REDAKSI, EDUNEWS.ID– Publik kembali dipertontonkan dengan drama anggaran di Senayan. Kali ini, yang menarik perhatian adalah tunjangan reses—dana yang seharusnya menjadi jembatan antara wakil rakyat dan konstituennya sungguh fantastis. Dana reses anggota DPR tiba-tiba melonjak dari Rp400 juta di periode sebelumnya menjadi Rp702 juta per masa reses, angka yang membuat dahi publik kembali berkerut.
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, muncul ke publik untuk memberikan penjelasan. Narasi yang ia sampaikan fokus pada rasionalisasi. Menurutnya, kenaikan itu bukan sekadar kenaikan, melainkan penyesuaian karena ‘indeks kegiatan dan jumlah titik kunjungan’ anggota dewan yang bertambah. Secara implisit, Dasco ingin meyakinkan bahwa setiap Rupiah tambahan itu adalah konsekuensi logis dari kerja keras dan mobilitas dewan yang meningkat. Dalam logika ini, dewan tidak meminta lebih, mereka hanya dibayar sesuai beban kerja baru mereka.
Sandiwara ‘Human Error’
Dasco kemudian mengungkapkan adanya insiden ‘human error’ yang nyaris lolos. Ia menjelaskan bahwa ada rencana (yang kemudian dibatalkan karena protes publik) untuk menaikkan dana reses lagi sebesar Rp54 juta. Ajaibnya, meskipun rencana pembatalan itu sudah disepakati di tingkat pimpinan, Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI tetap mentransfer dana yang ‘naik’ itu kepada para anggota dewan.
Pernyataan Dasco mengenai ‘human error’ ini tentu menimbulkan keraguan-sekaligus pertanyaan. Dalam birokrasi yang seharusnya ketat dan terpusat seperti Setjen DPR, transfer dana ratusan juta Rupiah kepada ratusan anggota dewan seharusnya melalui prosedur berlapis. Bagaimana mungkin sebuah ‘kesalahan manusia’ bisa lolos dalam sistem yang mengelola keuangan negara sebesar itu?
Narasi ‘human error’ ini, alih-alih meredakan kecurigaan, justru menyingkap ‘tabir’ usulan kenaikan tunjangan DPR selalu berada dalam posisi default (siap dilaksanakan). Kecelakaan transfer ini seolah mengonfirmasi bahwa keinginan untuk menaikkan tunjangan selalu ada, dan hanya pembatalan yang bersifat politis (karena unjuk rasa masyarakat) yang dapat menahannya.
Penghianatan Kepercayaan Publik
Pada akhirnya, meskipun Dasco menjamin dana kelebihan telah ditarik kembali dan angka reses kembali ke Rp702 juta, kepercayaan publik kini kembali tercederai.
Kenaikan tunjangan reses hingga 75% menyoroti prioritas internal DPR yang seolah terpisah dari realitas ekonomi rakyat yang mereka wakili. Dalam konteks di mana publik menuntut transparansi dan efisiensi, justifikasi kenaikan yang ‘abu-abu’ berupa ‘penambahan titik kunjungan’ tentu tidaklah cukup.
Pernyataan Dasco, yang berupaya menampik kenaikan dengan menyebutkan ‘human error’, justru secara naratif menyoroti kelemahan sistem dan besarnya godaan untuk terus menambah alokasi bagi diri sendiri. Kenaikan tunjangan ini adalah kenyataan, dan ‘human error’ hanyalah ‘kambing hitam’.
