LIPUTAN KHUSUS, EDUNEWS.ID – “KEMBALIKAN TANAH RAKYAT”, begitulah tulisan spanduk yang dibentangkan sekelompok orang dengan kostum mayoritas hitam yang mengatasnamakan Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah (GRAMT).
Dalam selebran yang mereka bagikan sudah cukup memberikan gambaran bahwa tanah yang mereka tuntut untuk dikembalikan adalah tanah milik kaum tani Bulukumba yang dirampas oleh perusahaan perkebunan karet yaitu PT. Lonsum.
Dari selebaran itu juga bisa kita lihat bahwa ternyata HGU PT. Lonsum telah berakhir sejak 31 Desember 2023, namun nyatanya pasca itu tanah-tanah rakyat yang sebelumnya dirampas oleh PT. Lonsum tidak kunjung dikembalikan.
Aksi yang mereka lakukan mungkin sangat berbeda dari aksi-aksi pada umumnya. Karena aksi kali ini mereka lakukan di depan Masjid Al Markaz Kota Makassar. Sangat sulit dimengerti dan menimbulkan tanda Tanya kepada masyarakat umum, mengapa tuntutan pengembalian hak atas tanah di lakukan di depan masjid ?
Supianto selaku penanggung jawab aksi kemudian menjelaskan alasan mereka melakukan aksi di depan masjid dikarenakan telah diselenggarakannya mediasi oleh Kanwil ATR/BPN di aula Masjid Al Markaz yang mempertemukan antara PT. Lonsum dengan kaum tani Bulukumba.
“Jadi di dalam sana ada mediasi yang diselenggarakan oleh Kanwil ATR/BPN yang menghadirkan beberapa pihak termasuk yang selama ini berkonflik yaitu kaum tani Bulukumba dan PT. Lonsum. Sebenarnya kami juga heran kenapa mediasi ini dilaksanakan di aula masjid Al Markaz, bukan di kantor ATR/BPN Sulsel,” jelas Supianto atau yang lebih dikenal dengan nama Ijul.
Ijul menambahkan jika aksi ini sebenarnya sebagai bentuk dukungan dan solidaritas pada kaum tani Bulukumba.
“Kami dari Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah (GRAMT) yang didalamnya tergabung puluhan organisasi dari berbagai sektor seperti Mahasiswa, Petani, NGO, dsb. Kemudian menyepakati untuk tetap melakukan aksi di depan masjid Al Markaz sebagai bentuk solidaritas dan dukungan kami terhadap kaum tani Bulukumba yang terampas tanahnya,” tegas Ijul.
Pertemuan dan Mediasi Terlaksana Setelah Aksi Rutin dan Desakan kepada Kanwil ATR/BPN Sulsel.
Sebelum pertemuan dan mediasi ini terlaksana, GRAMT terbilang cukup rutin mendatangi kantor ATR/BPN Sulsel baik melalui perwakilan maupun dengan beramai-ramai dengan aksi massa.
Dasar kedatangan mereka adalah masuknya permohonan pengukuran HGU PT. Lonsum sebagai rangkaian dalam permohonan pembaharuan HGU sejak 2021. Pengukuran tersebut nyatanya tidak mengeluarkan tanah-tanah rakyat dari HGU PT. Lonsum. Artinya, hal tersebut dapat semakin memperpanjang konflik antara PT. Lonsum dan kaum tani Bulukumba.
Ahmad pimpinan wilayah Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Sulsel yang juga bertindak sebagai humas GRAMT menerangkan bahwa pembaharuan HGU PT. Lonsum mengenyampingkan hak-hak rakyat dan akan semakin memperpanjang konflik agraria di Bulukumba.
“Kami menilai bahwa pembaharuan HGU PT. Lonsum akan semakin memperpanjang konflik agraria di Bulukumba.Sehingga untuk menghindari hal itu kami dari GRAMT meminta dan mendesak kepada ATR/BPN Sulsel untuk tidak memberikan pembaharuan HGU pada PT. Lonsum. Serta meminta mereka untuk berupaya menyelesaikan konflik telah terjadi sejak dulu. Kami bahkan beberapa kali melakukan aksi untuk mendesak hal tersebut,” jelasnya.
Salah satu aksi yang mereka lakukan itu pada tanggal 15 Januari 2024. Bukan hanya di depan kantor ATR/BPN Sulsel, tapi juga dilakukan di depan kantor ATR/BPN Bulukumba. Aksi tersebut bertujuan untuk meminta panitia B menunda rencana peninjauan/verifikasi lapangan.
“Aksi serentak di 2 kota yang kami lakukan karena kami mendapat kabar bahwa panitia B akan turun melakukan peninjauan lokasi pada tanggal 17 – 19 Januari 2024. Dalam surat balasan dari kanwil ATR/BPN Sulsel mengatakan bahwa klaim tanah warga akan dipertimbangkan berdasarkan data dan informasi yang dimasukkan oleh PT. Lonsum. Artinya, ATR/BPN Sulsel mengesampingkan data dan informasi yang kami masukkan ke ATR/BPN Sulsel. Ini jelas akan sangat merugikan warga, karena PT. Lonsum sama sekali tidak mengakui klaim tanah warga didalam HGUnya,” tegas Ahmad.
Tidak hanya dalam bentuk aksi, upaya penolakan juga dilakukan melalui mekanisme persuratan. Dimana setidaknya ada 4 surat keberatan yang masuk ke Kanwil ATR/BPN Sulsel dengan muatan yang tidak jauh berbeda yang intinya berkeberatan atas permohonan pembaruan HGU PT. Lonsum.
“Kami juga memasukkan surat keberatan. Bukan hanya ke ATR/BPN Sulsel, tapi hingga nasional. Bahkan ke beberapa instansi lain selain ATR/BPN,” tutur Ahmad.
Apa yang disampaikan oleh ahmad juga dikonfirmasi langsung oleh Kepala Kanwil ATR/BPN Sulsel Tri Wibisono, S.T, M.T, pada pertemuan mediasi.
“Ada 4 surat keberatan atas permohonan pembaruan HGU PT. Lonsum yaitu dari GRAMT, LBH Makassar, AGRA Bulukumba dan beberapa organisasi mahasiswa. Keberatan itu juga sering mereka lakukan melalui aksi di depan kantor kami. Sehingga kami menyimpulkan kalau perlu ada pertemuan mediasi. Kenapa tanggal 19 Februari 2024 yang kami ajukan sebagai waktu mediasi, karena kami ingin melewatkan momen pemilu serentak agar dapat berjalan dengan lancar.” Ungkap bapak Tri Wibisono. Mediasi antara PT. Lonsum dan Kaum Tani Bulukumba di Aula Masjid Al Markaz.
Hari yang dijanjikan pun tiba, 19 Februari 2024 jadi hari penting kaum tani Bulukumba. Sebagai pihak yang mengundang, Kanwil ATR/BPN memimpin pertemuan. Selain 2 pihak yang berkonflik, Kanwil ATR/BPN Sulsel juga mengundang pihak lain seperti Kejaksaan Tinggi Sulsel, Pemkab Bulukumba, Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H, Panitia B, beberapa Camat & Kepala Desa di Bulukumba. Tampak juga dalam pertemuan pihak keamanan dari Polda Sulsel.
“Sebenarnya saya juga heran kenapa mediasi ini dilakukan di Aula Masjid Al Markaz. Jujur saya hanya tanda tangani saja undangan itu. Karena hal yang paling penting menurut saya mediasi ini bisa terlaksana dimanapun tempatnya,” jelas Kakanwil ATR/BPN Sulsel.
“Harapannya pertemuan ini bisa menghasilkan suatu titik terang, itu juga kenapa kami mengundang pihak lain selain 2 pihak yang berkonflik ini. Terutama untuk panitia B, pertemuan ini juga bisa menambah catatan panitia B sebelum melakukan verifikasi lapangan,” tambahnya.
Abdul Azis Dumpa wakil direktur YLBHI-LBH Makassar yang juga bertindak sebagai juru bicara dari warga dan GRAMT dalam pertemuan dan mediasi tersebut membuka dengan menyampaikan tuntutan masyarakat dalam proses pembaharuan HGU PT. Lonsum.
“Dalam proses pembaharuan HGU PT. Lonsum, kami meminta PT. Lonsum untuk mengeluarkan tanah-tanah rakyat dari HGU tersebut. Objek yang kami maksudkan disini ialah berdasarkan Putusan Mahkama Agung (MA) no. 2553 K/PDT/1987, Sertifikat Hak Milik, hasil verifikasi berdasarkan SK Bupati Bulukumba no. 180 / IV / 2012 serta tanah ulayat masyarakat hukum adat Ammatoa Kajang berdasarkan Perda no. 9 tahun 2015 tentang pengukuhan, pengakuan hak, dan perlindungan hak masyarakat hukum adat Ammatoa Kajang,” papar Azis.
Azis Dumpa juga menambahkan bahwa kesepakatan penyelesaian sengketa yang difasilitasi oleh kementerian dalam negeri (Kemendagri) pada tahun 2018 harus dijalankan.
“Tahun 2018, melalui perjuangan yang begitu panjang hingga Kemendagri RI kemudian menyelenggarakan pertemuan untuk penyelesaian konflik/sengketa dan menghadirkan semua pihak yang terkait. Dalam pertemuan itu pula menghasilkan kesepakatan yang pada pokoknya merekomendasikan untuk melakukan rekonstruksi batas HGU dan pengukuran ulang untuk memastikan HGU PT. Lonsum dan hak-hak kaum tani Bulukumba serta masyarakat adat tidak beririsan. Hal itu seharusnya dilakukan sebelum adanya permohonan pembaruan HGU dan sebelum HGU PT. Lonsum berakhir pada 31 Desember 2023. Namun nyata itu tidak ditindaklanjuti hingga saat ini,” jelas Azis.
Mewakili pihak PT. Lonsum, Rusli yang juga merupakan humas PT. Lonsum menjelaskan bahwa keberadaan PT. Lonsum di Bulukumba sudah lebih dari 100 tahun tepatnya pada 1919 melalui hak erfpacht.
“PT. Lonsum di Bulukumba telah beroperasi dari tahun 1919 berdasarkan erfpacht artinya jauh sebelum ada SHM, Putusan MA dan Perda no. 9 tahun 2015 tentang pengukuhan, pengakuan hak, dan perlindungan hak masyarakat hukum adat Ammatoa Kajang. Ini juga telah mendapatkan perpanjangan beberapa kali dan terakhir pada tahun 2021 bermohon untuk diberikan pembaruan
“Selama dalam penguasaan, atau selama dalam aktivitas operasional kami tidak pernah mengetahui bahwa di dalam HGU kami terdapat tanah-tanah masyarakat adat dan local. Tanah yang kami kelola adalah tanah HGU yang diperoleh secara sah berdasarkan peta yang ada,” tambahnya.
Amiruddin, salah seorang warga yang berkonflik dengan PT. Lonsum juga hadir dalam pertemuan dan mediasi tersebut merespon pernyataan dari Rusli. Dia menjelaskan kesaksiannya.
“Tim verifikasi telah turun ke lapangan dan telah menemukan beberapa fakta bahwa beberapa lokasi yang ada dalam wilayah PT. Lonsum merupakan tanah garapan warga, kuburan-kuburan, sumur, sebelum dirampas oleh PT. Lonsum. Berbicara soal PT. Lonsum telah masuk pada 1919 dan berada lebih dulu dari pada bukti-bukti yang kami temukan menurut kami itu salah besar. Karena saya saksikan sendiri, bagaimana tanaman-tanaman warga yang ditebang paksa pada tahun 1977 dan semakin meluas areal perampasannya hingga tahun 1990,” ujar Amiruddin.
Perbedaan pandangan seperti yang tergambarkan diatas yang menjadi alasan konflik ini tidak pernah terselesaikan. Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H, guru besar fakultas hukum UNHAS yang juga diundang dalam mediasi tersebut turut memberikan pandangannya terkait peran ATR/BPN Sulsel dalam upaya penyelesaian sengketa apalagi pasa masa berakhirnya HGU PT. Lonsum.
“Di dalam pembaharuan HGU, secara hukum memang diatur untuk melibatkan seluruh pihak yang bersangkutan. Disini ATR/BPN harus aktif dalam memberikan informasi terkait itu, jangan sampai pihak-pihak yang bersangkutan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan data maupun informasi atas suatu objek yang berkonflik atau bersengketa. Supaya, jangan nanti terbit pembaharuan HGU kemudian baru muncul keberatan dari pihak-pihak lain,” jelas Abrar.
Pertemuan dan Mediasi saat itu nyatanya tidak mampu memperoleh kesepakatan sebagaimana yang diharapkan. Karena kedua pihak sama-sama menganggap mereka memiliki pegangan yang kuat. Kakanwil ATR/BPN Sulsel kemudian memutuskan agar panitia B dapat mempelajari dengan baik dan mendalam data, informasi dan dokumen yang telah dikumpulkan oleh kedua pihak agar menjadi pertimbangan dalam melakukan verifikasi lapangan.
“Jadi Panitia B silahkan pelajari dokumen-dokumen yang ada sebelum melakukan pengecekan lapangan. Panitia B tidak boleh hanya duduk manis. Dokumen yang dikirim oleh PT. Lonsum dan warga melalui beberapa organisasi pendampingnya adalah dasar kita dalam melakukan verifikasi lapangan agar bisa clear and clean,” tegas Tri Wibisono.
Sebelum pertemuan mediasi ini berakhir, Rudy Tahas ketua AGRA Bulukumba kemudian kembali menekankan bahwa mediasi ini tidak lahir dengan sendirinya, namun lahir dari desakan kawan-kawan desalinasi. Selain itu, mediasi ini bukanlah mediasi pertama.
“Desakan dari kawan-kawan di aliansi adalah salah satu alasan kuat kenapa mediasi ini bisa lahir. Kemudian mediasi ini bukanlah mediasi pertama, namun telah banyak mediasi-mediasi yang telah dilakukan sebelumnya. Mulai dari Bulukumba hingga ke kantor Kemendagri RI pada tahun 2018. Tahun 2021 BPN pusat datang untuk melakukan pengukuran ulang berdasarkan permohonan pembaharuan HGU PT. Lonsum. Merespon itu kami melakukan protes di pendopo rujab Bupati karena yang diukur hanyalah patok berdasarkan permohonan PT. Lonsum tanpa mempertimbangkan klaim warga. Kemudian protes kami direspon oleh BPN pusat dengan meminta kami mengumpulkan peta dan dokumen klaim warga yang katanya akan di overlay dalam PT. HGU yg telah diukur. Tapi setelah peta itu selesai, tidak ada sejengkal pun klaim warga yang dikeluarkan dari HGU PT. Lonsum,” tegas Rudy.
Salah satu tugas dari panitia B adalah menyelesaikan konflik/sengketa yang terjadi di atas objek tanah yang akan diperbarui. Sehingga penting untuk mempertimbangkan data dari 2 belah pihak.
“Seandainya kami tidak melakukan aksi di Bulukumba dan di Makassar, panitia B pasti telah melakukan peninjauan lokasi. Kenapa kami aksi untuk minta tunda itu, karena dokumen yang kami kirim itu tidak pernah dipelajari oleh panitia B dan itu yang membuat kami kecewa. Seandainya terus berjalan dan hanya mengutamakan dokumen dari PT. Lonsum, artinya syarat pembaharuan HGU yaitu Clean and Clear tidak terpenuhi karena panitia B hanya mempertimbangkan dokumen dari 1 pihak saja. Momentum ini kami harapkan bisa mampu melahirkan koordinasi yang baik dari panitia B kepada 2 pihak ini. Artinya marilah kita duduk bersama dan mendiskusikan serta menilai ketika peta HGU PT. Lonsum di timpa dengan peta klaim warga dan kemudian ditemukan fakta bahwa betul ada irisan dari klaim warga di dalam HGU PT. Lonsum, artinya tanah-tanah itu harus dikeluarkan dari peta HGU PT. Lonsum,” tambah Rudy.
Konflik, Kekerasan dan Perlawanan Sejak 100 Tahun Lalu
Berbicara soal konflik antara Masyarakat dan PT. Lonsum, akan sangat panjang dan belum terselesaikan sampai saat ini. Perusahaan perkebunan karet yang diharapkan hadir memberi kesejahteraan bagi masyarakat ternyata menyisakan banyak luka bagi penduduk yang terampas tanahnya. PT. Lonsum masuk di Bulukumba sejak tahun 1919 sebagai PMA dibidang perkebunan dengan nama NV Celebes Landbouw Maatschappij melalui keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda No. 43 dan 44 tanggal 10 Juli 1919 dengan status hak erfpacht.
Perampasan tanah setidaknya mengakibatkan ratusan orang harus meninggalkan tempat tinggalnya. Berdasarkan laporan yang disusun oleh KontraS, terjadi begitu banyak penggusuran sejak ada PT. Lonsum. 1977-1978 menggusur 150 Ha termasuk puluhan rumah di dalamnya di dusun Balihuko desa Bonto Mangiring. 1979 seluas 373 Ha yang didalamnya terdapat rumah, kebun, sawah di desa Balong. 1981-1982 menggusur 546,6 Ha di desa Bonto Biraeng yang didalamnya sekitar 500 rumah, kebun dan sawah, serta di Desa Jojolo sekitar 373 Ha yang terdapat puluhan rumah di dalamnya beserta kebun dan sawah. 1984 Desa Tibona yang kemudian menjadi korban penggusuran, ada sekitar 500 Ha lahan yang di klaim oleh PT. Lonsum. 1984-1989 PT. Lonsum mencaplok tanah di Desa Tammatto dengan luasan sekitar 500 Ha, tercatat ada 705 rumah yang digusur 4 antaranya di bakar serta kebun dan sawah milik masyarakat. Tahun 1989 Tibona kembali digusur dengan luasan berkisar 500 Ha.
Al Iqbal, Kepala Bidang Advokasi dan Kampanye KontraS Sulawesi menuturkan bahwa Pertemuan membahas penyelesaian konflik sebenarnya sudah sangat sering dilakukan, namun menjalankan rekomendasi hasil pertemuan maupun mediasi ini yang tidak kunjung dilakukan.
“Kasus di Bulukumba sebenarnya telah diupayakan berkali-kali untuk penyelesaian konfliknya. Salah satunya hasil mediasi di Kemendagri RI tahun 2018 yang melahirkan rekomendasi untuk melakukan rekonstruksi batas HGU dan pengukuran ulang untuk memastikan HGU PT. Lonsum dan hak-hak kaum tani Bulukumba serta masyarakat adat tidak beririsan. Dengan cara memastikan data dan dokumen 2 pihak ini. Namun itu tak kunjung dilakukan oleh ATR/BPN. Abainya pihak yang berwenang akan rekomendasi-rekomendasi yang lahir dari setiap upaya maupun mediasi yang telah dilakukan adalah penyebab dari tidak selesainya sengketa antara warga dengan PT. Lonsum,” tuturnya.
Tidak hanya itu, tidak dijalankannya rekomendasi juga merupakan penyebab kekerasan-kekerasan di masa lalu hingga saat ini terjadi. Dan yang pastinya kaum tani Bulukumba lah yang selalu menjadi korban.
“Catatan KontraS terkait kekerasan yang terjadi di Bulukumba merupakan hasil dari tidak dijalankannya rekomendasi atau tidak seriusnya pihak yang berwenang dalam menyelesaikan konflik tersebut. Sudah ada yang dipenjara, dipukuli, hingga korban jiwa yang jatuh akibat konflik tersebut. Dan yang pastinya masyarakat sipil / kaum tani Bulukumba lah yang selalu menjadi korban kekerasan. Ini menunjukkan gagalnya negara dalam menjamin keamanan dan keselamatan rakyatnya untuk dapat mandiri atas tanahnya. ATR/BPN melalui panitia harus hadir dan memberikan peran aktif untuk menyelesaikan konflik dengan mempertimbangkan dokumen dan informasi dari kedua pihak sehingga syarat Clean and Clear itu dapat terpenuhi,” tambahnya.
