Oleh : Ramli Sahide*
OPINI, EDUNEWS.ID-Mungkinkah dua jenis motor yang sama, dari pabrikan yang sama punya buku petunjuk yang berbeda? Aneh tentu, lucu pasti, andai hal itu terjadi. Tapi seperti itulah kelucuan dan keanehan dalam menggambarkan fenomena perbedaan penentuan awal dan akhir ramadhan di Indonesia.
Bagaimana tidak, Tuhan kita sebagai orang Indonesia sama, Nabi kita sama, kitab suci kita sama, bahkan mahzab kita pun juga sama, karena mayoritas penduduk Indonesia bermahzab Sunni, tapi berbeda dalam menentukan awal dan akhir ramadhan. Dan yang lebih lucu lagi, sering kali suatu kelompok tertentu merasa lebih benar dari kelompok yang lainnya.
Sepertinya logika sehat manusia sulit menerima bila Allah dan Rasul-Nya, Muhammad SAW, memberikan petunjuk yang berbeda tentang penentuan awal dan akhir Ramdahan.
Lalu kenapa kita berbeda? dan mungkinkah salah satu dari kita lebih benar dari yang lainnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua teori yang bisa digunakan, yaitu teori atau konsep Niscaya Lagi Rasional, dan teori Relativitas.
Dalam konsep Niscaya Lagi Rasional dikatakan bahwa sesuatu itu hanya sama dengan dirinya, sesuatu itu berbeda dengan yang bukan dirinya. A hanya sama dengan A, dan B hanya sama dengan B. A tidak sama dengan B, dan B itu bukan A.
Dua pandangan yang berbeda tentang satu hal tidak mungkin semuanya benar, salah satunya pasti salah. Atau meminjam bahasa Abdul Karim Sorouse, seorang pemikir dari Iran, “Kebenaran itu satu, kebenaran yang ada di Timur dan di Barat itu sama. Ketika kebenaran di Timur dan di Barat berbeda, pasti salah satu di antara keduanya salah”.
Atau mungkin analogi sederhanya adalah ada dua orang yang punya pandangan yang berbeda tentang ibu kota Negara Indonesia, yang satunya mengatakan bahwa ibu kota Indonesia adalah Jakarta, dan yang lainnya mengatakan ibu kota Indonesia adalah Makassar. Dari dua pandangan ini salah satunya tentu salah. Apa pun alasan dan logika yang digunakannya karena pada kenyataannya ibu kota Indonesia satu, Jakarta, bukan Makassar.
Seperti itulah dalam kaitannya penentuan awal dan akhir ramadhan dengan melalui pendekatan hisab dan ru’ya. Salah satu di antara keduanya benar, dan tidak mungkin semuanya benar. Sekali lagi ketika hal ini dilihat dari perspektif konsepNiscaya Lagi Rasional.
Lalu pertanyaan yang muncul berikutnya, siapa di antara keduanya yang paling benar dan siapa yang salah?
Untuk menjawab hal ini tentu bukan soal yang mudah mengingat tidak adanya suatu standar atau barometer untuk menilai keduanya. Nabi Muhammad sebagai sosok satu-satunya yang punya wewenang penuh untuk menentukan persoalan ini sudah tidak ada. Maka, meminjam bahasa Abed al-Jabiri, perbedaan menjadi sesuatu yang mutlak terjadi dan menyatukannya nyaris mustahil adanya karena setiap orang atau kelompok akan bergerak dan mendekati suatu teks keagamaan dengan paradigma dan kapasitas keilmuannya masing-masing.
Belum lagi adanya kepentingan yang berbeda dari orang atau kelompok yang berbeda itu yang akan semakin mempertajaan perbedaan. Sekadar catatan pinggir bahwa perbedaan pandangan keagamaan tidak selalu didasari oleh atas nama agama, tapi atas nama perbedaan kepentingan termasuk kepentingan politik.
Munculnya perbedaan teologi dalam Islam, teologi Asy’Ariya, Qadariya, jabariah, Maturidiyah, bahkan dikenalnya dua aliran mahzab besar di Indonesia, Sunni dan Syiah, tidak bisa dilepaskan dari perbedaan kepentingan politik yang menggunakan jubah agama.
Benarlah kata Karen Amstrong bahwa agama itu seperti gadis seksi nan cantik, setiap orang tertarik dan ingin memperebutkanya. Termasuk para politisi tidak jarang menggunakan jubah agama untuk meraih ambisi dan hasrat politiknya. Terjadilah politisasi agama.
Teori kedua yang bisa digunakan untuk menyikapi perbedaan penentuan awal dan akhir ramadhan adalah teori Relativitas. Dalam teori Relativitas dikatakan bahwa kita tidak bisa melihat secara utuh suatu obek dalam satu ruang dan waktu yang sama. Dua orang yang memandang suatu objek dalam satu ruang dan waktu yang sama dari sudut pandang yang berbeda pasti akan memiliki pandangan yang berbeda.
John Hick menganalogikakannya dalam konsep pluralismenya seperti orang buta yang memegang seekor gajah. Ada yang memegang kaki gaja dan mengasumsikan gajah seperti tiang. Ada pula yang memegang telinga gajah dan berpandangan gajah itu seperti piring, dan yang lainnya lagi memegang belalai gajah dan mengatakan bahwa gajah itu seperti pipa.
Dari perbedaan pandangan tentang gajah ini, tidak ada pandangan yang paling benar, dan tidak ada yang salah. Semuanya benar meskipun berbeda karena masing-masing menggambarkan gajah sesuai dengan pemahaman yang mereka miliki tentang gajah itu.
Seperti itulah fenomena perbedaan penentuan awal dan akhir ramadhan antara yang menggunakan hisab dan ru’ya. Keduanya tidak mungkin sama dalam menentukan awal dan akhir ramadhan kerena keduanya punya paradigma atau pendekatan yang berbeda. Dua paradigma yang berbeda, tidak mungkin memilik kesimpulan yang sama. Seperti itulah kata Thomas Khun. Maka di Indonesia kita sering diperhadapkan perbedaan awal dan akhir dari berpuasa pada bulan ramadhan.
Maka antara kelompok yang menggunakan hisab dan Ru’ya tidak perlu untuk saling menyalahkan satu dengan yang lainnya. Sudah cukup untuk saling memahami saja. Tidak perlu ada kelompok yang merasa lebih benar dari yang lainnya. Sudah cukup menjadi versi terbaik dari pilihannya masing-masing.
Agama diturunkan Tuhan bukan semata untuk menunjukan siapa yang salah dan yang mana benar, tapi inti dihadirkannnya agama adalah untuk kemanusian. Tidak ada artinya suatu kebenaran ketika yang lainnya merasa tersakiti dan tercedarai nilai-nilai kemanusiaannya dari kebenaran itu. Tidak ada arti dan nilainya bagi kita menunjukan siapa yang paling benar kalau menyebabkan tali persaudaran kita terputus. Intinya, mari berusaha menjadi versi terbaik dari konsep kebenaran yang kita pilih.
Ramli Sahide. Mahasiswa Program Doktor Universitas Islam Science Malaysia (USIM), Direktur Ala Pare Englich Course (APEC) Makassar