Buku

Resensi: Menjadi Ilmuwan Feminis Hubungan Internasional

Muhammad Ahza Hafuza, Mahasiswa S1 Hubungan Internasional UMY

RESENSI, EDUNEWS.ID – Kebijakan luar negeri yang diputuskan oleh negara pada masa darurat atau peperangan selalu didasari untuk melindungi keamanan nasional. Hal inilah yang dipahami oleh para ilmuwan politik pada umumnya. Akan tetapi, bagi sebagian lainnya pemahaman ini dianggap bertentangan dengan arti keamanan itu sendiri.

Sebagai contoh kasus, kita tidak dapat memungkiri bagaimana peperangan yang dilakukan oleh para pria di Gaza, bukannya melindungi wanita dan anak-anak, merenggut puluhan ribu korban jiwa termasuk wanita dan anak-anak. Peperangan yang dilakukan antara Israel dan Hamas dengan maksud keamanan ini, tidak memberikan keadilan dan emansipasi bagi para wanita dan anak-anak, hal yang seharusnya ada dalam keamanan. Sekalipun kedua belah pihak berdalih dengan hak untuk mempertahankan diri ataupun meraih kemerdekaan, tetap saja dampak besar yang ditimbulkan seharusnya cukup untuk menghentikan laju peperangan.

Artinya, kedua belah pihak tidak memahami aspek feminis dalam mengartikan keamanan. Tentu masih banyak fenomena ataupun isu dalam hubungan internasional yang secara teori dan praktik, tidak menganggap feminisme sebagai bagian penting untuk dihiraukan.

Teori Feminisme

J. Ann Tickner, figur pertama pencetus perspektif feminisme dalam hubungan internasional, pada tahun 2001 lalu mempublikasikan buku dengan judul Gendering World Politics. Untuk kesekian kalinya, Tickner menjelaskan dengan sangat rinci apa itu feminisme. Bahwa secara teori, feminisme menjelaskan subordinasi wanita dan bagaimana cara mengatasinya. Sebagai suatu gerakan sosial, seseorang disebut feminis karena ia percaya akan pentingnya kesetaraan antara wanita dan pria serta tidak setuju apabila wanita dikurangi haknya dengan alasan jenis kelamin.

Buku ini terdiri dari 5 bab yang dimulai dengan Kontradiksi antara Teori-Teori Feminisme dan Hubungan Internasional (Bab I). Kemudian pada Bab Kedua membahas Peperangan, dan Keamanan Dalam Dimensi Gender, Dilanjutkan dengan Gender di Dalam Perekonomian Global, lalu beralih pada Demokratisasi, Negara, dan Tatanan Global, tentunya dengan perspektif gender. Akhirnya, ditutup (Bab V) dengan Konklusi dan Masa Depan Hubungan Internasional Perspektif Gender.

Tickner, dalam bukunya ini mencoba untuk membahas isu-isu kontemporer dalam ilmu hubungan internasional yang sering kali bertentangan dengan argumentasi feminis. Hal ini terjadi karena tidak sedikit ilmuwan hubungan internasional yang memandang sebelah mata argumentasi feminis dan menganggap teori feminis sebagai satu kesatuan ilmu pengetahuan. Untuk mengatasi pembatas keilmuan ini, Tickner mengklasifikasikan feminisme menjadi 6 pendekatan, yaitu feminisme liberal, radikal, sosialis, psikoanalitik, pasca-kolonial, dan pasca-modern.

Pendekatan-pendekatan feminisme dikatakan berbeda karena antara satu dengan lainnya memiliki pemahaman yang serupa, tetapi tidak sama tentang apa penyebab dari subordinasi wanita dan cara menghentikannya. Feminisme liberal meyakini bahwa diskriminasi adalah penyebabnya dan peran negara diperlukan untuk mengemansipasi hak-hak wanita. Feminisme radikal melihat patriarki atau sistem yang didominasi oleh pria sebagai penyebab dan menghargai karakter kewanitaan adalah solusinya. Dengan solusi yang sama, feminisme psikoanalitik melihat didikan masa kanak-kanak sebagai penyebab.

Pendekatan-pendekatan feminisme berikutnya (sosialis, pasca-kolonial, pasca-modern) memfokuskan penyebab dan solusi dari subordinasi wanita melalui konsep gender. Hal ini karena gender adalah seperangkat variabel yang karakteristiknya dikonstruksi secara sosial dan budaya. Seperangkat variabel seperti kekuatan, otonomi, rasionalitas, aktif, dan publik diasosiasikan sebagai stereotip pria. Sedangkan, variabel-variabel kebalikannya seperti kelemahan, ketergantungan/koneksi, emosionalitas, pasif, dan privat sebagai stereotip yang bersifat feminis.

Sebagai contoh, Direktur Pusat Studi Internasional University of Southern Californiaini menjelaskan bagaimana pendekatan feminisme sosialis melihat kesetaraan gender sebagai suatu hal yang mustahil. Feminisme sosialis mengklaim bahwa patriarki adalah bentuk dari kontrol pria terhadap tenaga kerja wanita. Mereka menganggap peran wanita sebagai ibu rumah tangga (privat) menyebabkan ketergantungan ekonomi. Bahkan sebagai buruh di eropa, wanita mendapat upah yang lebih sedikit dari pria dan memiliki tanggung jawab lebih banyak dalam pekerjaan rumah dibandingkan dengan pria. Pendekatan feminisme ini dan dua lainnya (paska-kolonial dan pasca-modern) mengalihkan subordinasi wanita menjadi konstruksi gender.

Oleh karena itu, feminisme merupakan suatu pemikiran yang bersifat interdisipliner dengan beragam pendekatan ada didalamnya. Buku yang ditulis oleh profesor hubungan internasional ini membantu kita untuk memahami bahwa feminisme memiliki banyak cabang teori. Jadi ketika hendak menganalisa isu-isu dalam ilmu hubungan internasional menggunakan teori feminisme. Hendaknya kita lebih merincikan teori mana dalam feminisme yang digunakan. Hal ini yang dibahas oleh Tickner tiga bab setelahnya. Keterkaitan antara feminisme dengan isu-isu dalam ilmu hubungan internasional, yang sudah diteliti oleh para ilmuan, dirangkum menjadi satu dalam publikasi akademiknya ini.

Feminis Hubungan Internasional

Buku ini sebenarnya hendak memberikan wawasan kepada kita semua bahwa feminisme dan hubungan internasional merupakan dua disiplin ilmu yang berbeda. Hanya saja, keduanya memiliki sifat transdisipliner atau kecenderungan untuk melewati batas-batas keilmuan. Karena feminisme dan hubungan internasional memiliki masalah yang kompleks sehingga memerlukan jawaban yang menyeluruh. Subordinasi wanita tentu saja adalah permasalahan yang melintasi batas-batas negara, maka seorang feminis harus mampu memahami bagaimana tingkah laku negara-negara ini terhadap wanita.

Jika kita sepakat bahwa diskriminasi terhadap wanita terjadi dalam lingkup global, maka pada aspek inilah kita dijuluki sebagai feminis hubungan internasional. Berbeda dengan ilmuwan hubungan internasional pada umumnya, teori tidak hanya digunakan untuk memahami dunia. Tetapi seturut J. Ann Tickner, feminis hubungan internasional menggunakan teori untuk memahami sekaligus mencari cara untuk mengubah dunia (hal 53-53). Sebagai misal, teori pilihan rasional digunakan oleh ilmuwan neorealis untuk memahami kecenderungan negara mempertahankan keamanan nasionalnya. Seorang neorealis bisa menjelaskan bahkan meyakinkan kepada masyarakat bahwa pajak yang dibelanjakan pemerintah untuk pertahanan negara itu benar.

Akan tetapi, rasionalitas itu menafikkan pertimbangan tentang korban jiwa dan kerusakan yang ditimbulkan akibat pertahanan negara yang digunakan untuk berperang, seperti perlakuan Israel terhadap warga Palestina (atau Hamas kepada Israel). Hal ini dikarenakan pertimbangan tersebut bersifat emosional, sesuatu yang distereotipkan kepada wanita. Melalui sudut pandang inilah feminisme hubungan internasional mencari cara untuk mengubah keadaan

Mungkin sejauh ini timbul pertanyaan, bagaimana bisa feminis hubungan internasional memberikan penyelesaian konflik yang lebih baik dari apa yang ditawarkan oleh teori dan praktik hubungan internasional pada umumnya. Jawabannya, seturut konklusi dari Tickner, seorang ilmuwan feminis hubungan internasional haruslah membangun tradisi keilmuan yang bersifat transdisipliner dan tidak hanya berpacu pada ilmu politik saja. Karena bagi feminis hubungan internasional, teori harusnya tidak dapat dipisahkan dari praktik dan praktik lah yang menyusun teori, sedang ada banyak cara untuk berpraktik.

Dengan kata lain, memang betul feminisme belum mampu memberikan solusi yang lebih baik, apalagi konkrit, tetapi sudut pandang feminis dalam hubungan internasional adalah krusial, menurut Tickner, ‘apabila hubungan internasional masih ingin berkontribusi untuk membangun dunia yang lebih damai dan berkeadilan (hal 147)

Oleh karena itu, kehadiran buku ini menjadi sangat penting untuk dibaca bagi para mahasiswa yang mempelajari ilmu hubungan internasional, para dosen, dan juga para pemerhati politik antar bangsa. Membaca buku ini dapat menambah wawasan pengetahuan kita agar semakin mampu melihat suatu fenomena sosial secara menyeluruh. Singkat saja, buku yang ditulis oleh pelopor perspektif feminisme dalam hubungan internasional ini wajib untuk direkomendasikan sebagai buku rujukan di kampus-kampus, terutama yang memiliki jurusan hubungan internasional.

Hemat penulis, sedikit sekali buku yang secara khusus membahas fenomena hubungan internasional melalui kacamata feminisme. Padahal, diskriminasi dan subordinasi terhadap wanita selalu kentara dalam segala aspek kehidupan apabila hendak dikaji lebih lanjut. Membaca buku ini membantu kita memperjelas letak ketidakadilan yang dialami oleh wanita dalam setiap fenomena dan isu dalam hubungan internasional. Itulah sumbangsih besar yang diberikan oleh buku ini kepada seluruh wanita (dan pria). Selamat membaca!

Yogyakarta, 24 Juli 2025

Data Buku

Judul: Gendering World Politics: Issue and Approaches in the Post-Cold War Era

Penulis: J. Ann Tickner

Penerbit: Columbia University Press

Tahun Terbit: 2001, New York

Tebal: 200 halaman

ISBN: 0-231-11366-8

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

Kirim Berita

  • redaksi@edunews.id
  • redaksiedunews@gmail.com

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top