Ahmad Sahide

Anies dan Penantian Warisan Demokrasi Jokowi

Ahmad Sahide

Oleh: Ahmad Sahide*

OPINI, EDUNEWS.ID-Wacana pemilihan presiden 2024 kini sudah mulai banyak dan mendominasi diskursus di media sosial. Narasi sindir-menyindir kemudian banyak disuguhkan oleh aktor-aktor politik nasional, termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang katanya akan ikut cawe-cawe (Tinarbuko, 16/07/2023). Sampai saat ini, setidaknya ada tiga figur yang sudah mendeklarasikan dirinya akan maju dalam kontestasi politik pada daur ulang demokrasi kita 2024 nantinya. Ketiga tokoh itu adalah Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto. Golkar sepertinya masih menjajaki kemungkinan untuk membentuk poros baru selain dari ketiga poros yang sudah terbangun tersebut.

Dari ketiga figur yang sudah mendeklarasikan diri tersebut, Anies Baswedan yang diusung oleh Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Demokrat menjadi kandidat yang berbeda. Pasalnya Anies dinarasikan sebagai kandidat oposisi terhadap pemerintahan Presiden Jokowi. Anies tidak pernah mendapatkan ‘restu’ dari istana untuk maju, berbeda dengan Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. Ganjar dan Prabowo kemudian dinarasikan sedang memperebutkan suara pemilih Jokowi (Kompas, 23/05/2023). Prabowo dan Ganjar seolah dibukakan jalan oleh Jokowi untuk menjadi penerusnya, sementara Anies ditutup berbagai jalannya menuju istana. Setidaknya ini yang terbangun di benak publik secara luas saat ini.

Jalan Terjal untuk Anies

Anies kemudian menemui jalan terjal untuk menjadi orang nomor satu di republik ini. Anies tidak hanya melawan Ganjar dan Prabowo pada pilpres mendatang, tetapi juga melawan rezim pemerintahan Jokowi. Anies melawan elite sebagaimana Jokowi melawan elite pada pilpres 2014 lalu. Dinamika politik dan kontestasi inilah yang membuat kualitas demokrasi kita mengalami kemunduran serta kurang sehat. Hal itu karena salah satu unsur demokrasi menurut Robert E. Dahl adalah adanya kesempatan yang relatif terbuka bagi semua untuk berkompetisi dalam memeperebutkan jabatan publik. Anies nampaknya tidak mendapatkan itu. Ia menjadi kandidat yang ‘terpinggirkan’ di antara kandidat lainnya. Ganjar dan Prabowo berkali-kali bertemu dengan Jokowi, sementara Anies tidak.

Akan sangat bijak bagi Jokowi tentunya dan juga sehat untuk iklim demokrasi kita seandainya membuka pintu bagi Anies untuk bertemu. Toh, Anies pernah menjadi jubir kampanyenya pada pilpres 2014 melawan Prabowo Subianto. Kemudian bergabung dalam kabinet yang dibentuk oleh Jokowi pada awal pemerintahannya. Jokowi sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) tentu mempunyai preferensi politik. Tetapi Jokowi sebagai presiden yang tidak lagi ikut dalam kontestasi semestinya menunjukkan netralitas di ruang publik meski di dalam bilik suara ia tetap mencoblos salah satu dari ketiga tokoh itu.

Inilah warisan politik yang dinanti oleh publik dari Jokowi. Warisan untuk keberlanjutan demokrasi yang sehat dan penuh dengan sifat kekeluargaan. Jokowi pada pilpres 2014 lalu telah membuka kultur baru dalam iklim demokrasi kita dengan menjadi presiden pertama Indonesia yang bukan ketua umum partai. Warisan itu kemudian diikuti oleh Ganjar dan Anies untuk 2024. Kini, di penghujung era kepemimpinannya, publik menanti satu warisan politik lagi dari Jokowi., yaitu menjaga keberlangsungan demokrasi Indonesia yang sehat dan penuh kekeluargaan.

Itulah yang semestinya dilakukan oleh seorang pemimpin di negara yang demokratis dalam menutup kepemimpinannya. Ini juga salah satu pesan Barack Husain Obama kepada Donald Trump ketika akan meninggalkan Gedung Putih pada januari 2017 silam.   Obama menulis pesan, “Kita hanyalah penguasa sementara dari tempat ini.” Lebih lanjut Obama mengatakan, “Terlepas dari dorongan dan tarikan politik, kitalah yang bertanggung jawab meninggalkan instrumen demokrasi sekuat saat kita menemukannya.”

Catatan pesan Obama ini memang ditulis untuk Trump, tetapi ia bisa menjadi pesan untuk semua pemimpin di dunia, termasuk Presiden Jokowi. Mari menanti warisan politik penting dari pemimpin kita. Pemimpin dikenang bukan seberapa lama dia berkuasa dan seberapa kuat dia menjaga kepentingan politik untuk diri dan golongannya, tetapi karena warisan politiknya. Contohnya adalah Nelson Mandela dari Afrika selatan. Ia hanya menjadi presiden Afrika Selatan selama satu periode, tetapi ia dikenang selalu karena warisan politiknya!

 

Ahmad Sahide. Ketua Prodi Hubungan Internasional Program Magister, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

Kirim Berita

  • redaksi@edunews.id
  • redaksiedunews@gmail.com

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top