Oleh : Ahmad Sahide*
SPEKTRUM, EDUNEWS.ID-Munculnya nama Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), dalam kontestasi politik nasional 2024 menjadi salah satu isu yang ramai dibicarakan oleh publik, baik di warung-warung kopi maupun forum-forum akademik lainnya. Gibran secara resmi diumumkan oleh Prabowo Subianto sebagai calon wakil presiden mendampingi dirinya pada Ahad 22 Oktober 2023. Munculnya nama Gibran di pentas politik nasional diikuti dengan berbagai isu dan polemik yang dinilai oleh banyak pihak sebagai bentuk dari kemunduran kualitas demokrasi Indonesia.
Hal itu karena kemunculannya diikuti dengan kontroversi di Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah Undang-Undang (UU) yang mengatur soal batasan usia calon Presiden dan calon Wakil Presiden. MK memutuskan, dalam perkara 90/PUU-XXI/2023, seorang yang belum berusia 40 tahun tetapi pernah atau sedang menjabat sebagai Kepala Daerah boleh maju sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden (Kompas.id, 16/10/2023). Padahal, sebelum adanya perubahan UU oleh MK ini seseorang yang belum berusia 40 tahun tidak boleh maju sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden. Disinilah letak kontroversinya, anggapan publik secara luas melihat bahwa perubahan UU oleh MK tersebut hanya bagian dari upaya untuk membuka pintu bagi Gibran, yang baru berusia 36 tahun, dalam mengikuti kontestasi politik 2024.
Proses perubahan ini juga tidak terlepas dari persoalan etik karena tidak terhindarkan dari yang namanya konflik kepentingan. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Anwar Usman, Ketua MK, yang memutus perkara adalah adek ipar dari Presiden Joko Widodo, paman dari Gibran Rakabuming Raka. Tidak heran jika banyak yang memplesetkan MK menjadi ‘Mahkamah Keluarga’. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) akhirnya secara resmi menilai Anwar Usman melakukan pelanggaran kode etik. Selain itu, Anwar Usman juga diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua MK dan dilarang untuk mengadili sejumlah perkara persidangan (Kompas.id, 7/11/2023). Pemberhentian Anwar Usman sebagai Ketua MK menunjukkan kepada publik bahwa proses Gibran untuk maju sebagai calon wakil presiden bermasalah secara etik.
Dinasti politik
Isu lain yang mengiringi tampilnya Gibran mendampingi Prabowo Subianto dalam daur ulang demokrasi Indonesia 2024 adalah isu politik dinasti. Jokowi dalam masa akhir kepemimpinannya sedang membangun politik dinasti. Sebenarnya majunya Gibran sebagai calon Wali Kota Solo dan Bobby Nasution sebagai calon Wali Kota Medan beberapa tahun lalu sudah muncul wacana politik dinasti, tetapi wacana politik dinasti pada saat itu tidak sekuat saat ini untuk menyerang kepemimpinan Jokowi.
Wacana politik dinasti pada saat itu masih diperdebatkan sebab Gibran dan Bobby maju melalui pemilihan, artinya bahwa pilihan sebenarnya ada di tangan rakyat. Meski mungkin ada peran-peran struktur yang dimainkan Jokowi untuk mendorong dan memenangkan anak menantunya. Tetapi pada saat itu, cara Jokowi membangun politik dinasti tidak ‘sekasar’ saat mendorong Gibran untuk maju sebagai calon wakil presiden. Pasalnya, Gibran maju dengan ‘mengotak-atik’ hukum yang ada. Dari sini terlihat bahwa hukum bukan lagi sebagai panglima di republik ini, tetapi Jokowilah panglima yang sesungguhnya. Bukan Jokowi yang tunduk dengan aturan yang ada, tetapi aturanlah yang mengikuti kehendak politik Jokowi dan keluarganya. Maka warisan politik yang mungkin akan dikenang selalu orang rakyat Indonesia untuk Jokowi adalah bahwa dia memang terpilih secara demokratis dan melambangkan kesempurnaan demokrasi Indonesia dengan keterpilihannya, tetapi dia membangun politik dinasti. Akhir yang sangat disayangkan untuk merobohkan legasi politik yang telah dibangun oleh Jokowi selama sepuluh tahun kepemimpinannya.
Representasi anak muda
Wacana yang dibangun oleh partai pengusung Gibran dalam pentas politik nasional adalah bahwa Gibran mewakili generasi muda dan milenial saat ini. Hal ini dikatakan oleh Fathul Nugroho, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gibran Center bahwa Gibran sebagai simbol dan representasi anak-anak muda Indonesia (Antaranews.com, 23/11/2023). Namun demikian, yang dinanti oleh publik jika Gibran dianggap sebagai representasi anak muda adalah Gibran semestinya mampu menunjukkan bahwa kehadirannya bisa bertarung secara gagasan dan konsep melawan orang-orang tua yang kaya dengan pengalaman.
Sayangnya, Gibran gagal menunjukkan hal tersebut. Ada kesan bahwa Gibran takut untuk berdebat dan mendiskusikan konsep dan gagasannya jika nanti terpilih sebagai pemimpin di republik ini. Hal itu mulai terlihat ketika Gibran tidak hadir mendampingi Prabowo Subianto dalam dialog publik yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah bersama calon presiden dan calon wakil presiden Indonesia pada Jumat, 24 November 2023, di Universitas Muhammadiyah Surabaya. Ketidakhadiran Gibran dalam dialog publik yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini kemudian diikuti oleh wacana Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang merubah format debat cawapres yang didampingi oleh calon presiden. Wacana ini kemudian semakin menguatkan persepsi publik bahwa Gibran takut untuk berdebat, bertarung secara gagasan, dengan calon-calon wakil presiden lainnya yang dianggap golongan tua. Di samping itu, ada kesan Gibran berupaya ‘diselamatkan’ secara struktural, terlebih KPU selama ini telah dinilai sebagai ‘wasit’ yang ikut bermain. Yang terakhir adalah Gibran menolak untuk hadir dalam dialog interaktif TvOne Bersama cawapres pada Rabu, 6 Desember 2023.
Oleh karen itu, jika kehadiran Gibran dilihat sebagai figur yang merepresentasikan kaum muda dan bahwa saatnya kaum muda memimpin republik ini adalah tesis yang sangat dipaksakan secara politis. Gibran gagal menunjukkan kepada publik bahwa anak-anak muda siap bertarung secara gagasan dengan golongan tua. Gibran tidak sanggup menunjukkan bahwa anak-anak muda punya gagasan dan konsep yang cemerlang untuk Indonesia ke depan. Yang publik lihat adalah Gibran maju sebagai calon wakil presiden sebagai ‘repsentasi’ Jokowi yang dipaksakan dan tidak punya konsep dan gagasan kebangsaan yang jelas. Maka Gibran bukanlah Sutan Sjahrir sebagaimana dikatakan oleh Airlangga Hartanto (Tempo.co, 27/10/2023). Sjahrir muncul di panggung politik nasional pada usia muda bukan karena ada orang tua dan pamannya yang membukakan jalan. Sjahrir muncul karena gagasan dan konsep kebangsaannya yang dia perjuangkan meski harus dibuang. Gibran? Dia muncul sebagai figur yang takut berdebat.
Demokrasi yang sehat dan mapan adalah demokrasi dengan pertarungan gagasan, bukan pertarungan baliho dan bagi-bagi logistik. Juga penting untuk kita catat bahwa ‘membedah’ gagasan, konsep, alam pikir, dan perspektif seorang calon pemimpin dalam sistem demokrasi adalah suatu keharusan agar publik tahu akan dibawa kemana negara yang dipimpinnya berlabuh. Ingat, bangsa yang besar adalah bangsa yang digerakkan dengan gagasan besar, bukan dengan gagasan serampangan. Inilah yang belum bisa dibuktikan oleh Gibran yang mengklaim sebagai representasi anak muda dan milenial.
Oleh karena itu, kemunculan Gibran sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo bukanlah indikator akan kemajuan demokrasi Indonesia, melainkan kemunduran. Gibran membangun kultur baru demokrasi Indonesia di mana dalam berdemokrasi tidak perlu gagasan dan konsep, yang penting populis dan dapat dipilih. Jika demokrasi kita masih pada level ini, maka yakin dan percayalah Indonesia sulit untuk menjadi negara dengan peradaban besar yang disegani dunia ke depan. Peradaban lahir dari gagasan besar dan kita memilih seorang pemimpin untuk membangun peradaban!
Yogyakarta, 9 Desember 2023.
Ahmad Sahide. Ketua Prodi Hubungan Internasional Program Magister Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan Penggiat Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta
