Suara Pembaca

War Culture ; Interupsi atas Produksi Kebudayaan Populer

foto/penulis

*Oleh Muh Abdillah Akbar

ARTIKEL, EDUNEWS.ID – Semenjak meledaknya revolusi liberal di Prancis sebagian dunia merayakan kemenangan manusia atas segala dominasi struktural yang gelap.

Peristiwa tersebut dianggap sebagai langkah perwujudan dari emansipasi martabat manusia yang ditindas oleh otoritas feodal yang memenjara dan tidak menghargai nilai kemanusiaan atau humanity right.

Fenomena penindasan ini telah bergulir dan mapan berabad – abad dalam masyarakat eropa. Oleh karena itu, peristiwa revolusi ini menjadi fase titik balik sekaligus perubahan masyarakat eropa menuju peradaban yang bebas dan progresif.

Lukisan Martir perawan Santo Agatha dari Sisilia. Sejarah Abad Pertengahan dikaitkan dengan periode Zaman Kegelapan, zaman takhayul, penindasan dan pelecehan seksual.

Fase yang mencerahkan dan membebaskan masyarakat eropa dari tirani otoritas feodal yang bersamaan dengan itu, fase ini melahirkan banyak inovasi dan pengetahuan yang masif dalam berbagai sektor baik itu pengetahuan sosial maupun pengembangan Sains, yang berdampak pada majunya peradaban manusia yang ditopang oleh perkembangan teknologi. Oleh sebab itulah fase ini dianggap sebagai fase pencerahan dan manifestasi dari kehidupan manusia yang sejati.

Dalam proses perjalanan dan dinamikanya yang berkembang, zaman ini dimaknai sebagai upaya rasionalisasi manusia yang terbebas dari gelapnya dunia yang takhayul; dunia yang tidak memberikan tempat untuk manusia untuk berfikir kritis dan mengembangkan pengetahuan yang mengakibatkan masyarakat eropa gerah karena terhambatnya proses ekspresi intelektual yang didikte oleh otoritas yang berkuasa waktu itu.

Alhasil pasca revolusi menang, ekspresi itu diwujudkan dengan pengembangan pengetahuan dan inovasi saintifik yang menghantarkan dunia untuk memproduksi mesin, teknologi dan peralatan yang menunjang hidup. Kemudian bersamaan dengan lahirnya ideologi, nilai, budaya dan sistem–sistem sosial yang baru.

Fenomena itulah kemudian dinilai sebagai lahirnya peradaban dan sejarah baru, yang dikenal dengan istilah modernitas atau ‘masa’ modern. Istilah modern ini diperkenalkan sebagai proyek sosial yang meninggikan kembali derajat dan martabat manusia. Bahwa manusia telah mencapai puncak peradaban sejati yang menjelma menjadi keyakinan sosial yang diperkenalkan dan disebarluaskan sebagai jargon atapun proyek kemanusiaan.

Namun proyek yang menjelma menjadi kepercayaan itu nampaknya tidak berjalan baik. Dalam dinamikanya, proyek itu nampaknya berjalan dengan kepentingan ganda, memajukan namun kerapkali meretas, karena seolah–olah peradaban Barat tampil dan kemudian berdiri sebagai central peradaban yang mengontrol dan paling berhak mengendalikan hajat seluruh peradaban diseluruh dunia yang lantas memunculkan arogansi yang berlebihan eropa terhadap dunia lain.

Kesombongan barat yang dibangun atas dominasi politik yang ingin mendikte menunjukkan sikap berlebihan yang menghantarkan proyek sosial berkemajuan yang dibawa terkesan bias dan menjarah peradaban sosial di wilayah–wilayah lain. Dibawah hagemoni politik ekonomi seolah – olah dunia barat hari ini mendikte dan mengendali jalannya peradaban dengan berbagai instrument politik yang dominan.

Keterbelakangan bangsa atau peradaban lain dalam hal kemajuan menjadi kendaraan dunia barat untuk kemudian acapkali digunakan untuk menginvasi dunia–dunia luar atas nama nilai universal yang ada pada alam pikir proyek kemajuan yaitu kesetaraan, keadilan, dan kebebasan yang syarat kepentingan.

Proyek mem-beradabkan bangsa lain kenyataannya semuanya bermuara pada pencengkokan ideologi liberal sebagai sistem universal secara kebudayaan dan pemaksaan ekonomi politik pasar yang semua dibingkai dalam sistem demokrasi (liberal) yang kemudian menjadi norma global untuk dipatuhi.

Dalam perkembangan mutakhir, narasi peradaban universal kemudian menjadi proyek utama untuk dikampanyekan secara bergulir. Peradaban universal yang dimaksud bermuara pada bagaimana corak sistem kehidupan yang berbasis industri dan berdampingan dengan perkembangan teknologi yang pesat. Era baru ini muncul sebagai representasi pencapaian kehidupan yang diproduksi oleh kebudayaan modern yang mengorbitkan ragam macam nilai, budaya, dan pola hidup baru yang menjadi ciri dan karakter hidup kontemporer.

Sebagian kita masih memaknai bahwa arus perkembangan dan perubahan yang lahir hari ini buah dari rasionalisasi murni manusia yang berkemajuan, sedangkan dalam beberapa hal menampilkan teatrikal anomali ketimpangan dan dominasi yang tanpa sadar dapat dilacak sebagai skema dan proyek sosial yang licik dalam pusaran arus perubahan yang ada.

Pengcengkokan budaya liberal yang meretas dan mencerabut kebudayaan – kebudayaan lokal, wacana  idelogi  individual  yang  semakin  meluas  kemudian  gaya  hidup  yang konsumerisme/materialis menjadi warna dalam kehidupan sosial dewasa ini yang memperlihatkan modernisasi diperkenalkan barat ternyata bukan sesuatu hal yang netral dan bebas nilai, tapi tanpa sadar ada upaya mendikte,menghisap dan eksploitatif.

Kemerosotan sosial barat

Kecakapan kemajuan yang diperkenalkan barat nampaknya telah sampai dititik akhirnya. Upaya barat untuk menjadi subjek pendefinisian tunggal akan kemajuan dan kebaharuan pelan–pelan merosot.

Dikte yang sekian lama ditangan barat telah disadari oleh beberapa peradaban non-barat yang merasakan dampak yang signifikan kemudian telah menemukan banyaknya oposisi biner dan bias dalam proyek yang diperkenalkan barat sebagai proyek kemajuan sehingga upaya untuk menentukan nasib dan masa depan sendiri menjadi narasi yang berkembang untuk melepaskan ketergantungan dan pengkultusan kepada dunia barat yang berlebihan.

Kekaguman yang serampangan menghantarkan bangsa atau peradaban tertentu kehilangan identitas kultural dan teralienasi dari nilai dan identitas kultural mereka, oleh sebabnya semangat meninggalkan ketergantungan menjadi semangat yang terus digaungkan.

Setelah perang dingin dan kejatuhan Uni soviet, peristiwa politik itu dimaknai sebagai masa kemenangan barat dalam percaturan politik global yang begitu cepat merubah geo-politik dunia yang berpusat pada kekuasan-kekuasaan yang adidaya.

Legitimasi global yang mencuat pada barat yang dikomandoi oleh Amerika menunjukkan arogansi yang berlebihan. Barat hadir bak pahlawan yang seolah–olah berdiri sebagai juru selamat yang membebaskan bangsa atau peradaban lain dari keterbelakangan dengan proyek kesetaraan, perdamaian dan kesejahteraan yang dikendalikan melalui kontrol ekonomi, politik dan pendekatan yang dominan.

Dengan kontrol itu ekspansi menjarah terus digaungkan seperti penghisapan sumber daya alam yang terjadi ditimur tengah dan modernisasi busuk yang memaksa sebagian besar bangsa dan peradaban lain untuk masuk dalam kubangan ideologi liberalisme dengan doktrin peradaban universal yang mengalienasi bangsa lain.

Pencapaian mentereng atas dominasi yang begitu meluas, memang tidak terlepas dari besarnya pengaruh dalam berbagai sektor penting seperti ekonomi, politik, dan keamanan yang bersamaan dengan itu peralatan tersebut menjadi alat kontrol yang hegemonik dalam mendistribusikan kepentingan–kepentingan penaklukkan barat untuk bangsa lain, hingga sampai dewasa ini kekuatan dan kejayaan barat telah sampai pada titik akhirnya.

Realitas sosial yang merosot secara internal pada akhirnya menghantarkan barat bukan lagi menjadi satu–satunya kekuatan sekutu dunia yang tak tersaingi.

Seperti yang dikatakan oleh Huntington bahwa kemerosotan barat itu semakin nyata, dapat dilacak dari persoalan yang kian merebak dan meretakkan kehidupan sosial politik di barat. Seperti halnya pertumbuhan ekonomi yang lamban, populasi yang stagnan, defisit besar yang kerap melanda dan kemudian masifnya penggunaan obat terlarang yang memicu tingginya angka kriminalitas kejahatan (Huntington, 2012).

Instabilitas barat dalam waktu mutakhir pada akhirnya menunjukkan barat kehilangan legitimasi besar dan kekuatan global yang secara evolutif bergeser ke arah yang berbeda, seperti kebangkitan negara–negara asia timur dalam politik, ekonomi bahkan militer itu sendiri.

Fakta inilah yang kemudian mengakibatkan ketergantungan dan kesediaan masyarakat–masyarakat atau bangsa non-barat untuk tidak lagi menerima arahan maupun kebijakan–kebijakan barat yang telah memudar.

Alhasil dunia hari ini telah bergeser dan tidak lagi terpimpin secara hagemonik oleh Amerika yang merepresentasikan barat.

Davos culture dan kebudayaan bias globalisasi

Selama dominasi barat dengan kontrol yang multi-sektor berlangsung, kebudayaan merupakan salah satu aspek yang paling berpengaruh dalam agenda penaklukkan yang dijalankan.

Dominasi barat yang hegemonik banyak memaksa bangsa lain untuk mengasimilasi diri menjadi subjek yang sesuai dengan standarisasi yang digantung oleh kebudayaan barat melalui program yang dinarasikan dalam bentuk peradaban universal atau peradaban yang terintegrasi dalam identitas liberalis secara gradual. Salah satu produk kebudayaan yang dikampanyekan adalah globalization culture.

Kultur globalisasi yang dimaksud merupakan bentuk pengejawantahan kebudayaan Davos yang menjadi shelter perkembangan daripada kapitalisme barat dalam kontrol ekonomi–politik dunia yang sekarang didaku menjadi komunitas neo-liberal.

Davos Culture atau kebudayaan globalisasi merupakan kerangka hagemonik kebudayaan yang digunakan oleh elite global dalam mereproduksi kebudayaan yang menyokong aktivitas pasar bebas yang konsumtif dan bersamaan dengan terbentuknya sistem sosial yang dominan. Akibatnya jeratan yang laten dalam kehidupan sosial akan terkungkung dan tertindas dalam kontrol ekonomi-politik dan idelogi pasar bebas. Sehingga segala kebudayaan disegala penjuru terdikte dibawah kendali pasar bebas.

Dengan segala pedoman, nilai dan moralitas Davos culture ini merupakan kebudayaan yang identik atau populer dalam bentuk orang–orang yang nanti akan berpegang penuh dan ketergantungan akan pasar bebas, demokrasi liberal dan individualistik. Melalui kontrol ekonomi yang berpusat di Davos, membentuk jalur–jalur dan lintas penyebaran kebudayaan yang akan terdistribusi secara universal.

Dalam membaca pola–pola yang merebak, elit–elit davos atau bisa dibilang entitas yang mempelopori proyek ini, menggunakan bahasa globalisasi dan wacana konvergensi kebudayaan global yang tunggal atau universal. Adanya integrasi peradaban satu ke peradaban lainnya yang nantinya menjiwai semangat liberalitas yang bersandar pada kehidupan pasar bebas.

Secara sederhana, pola atau praktek bias ini dapat dilacak dalam kerangka yang diajukan oleh Antonio Gramsci melalui kajian cultural hegemony yang tentunya dikontektualisasikan dengan perkembangan kapitalisme kontemporer khususnya di negara–negara berkembang.

Hegemoni budaya, sebuah konstruksi yang dikembangkan oleh filsuf Italia Antonio Gramsci, adalah proses dimana elit mendominasi masyarakat melalui manipulasi budaya.

Untuk melakukan hal ini, mereka menggambarkan pandangan dunia mereka sebagai hal yang bermanfaat bagi semua orang, meskipun pandangan tersebut berfungsi sebagai produk sosio-kultural yang menguntungkan kelas penguasa.

Dengan pengertian itu, wacana globalisasi kebudayaan yang menjadi proyek sosial besar kapitalisme global yang berpusat di Davos merupakan manipulasi palsu dalam memproduksi kebuyaan yang hegemonik hanya untuk melancarkan agenda pasar bebas dengan ideologi konsumerisme yang bersembunyi dibalik jargon globalisasi.

Globalisasi sendiri dapat dimaknai sebagai proses integrasi dunia disertai dengan ekspansi pasar (barang dan uang) yang di dalamnya mengandung banyak implikasi bagi kehidupan manusia. Globalisasi perlu diamati dari perspektif sejarah terutama ketika bangsa Eropa telah mengenal teknologi pelayaran dan kompas sehingga memudahkan untuk ekspansi ke belahan dunia baru di belahan bumi bagian selatan yang kemudian menjadikan bangsa Eropa sebagai penguasa perdagangan dunia.

Antonio Gramsci

Gramsci memandang hakekat hegemoni merupakan dominasi ideologi, moral dan nilai-nilai terhadap budaya masyarakat lain, maka melalui penerimaan globalisasi juga berarti lenyapnya sistem resistensi nilai-nilai masyarakat setempat.

Pendekatan Gramsci secara substantif melontarkan kritik kepada implikasi-implikasi yang ditimbulkan oleh gencar dan meluasnya jaringan kapitalisme lanjut dibawah jargon globalisasi, diantaranya adalah polarisasi masyarakat di segala penjuru kepada bentuk masyarakat industrial dan konsumsi tinggi. Perkembangan masyarakat post-industri dan kebudayaan pos-tmodern tidak dapat dipisahkan dari perkembangan konsumerisme didalam diskursus kapitalisme. (Fansuri, 2017).

Akibat dari itu kebudayaan popular dewasa ini bagian dari mesin kapitalisme yang memabukkan Masyarakat dunia dalam kepentingan pasar bebas untuk melebarkan dominasi secara meluas yang berbentuk industrialisasi kebudayaan.

Wacana tersebut dapat diidentifikasi melalui beberapa gagasan dominan yang berkembang dan membeku sebagai ideologi populer kontemporer yang hegemonik seperti fenomena konsumerisme.

Upaya mempengaruhi dan membentuk alam pikiran masyarakat luas sangat dimungkinkan dalam bentang hegemoni melalui pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar dan dapat meresap, serta berperan dalam menafsirkan pengalaman tentang kenyataan.

Artinya, secara sistematis ideologi hegemonik mencekoki orang banyak dengan pikiran-pikiran tertentu, doktrin-doktrin tertentu, bias-bias tertentu, sistem-sistem preferensi tertentu, bahkan “tuhan-tuhan tertentu”. Artinya wacana ini merupakan kerangka kebubudayaan yang dijalankan secara sistemik dengan kepentingan tertentu.

Faktanya, kenyataan itu hari ini berlangsung dengan strategi pengkampanyean kebudayaan yang pelik, munculnya berbagai corak dan tren–tren tertentu yang terus mendikte kesadaran, arah dan juga arus pembentukan masyarakat yang bergantung pada kegiatan yang melacurkan dirinya sebagai konsumen untuk merenggut segelas kebahagiaan yang semu. Sehingga konfigurasi sosio-kultural terbentuk menjadi peradaban yang diibaratkan sebagai peternakan yang dipelihara untuk menyuburkan pasar yang terus menyerap nilai lebih. Sehingga hari ini, untuk menjadi manusia sesederhana sejauh mana kita bisa berbelanja secara materil.

Fenomena itulah kemudian disebutkan sebagai hegemoni kebudayaan yang meretas alam sadar manusia dan memperkenalkan berbagai kenyataan–kenyataan, kebudayaan, bahkan kepercayaan baru yang menuhankan pasar sebagai sandaran untuk hidup didunia yang semakin berkembang.

Maka dari itu laju perkembangan kebudayaan mutakhir mesti dibaca secara kritis tidak hanya serta merta sebagai kenyataan yang merepresentasikan kemajuan manusia, tapi kompleksitas kepentingan terselubung yang hegemonik bersembunyi dibalik narasi kemajuan dan perkembangan teknologi yang memamerkan ragam macam pola–pola, keanyataan–kenyataan palsu, beserta agen yang melancarkan tindak tanduk penghisapan dan eksploitasi manusia menjadi Binatang ekonomis yang diternak oleh penguasa kapitalisme atau kelas yang berkuasa.

Dengannya, kesadaran akan hal tersebut menjadi jalan pertama dalam melakukan perang posisi untuk tetap waras dalam kebudayaan gila yang konsumtif dan mengalienase.

References

Fansuri, H. (2017). Konsumerisme dan Hegemoni Barat terhadap Masyarakat Negara Berkembang:.

Journal of Integrative International Relations.

Huntington, s. (2012). Benturan antar peradabaan dan masa depan politik dunia. Jakarta: Penerbit Qalam.
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

Copyright © 2016 @edunews.id

To Top
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com