal 167 ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
“MK menyatakan bahwa pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang ke depan dimaknai dengan pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden, yang kemudian disusul dalam waktu paling singkat dua setengah tahun sejak pelantikan, dilaksanakan pemungutan suara untuk pemilu daerah,” terang Dr Sukaca yang juga Alumni Program S3 Ilmu Hukum Unpad ini.
Ia juga menyoroti bahwa MK membatalkan secara bersyarat Pasal 3 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2015 dan menyerahkan kewenangan pengaturan masa transisi kepada Pemerintah dan DPR melalui “rekayasa konstitusional” dalam bentuk UU Pemilu yang baru.
Alasan di Balik Penolakan dan Solusi Transisi
Pemisahan Pemilu Nasional (2029) dan Pemilu Daerah (paling cepat 2031) dipandang Dr Sukaca akan menyulitkan calon DPR karena mereka harus berjuang tanpa tandem dengan calon DPRD, yang sebelumnya dapat berbagi biaya politik.
“Barangkali karena alasan ini mereka kencang menolaknya meskipun dengan menyudutkan MK,” imbuhnya.
Mengenai kekosongan jabatan kepala daerah, ia yakin hal tersebut dapat diatasi dengan pengangkatan penjabat (Pj) dari ASN, seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Namun, untuk anggota DPRD, diperlukan rekayasa konstitusional yang berbeda.
Untuk mengatasi hal tersebut, Dr Sukaca mengusulkan dua poin dalam UU Pemilu yang baru.
“Pertama, pelaksanaan pemilu dilakukan setiap lima tahun sekali, kedua, masa jabatan anggota DPRD juga lima tahun,” ungkapnya.
Selain itu, ia menyarankan agar pemilu daerah pertama kali dilaksanakan pada 2031, dan anggota DPRD hasil Pemilu 2024 tetap menjabat hingga terpilihnya anggota baru di 2031.
“Rekayasa konstitusional seperti ini sesuai Pasal 22E UUD 1945 dan amanat Putusan MK No. 135 Tahun 2025. Mudah, kan, tapi mengapa bikin gaduh?” pungkasnya. (**)
