Dalam amar putusannya yang dibacakan pada Jumat (27/6/2025), Ketua MK Suhartoyo menyatakan bahwa Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
MK memaknai bahwa Pilkada (Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota) serta pemilihan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota harus dilaksanakan dalam rentang waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR/DPD atau Presiden/Wakil Presiden.
Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan salah satu alasan utama di balik putusan ini adalah pandangan MK bahwa keserentakan pemilu yang sebelumnya terlalu padat telah menyebabkan kejenuhan masyarakat dan menghambat fokus pada isu-isu lokal.
“Menurut Mahkamah, keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum yang konstitusional ke depan adalah dengan memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD dan presiden/wakil presiden, dengan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota,” terang Saldi Isra.
MK juga menilai bahwa jadwal Pilpres dan Pileg yang berdekatan dengan Pilkada menyebabkan minimnya waktu bagi rakyat untuk mengevaluasi kinerja pemerintahan dan anggota legislatif. Selain itu, kondisi ini juga dinilai mengabaikan masalah pembangunan daerah karena fokus yang terlalu besar pada isu-isu nasional.
Dampak lain yang disoroti MK adalah tekanan terhadap partai politik. Tahapan pemilu nasional dan daerah yang berdekatan dalam rentang kurang dari satu tahun disebut-sebut berdampak pada kemampuan partai politik dalam menyiapkan kader dan berpotensi menjebak mereka dalam pragmatisme, ketimbang menjaga idealisme dan ideologi partai.
Mengenai pengaturan masa transisi atau peralihan masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pemilihan 27 November 2024 serta yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan 14 Februari 2025, MK menyerahkan sepenuhnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pembentuk undang-undang. MK menyarankan agar DPR melakukan “rekayasa konstitusional” untuk mengatur masa transisi ini sesuai dengan prinsip norma peralihan (**)
