Kampus

Rektor UII Tolak Sakralisasi Profesor hingga Tulis Edaran Cukup Panggil Nama

Rektor UII Fathul Wahid
Laman Sosial Media Rektor UII Fathul Wahid. Tangkapan layar akun Instagram @fathulwahid_

YOGYAKARTA, EDUNEWS.ID – Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Profesor Fathul Wahid menerbitkan surat edaran di lingkungan kampus UII agar seluruh gelarnya tidak dicantumkan di dalam surat resmi kecuali tandatangan korespondensi surat, dokumen, ijazah dan transkrip nilai mahasiswa, serta yang setara itu.

Tak hanya itu, pria yang pernah nyantri di Ponpes Krapyak Jogja ini juga secara tulus meminta kepada seluruh koleganya agar tidak memanggilnya dengan sebutan ‘prof’. Permintaan itu disampaikan melalui akun medsos di Instagram pribadinya.

“Dengan segala hormat, sebagai upaya desakralisasi jabatan profesor, kepada seluruh sahabat, mulai hari ini mohon jangan panggil saya dengan sebutan “prof.” Panggil saja: Fathul, Dik Fathul, Kang Fathul, Mas Fathul, atau Pak Fathul. Insyaallah akan lebih menentramkan dan membahagiakan. Matur nuwun,” demikian tulisan di akun Instagram @fathulwahid_ Kamis (18/7/2024).

Ia meminta kepada para profesor yang setuju dengan gerakannya tersebut agar turut serta melantangkan tradisi yang lebih kolegial ini. Dengan desakralisasi ini, ia berharap jabatan profesor tidak lagi dikejar oleh banyak orang.

“Termasuk para pejabat dan politisi, dengan menghalalkan semua cara,” terangnya.

Adapun surat edaran resmi dengan nomor 2748/Rek/10/SP/VII/2024 diterbitkan Fatul Wahid tertanggal 18 Juli 2024 . Dalam surat tersebut meminta kepada seluruh jajarannya agar cukup menuliskan nama Fathul Wahid dengan tanpa gelar apa pun termasuk gelar profesornya.

Dilansir dari Harianjogja.com melalui ponselnya, Fathul Wahid membenarkan kebijakan tersebut. Menurut dia ada tiga alasan yang mendasarinya menerbitkan kebijakan yang berbeda tersebut. Pertama, kata dia, untuk menjaga semangat kolegialitas.

“Jangan sampai jabatan profesor justru menambah jarak sosial. Kampus seharusnya menjadi salah satu tempat yang paling demokratis di muka bumi,” ungkapnya, Jumat (19/7/2024).

Alasan kedua, jabatan profesor memang sebuah capaian akademik, tetapi yang melekat di sana lebih banyak tanggung jawab publik.

“Saat ini, di Indonesia semakin banyak profesor, tetapi tidak mudah mencari intelektual publik yang konsisten melantangkan kebenaran ketika ada penyelewengan,” ujarnya.

Fathul mengungkap alasan ketiga adalah untuk mendesakralisasi jabatan profesor. Menurutnya jangan sampai jabatan profesor dianggap sebagai status sosial dan bahkan dikejar-kejar, termasuk oleh sebagian pejabat dan politisi, dengan mengabaikan etika.

“Kalau peraturan sih bisa dibuat. Banyak peraturan yang tidak kalis kepentingan. Saya berharap semakin banyak profesor yang berkenan ikut sebagai gerakan moral simbolik yang bisa menjadi budaya egaliter baru yang permanen,” tutupnya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

Kirim Berita

  • redaksi@edunews.id
  • redaksiedunews@gmail.com

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top