ADVERTORIAL

Refleksi Laboratorium Idealisme Gie

*Oleh Ihsan

(Penulis merupakan Ketum IMM Mamuju)

OPINI, EDUNEWS.ID – Dalam sejarah panjang Indonesia, hanya sedikit tokoh yang mampu menjelma menjadi suara hati generasi muda. Dari yang sedikit itu, Soe Hok Gie adalah salah satunya. Bukan karena kekuasaan yang dimilikinya, bukan pula karena jabatan yang disandangnya, melainkan karena keberaniannya berdiri tegak saat banyak yang memilih diam. Gie lahir bukan untuk tunduk, tapi untuk bertanya. Gie tumbuh bukan untuk menyesuaikan diri, melainkan untuk menggugat bangsa yang rela dikuasai oleh ketakutan dan kebohongan.

Dalam catatan harian yang ditulis, dengan tangan gemetar di tengah kelelahan, dalam pekikan orasi yang menggema di pelataran kampus dan dalam jejak langka yang mendaki gunung-gunung tinggi, Gie hidup sebagai oposisi moral bagi zamannya. Gie tidak lahir untuk jadi pahlawan. Tapi justru karena itulah ia abadi dan terus relevan bahkan sampai zaman kita sekarang.

Sejarah tidak pernah lahir di ruang hampa. Begitupun dengan seorang pemikir muda bernama Soe Hok Gie yang keberaniannya melawan Tirani dan kekuasaan otoriter tidak datang begitu saja. Semuanya berakar dari rumah kecil di kawasan Tanah Abang, Jakarta. Gie lahir pada tanggal 17 Desember di tahun 1942, tepat di masa pendudukan militer Jepang atas Hindia Belanda. Masa itu adalah masa penuh ketidakpastian. Kota Batavia yang kini kita kenal sebagai Jakarta berubah menjadi ruang kecemasan dan tekanan sosial.

Namun di balik situasi yang genting, lahir seorang anak lelaki dari pasangan Soe Lie Pit dan istrinya Nio Hoe An yang kelak akan dikenal bukan karena kekayaan atau status sosialnya, tetapi karena integritas moral dan suara kritisnya. Ayahnya adalah seorang penulis dan penerjemah. Ia dikenal dikalangan pembaca sebagai penerjemah cerita-cerita klasik Tionghoa ke dalam bahasa Melayu Tionghoa dan Indonesia. Salah satu karyanya yang paling dikenal adalah terjemahan dari Romance of the Three Kingdoms. Kisah epik dari Tiongkok kuno. Terjemahan itu menjadi populer di kalangan masyarakat Tionghoa peranakan yang saat itu tengah bergulat mencari jati diri antara warisan leluhur Tiongkok dan realitas kehidupan di Hindia Belanda.

Menurut pengamatan Ong Hok Ham dalam bukunya yang berjudul Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, keluarga Soe merupakan representasi khas dari intelektual Tionghoa peranakan yang menempatkan literasi, pendidikan, dan etika sebagai pilar utama kehidupan. Ayah Gie dikenal sebagai ayah yang pendiam, namun sangat disiplin dalam membiasakan anak-anaknya untuk membaca dan menulis. Ayah Gie tidak pernah secara langsung mengarahkan anak-anaknya menjadi aktivis atau politikus. Tapi dari meja kecil tempat dirinya menulis dan menerjemahkan, Gie kecil menyerap semangat intelektual dan kecintaan pada kata-kata. Maka tidak heran jika Gie dalam keluarga tumbuh menjadi anak yang menonjol secara intelektual. Kakaknya yang bernama Soe Hok Jin yang kemudian lebih dikenal dengan nama Indonesianya yakni Arif Budiman yang kelak menjadi seorang sosiolog kritis dan pengamat politik terkemuka.

Arif Budiman menempuh pendidikan di Universitas Kristen Satya Wacana dan kemudian melanjutkan studi ke Harvard University. Meski kakak beradik ini memiliki jalan perjuangan yang berbeda, namun mereka tumbuh dalam ruang yang sama. Rumah yang penuh bacaan, diskusi panjang, dan keberanian untuk mempertanyakan segala bentuk kewenangan.

Dalam wawancaranya yang dimuat dalam buku Soe Hoek Gie, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani. Karya John Maxwell, Arif Buniman mengenang bagaimana ayah mereka sering mengoreksi tulisan-tulisan mereka sejak usia dini. Kesalahan tata bahasa, ejaan, dan logika berpikir diperiksa dengan ketat. Bahkan puisi atau catatan harian tidak lepas dari revisi. Dari sinilah kelak Gie terbiasa mencatat dengan teliti, menulis dengan jujur, dan berpikir secara logis.

Untuk pendidikannya sendiri, Gie memulai pendidikan formalnya pada masa pasca kemerdekaan, ia masuk sekolah dasar di Jakarta. Sebuah masa ketika sistem pendidikan nasional Indonesia sedang mencari bentuk. Meski tidak banyak catatan yang tersisa mengenai masa SD-nya, dari catatan hariannya kelak tampak bahwa Gie adalah anak yang sedari kecil merasa berbeda dari kebanyakan teman-temannya. Gie lebih suka menyendiri, membaca buku, atau berjalan-jalan mengamati orang-orang di pasar dan jalanan.

Ketika masuk ke jenjang SMP dan SMA, Gie menunjukkan kemampuan akademik yang menonjol. Gie kemudian diterima di SMA Kanisius Jakarta, sebuah sekolah Katolik yang dikenal sangat elit, ketat, dan berorientasi pada pendidikan moral. Di sekolah ini, Gie mulai menunjukkan kecenderungan untuk bertanya secara kritis. Gie tidak ragu mengangkat tangan di kelas untuk mempertanyakan ajaran agama, sistem sosial, hingga ketidakadilan sejarah. dalam sebuah catatan hariannya di tahun 1959 yang dimuat dalam bukunya yang berjudul Catatan Seorang Demonstran Gie menulis, “Di sekolah saya tidak merasa bebas. Guru agama berbicara tentang surga dan neraka, tetapi saya justru melihat dunia yang penuh kepalsuan.”

Catatan ini menggambarkan keresahan batinnya terhadap sistem pendidikan yang tidak membebaskan, melainkan menghakimi. Namun di Kanisius pula dia mendapatkan akses pada karya-karya sastra dunia. Perpustakaan sekolah yang lengkap membuka jalan bagi Gie untuk mengenal nama-nama seperti Albert Kamus, Leo Tolstoy, Herman His, dan George Orwell.

Dari sini pula benih pemikirannya tentang Eksistensialisme, perlawanan moral dan tanggung jawab individu Gie mulai tumbuh. Setelah lulus SMA sekitar tahun 1961, Gie mencoba peruntungan dengan mendaftar ke Universitas Indonesia. Pilihan pertamanya jurusan Psikologi. Tapi gagal dan akhirnya Gie diterima dan masuk ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan memilih jurusan Sejarah. Untuk tambahan informasi, pada masa Gie berkuliah jurusan sejarah bisa dibilang adalah pilihan yang tidak populer pada masa itu. Kebanyakan mahasiswa memilih jurusan teknik atau hukum untuk menjamin masa depan yang lebih pasti.

Namun, Gie memilih sejarah karena dirinya merasa dari sanalah dirinya bisa memahami arah bangsa dan sekaligus menulis ulang kisah-kisah yang terpinggirkan. Tentu memilih jurusan sejarah bagi Gie bukan sekadar kebetulan akademis, melainkan cerminan dari hasratnya untuk memahami akar-akar kemanusiaan, perjuangan, dan perubahan sosial.

Sejak awal pun kampus menurut Gie bukan sebagai tempat mencari gelar, melainkan medan awal perjuangan ideologis. Pada tahun-tahun itu, kampusnya yang saat itu masih di Rawamangun juga tidak hanya menjadi pusat pendidikan, tetapi juga arena perebutan pengaruh ideologis antara tiga kekuatan besar Nasionalis, Islamis, dan Komunis. Di UI jugalah Gie mulai dikenal sebagai mahasiswa yang sangat rajin ke perpustakaan dan sangat aktif menulis.

Dalam beberapa catatan hidupnya yang dikumpulkan dalam buku yang berjudul Zaman Peralihan, Gie menuliskan bahwa dirinya tidak hanya membaca buku-buku teks sejarah, tapi juga karya-karya pemikir politik dan filsuf dunia. Hal ini bisa terjadi karena Gie selain menyukai karya Carl Max, Ia juga mengagumi Gandhi dan sangat terinspirasi oleh Henry David Teru, terutama mengenai gagasan pembangkangan sipil. Dalam salah satu catatannya, Gie menuliskan bahwa sejarah tidak seharusnya menjadi alat kekuasaan, tetapi alat pembebasan.

Gie dimasa-masa kuliahnya juga mulai rutin menulis di media massa. Tulisan-tulisannya dimuat di Harian Kompas, Harian Kami, dan Sinar Harapan. Dalam tulisan-tulisannya itu, Gie kerap mengkritik kondisi politik nasional, kemunafikan elit, dan kesenjangan sosial yang terus melebar.

Gie tentu tidak menulis sebagai akademisi menara gading, melainkan sebagai mahasiswa yang hidup di tengah masyarakat miskin melihat ketidakadilan secara langsung di jalan-jalan Jakarta. Dalam sebuah tulisan di catatan hariannya, ia menulis, “Saya menulis bukan untuk menjadi terkenal, tetapi karena saya tidak tahan melihat kebohongan terus hidup di tengah kita. Kalau semua orang diam, maka kejahatan akan menjadi hal biasa.”

Aktivisme Gie mulai menampakkan bentuk nyata pada saat Soekarno sebagai pemegang kekuasaan saat itu tengah benar-benar mengarahkan seluruh sektor kehidupan masyarakat pada ideologi NASAKOM singkatan dari nasionalisme, agama, dan komunisme. Melalui kebijakan ini, Soekarno berupaya menyatukan kekuatan nasionalis, kelompok Islam dan Partai Komunis Indonesia dalam satu kerangka politik negara. Namun bagi Gie terutama setelah menyaksikan sendiri bagaimana PKI mendominasi berbagai organisasi mahasiswa dan buruh, NASAKOM bukanlah harmoni, melainkan potret represi yang diselubungi jargon ideologis. Dalam bukunya yang berjudul Catatan Seorang Demonstran, Gie menulis, “Saya semakin yakin bahwa NASAKOM bukanlah penyelesaian, melainkan justru akar dari konflik dan stagnasi intelektual. Hal ini bisa Ia tuliskan karena Gie melihat kampusnya telah menjadi ladang pertarungan ideologi dan bukan lagi tempat berpikir bebas.

Di tengah atmosfer politik kampus yang penuh tekanan, Gie aktif membangun diskusi terbuka di luar kendali organisasi masa resmi. Salah satu forum yang diaktifkan adalah Ikatan Mahasiswa Sejarah Indonesia atau IMSI tempat dirinya dan beberapa rekannya menyuarakan kritik terhadap hegemoni ideologi tertentu di kampus. Bersama nama-nama seperti Arif Budiman yang kala itu masih bernama Soke Hik Jin menyuarakan perlunya kebebasan berpikir dan pentingnya universitas sebagai tempat pertukaran gagasan bukan alat propaganda negara.

Sebagai ketua senat mahasiswa Fakultas Sastra UI pada tahun 1965, Gie memainkan peran penting dalam mendorong kebijakan akademik yang mandiri dari intervensi kekuasaan. Dalam salah satu artikelnya di Harian Kami di tahun 1966, Gie menulis, “Masiswa harus menjadi nurani bangsa. Jika mereka bungkam, maka akan lahir generasi teknokrat yang miskin moral.” Dalam hal ini penting untuk kita catat bahwa Gie tidak menolak politik. Gie pada masa itu justru melihat mahasiswa sebagai aktor historis yang memiliki tanggung jawab moral terhadap bangsanya.

Namun Gie menentang apa yang dirinya sebut sebagai politisasi kebodohan. Yakni ketika kampus dijadikan alat mobilisasi buta bagi kepentingan elit penguasa. Dari sinilah perjuangan Gie mengambil bentuk yang lebih konkret. Kampus bukan lagi ruang diskusi semata, melainkan titik loncatan menuju aksi-aksi jalanan yang lebih radikal.

Periode 1965 adalah titik balik dalam sejarah politik Indonesia dan juga dalam hidup Gie. Saat suhu politik nasional menegang dengan persaingan tajam antara Angkatan Darat dan PKI, Gie justru berdiri di tengah menolak untuk memihak secara membabi buta. Gie menolak dominasi PKI, namun juga mewaspadai potensi otoriteranisme militer. Gie melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana kampus dan jalanan mulai dipenuhi propaganda. Bagaimana mahasiswa dan pemuda yang mengkritik NASAKOM dikejar, dituduh kontra revolusioner, bahkan disingkirkan.

Akhirnya sejumlah mahasiswa dari UI membentuk kelompok intelektual dan aktivis independen yang dikenal dengan sebutan kelompok Aksi Mahasiswa Universitas Indonesia yang disingkat KAMI UI. Yang menarik dari Gie meski dirinya sendiri tidak terlalu menyukai organisasi massa karena menganggapnya rentan terhadap Kooptasi, Gie tidak tinggal diam. Gie tetap ikut turun ke jalan dalam demonstrasi besar-besaran di tahun 1965-1966 yang menuntut pembubaran PKI, penurunan harga barang kebutuhan pokok, pemberisihan kabinet dari tokoh-tokoh yang terlibat korupsi dan afiliasi komunis, pembaruan sistem pemerintahan agar lebih demokratis.

Dalam salah satu aksi mahasiswa terbesar pada tanggal 10 sampai 13 Januari di tahun 1966, Gie terlihat berada di barisan depan membacakan tuntutan yang dikenal dengan nama Tritura, singkatan dari tiga tuntutan rakyat. Aksi-aksi ini kemudian menjadi katalis penting dalam jatuhnya kepemimpinan Soekarno dan lahirnya rezim otoriter Soeharto. Namun ketika sebagian besar mahasiswa dan pemuda bersorak atas runtunya rezim Soekarno dan lahirnya kekuasan baru di bawah Soeharto, Gie justru bersikap sebaliknya. Gie menolak euforia dan memilih untuk memeriksa dengan lebih teliti watak kekuasaan yang sedang tumbuh.

Dalam catatan hariannya bertanggal 11 Maret 1966 bersamaan dengan hari dikeluarkannya Supersemar atau Surat Perintah 11 Maret Gie menulis, “Saya merasakan hawa haru tetapi juga hawa yang mencemaskan. Kekuasaan mulai berpindah tangan. Tapi kepada siapa? Apakah ini benar-benar kemenangan rakyat?”. Bagi Gie, transisi dari Soekarno ke Soeharto bukanlah revolusi, melainkan pergantian elit politik yang tetap saja gagal menjawab persoalan dasar bangsa yang mana di antaranya adalah kemiskinan, korupsi, kekerasan politik, dan pembungkaman kebebasan berpikir. Gie melihat bahwa apa yang disebut Orde Baru itu tidak lebih dari kedok militeristik yang ingin memutihkan sejarah dengan darah dan represi. Kecurigaan Gie bukan tanpa dasar, sebab ia mencium aroma penidasan baru dalam tubuh militer yang semakin dominan.

Hal ini diperhatikan betul oleh Gie. Sebab sejak awal Soeharto mengambil alih kekuasaan, militer mulai menguasai banyak ruang sipil dari kabinet, lembaga pendidikan, media massa, hingga organisasi mahasiswa.

Lebih dari itu, Gie juga menyaksikan dengan hati yang hancur bagaimana peristiwa G30S dijadikan pembenaran untuk pembantaian massal yang membunuh jutaan orang. Dalam pembantaian yang sedang berlangsung itu, Gie menolak keras.

Dalam Catatan Seorang Demonstran, Gie menuliskan, “Saya muak dengan darah. Revolusi yang membunuh tak ada bedanya dengan kekuasaan yang kita lawan.” Hal ini Gie tulis karena melihat Soeharto membangun kekuasaan bukan di atas demokrasi dan transparansi tetapi di atas militarisme, oligarki ekonomi, dan kebisuan intelektual.

Dalam tulisannya di Kompas pada tahun 1967 yang berjudul, Menyongsong Masa Depan Tanpa Demokrasi. Gie menyatakan “Kita terjebak dalam lingkaran yang sama. Satu kekuasaan jatuh, kekuasaan baru lahir tapi wataknya tetap sama. Menindas, membungkam, dan mencurigai rakyat.” Gie kemudian menolak ajakan untuk ikut bergabung dalam birokrasi negara. Gie pun semakin menjauh dari kelompok mahasiswa yang dulu bersamanya di garis depan demonstrasi anti Soekarno.

Banyak dari mereka kini mulai mendekati kekuasaan duduk di lembaga-lembaga negara dan kehilangan suara kritisnya. Gie tetap bertahan sebagai suara independen. Dalam wawancaranya dengan Tempo pada tahun 1969, Arif Budiman menyebut bahwa Gie lebih memilih hidup sebagai pengajar dan penulis daripada menjadi pejabat dalam rezim yang dianggap syarat kompromi. Dan bersama rekan-rekannya di Universitas Indonesia, Gie mendirikan forum diskusi independen dan memperjuangkan kebebasan berpikir di kampus.

Ia juga tetap aktif menulis di media massa, mengkritik praktik korupsi, represi terhadap rakyat Papua, hingga ketidakadilan sosial di pedalaman Jawa. Dan dalam tulisan-tulisannya juga Gie terus mengingatkan bahwa reformasi tanpa refleksi hanya akan menjadi daur ulang kekuasaan. Dalam catatan seorang demonstran Gie menulis dengan nada getir, “Revolusi telah selesai saatnya mereka menata birokrasi, memperkaya diri, dan melupakan yang mati di jalanan. Seiring waktu, Gie semakin merasa sendiri. Semakin keras suara kritis Gie, semakin dirinya merasa terasing. Ia sadar dirinya bukan bagian dari PKI yang telah dilumpuhkan. Dirinya juga bukan simpatisan militer atau birokrat otoritarian Soeharto.

Kesepian yang dirasakan Gie jelas bukan hanya politis tetapi juga eksistensial. Gie merasa bahwa dunia semakin sunyi dari orang-orang yang berpikir jernih dan bersuara lantang. Dalam catatan harian tertanggal 22 Oktober 1968, ia menulis, “Kadang-kadang saya merasa menjadi satu-satunya manusia yang berpikir di tengah keramaian yang hanya tahu bertepuk tangan atau memaki.” Gie mulai merasakan kelelahan moral. Ketika menulis, Gie merasa seperti berteriak di tengah ruangan kosong.

Banyak artikelnya tidak diterbitkan atau dibatasi oleh sensor media yang makin ketat. Dalam esainya yang terkenal yang berjudul Orang-orang di seberang kali yang ditulis Gie pada tahun 1969 dan dimuat ulang di buku zaman peralihan, ia bercerita tentang masyarakat miskin yang terabaikan oleh jargon revolusi maupun pembangunan. Dalam esainya itu, Gie menggambarkan kehidupan rakyat yang tetap sengsara walau elit politik berganti-ganti. Esai ini bukan hanya laporan sosiologis, tetapi juga jeritan hati. Bahwa apapun yang diperjuangkannya terasa sia-sia di tengah kebisuan umum. Ia menulis, “Kita terlalu sering berbicara tentang revolusi atau pembangunan dari atas. Padahal rakyat hanya tahu nasi, kerja, dan harga barang. Kita telah kehilangan empati.” Kesepian Gie juga tampak dalam relasi pribadinya. Gie menghindari kehidupan sosial yang ramai, menolak jabatan struktural, dan memilih berjalan sendiri.

Dalam gelombang pasang perubahan politik Indonesia pada pertengahan dan menjelang akhir 60-an, di tengah hiruk pikuk, demonstrasi dan adu ideologi, Gie menyimpan ruang sunyi dalam hidupnya. Ruang itu bernama Alam. Gunung-gunung yang tinggi, rimba yang sejuk, kabut yang dingin, semuanya menjadi tempat perlindungan sekaligus pencarian makna. Jika jalanan Jakarta memberinya amarah dan kekacauan, maka gunung-gunung Indonesia memberinya ketenangan dan kejujuran. Alam bagi Gie bukan sekedar tempat pelarian, tetapi cermin eksistensinya.

Sejak masa remaja, Gie sudah menunjukkan kecintaan mendalam pada dunia luar. Dalam Catatan Seorang Demonstran, dirinya mulai mendaki gunung saat masih duduk di bangku SMA, Gunung Pangrango, dan Gunung Gede adalah dua tujuan pertama yang membuka jalan spiritualitasnya. Di sanalah Gie menemukan keteduhan sekaligus perenungan.

Dalam catatannya, Gie menulis bahwa dirinya sering merasa tidak cocok dengan Jakarta. Gie melihat kota sebagai simbol kepalsuan, politikus munafik, kekuasaan yang menindas, mahasiswa yang mulai pragmatis. Bahkan Gie menyebut manusia di kota berjalan dengan wajah palsu dan kata-kata manis yang penuh jebakan. Dalam suasana seperti itu, gunung menjadi tempat untuk menjernihkan pikiran dan menyegarkan batin.

Dalam catatannya Gie menyatakan bahwa dirinya naik gunung bukan untuk melarikan diri, tetapi untuk belajar menjadi manusia yang utuh dan merdeka. Gunung bagi Gie adalah laboratorium moral. Ketika mendaki, Gie berinteraksi dengan alam dan sesama pendaki dalam situasi yang jujur dan sederhana. Tidak ada jabatan, tidak ada manipulasi, tidak ada hierarki sosial. Dalam suatu pendakian ke Gunung Semeru, Gie menulis “Betapa di hadapan kabut pagi yang sunyi, semua ambisi manusia terasa kecil.” Gie mengatakan bahwa gunung mengajarkannya tentang kerendah hati dan keterbatasan.

Sahabat dekatnya yaitu Herman Lantang menceritakan bahwa Gie seringkiali lebih semangat berbicara tentang rute pendakian atau keindahan Kawah Mahameru dibanding membahas strategi politik. Dalam wawancara dengan majalah Tempo pada tahun 1997, Herman menyebut bahwa di alam liar, Gie menjadi pribadi yang lebih tenang, lebih reflektif, dan jauh dari kesan agitator kampus. Ia mencintai gunung seperti seorang penyair mencintai puisinya dalam dan jujur.

Namun di balik kecintaan itu ada semacam kedalaman filosofis yang mengajarkan dirinya. Sebab Gie bukan sekadar pencinta alam, tapi juga seorang pemikir Eksistensialis. Dalam catatannya Gie yang menyebut secara langsung nama-nama besar seperti John Paul Sartrey atau Albert Kamus, pengaruh mereka terlihat dalam cara Gie menulis, berpikir, dan bertindak. Dalam satu bagian catatan hariannya, Gie menulis, “Saya percaya bahwa dunia ini absurd. Kita lahir, kita berjuang, dan kita mati. Semua dalam sunyi.” Kalimat itu begitu selaras dengan pemikiran Albert Kamus dalam bukunya yang berjudul The Midth of Suicifus, di mana manusia harus terus mencari makna dalam dunia yang tidak memberi jawaban pasti. Kamus menyebut bahwa satu-satunya cara untuk membalas absurditas adalah dengan pemberontakan yang sadar.

Gie pada 1960-an melakukan pemberontakan itu melalui tulisan, demonstrasi, dan perenungan di alam. Gie pun mengakui bahwa hidup tanpa makna tetap harus dijalani dengan integritas. Dalam satu esai yang ditulis untuk surat kabar Kompas pada tahun 1968, Gie menyampaikan bahwa sejarah tidak selalu berpihak pada kebenaran, tapi pada mereka yang tetap bersuara, walau tahu akan kalah. Tapi hal ini membuktikan bahwa manusia masih punya harga diri. Inilah semangat eksistensialisme Gie. Bahwa hidup bukan soal kemenangan, tetapi soal keberanian untuk tetap jujur pada diri sendiri. Gunung memberinya ruang untuk menjadi manusia yang tidak dikekang oleh simbol dan topeng sosial.

Di sana ia bisa menangis, bisa tertawa, bisa berpikir panjang tanpa gangguan. Dalam puisi berjudul Mendung di Pangrango Gie menulis, “Langit tak menjanjikan apa-apa, hanya sunyi dan desir yang dingin. Tapi di sinilah aku merasa hidup jauh dari janji, dekat pada diri sendiri. Gunung memberi pelajaran tentang waktu, tidak ada urgensi kekuasaan, tidak ada batas jabatan. Semua bergerak perlahan, kabut turun, matahari terbit, hujan datang tanpa bisa diatur oleh manusia.” Dalam surat pribadinya kepada sahabatnya, Gie menulis bahwa di gunung dirinya belajar menerima bahwa tidak semua hal bisa dikendalikan. Yang bisa dikendalikan hanyalah pilihan moral kita. Gie menyebut Marcus Aurelius sebagai filsuf yang dirinya kagumi diam-diam, terutama karena ajaran stoikismenya bahwa manusia harus bertindak baik walau hasilnya tidak selalu sesuai harapan.

Kecintaannya pada alam juga mengikat Gie pada Indonesia sebagai tanah air, bukan semata-mata negara. Gie menyebut bahwa mendaki gunung adalah cara untuk menyentuh tubuh Ibu Pertiwi secara langsung. Dalam salah satu catatannya, setelah mendaki Gunung Selamat, Gie menulis “Bahwa rasa cinta tanah air tidak muncul dari pidato atau propaganda, tetapi dari embun yang menggantung di daun dan dari langkah-langkah kaki yang telah menempuh rimba.” Baginya, nasionalisme bukan ideologi kosong, tapi pengalaman nyata yang bersentuhan dengan tanah, air, dan langit Indonesia.

Ketika Gie mendirikan Mapala UI pada tahun 1964 yang mana itu adalah klub mahasiswa pencinta alam Universitas Indonesia, Gie membentuk generasi muda yang tidak hanya peka terhadap masalah politik, tetapi juga terhadap kerusakan alam.

Gie merasa bahwa aktivisme sosial tanpa kesadaran ekologis adalah perjuangan yang setengah. Dalam catatannya, Gie menyayangkan bahwa banyak mahasiswa hanya sibuk mengejar jabatan organisasi, tapi tidak pernah menyentuh tanah gunung atau menatap langit malam di rimba belantara.

Di puncak-puncak gunung itulah Gie merasa bisa bernapas bebas jauh dari korupsi wacana, jauh dari manipulasi politik. Dalam Catatan Seorang Demonstran, dalam periode-periodenya yang terasa sepi dan terasing itu, ia menemukan nada-nada kesepian, frustasi, bahkan keputusasaan. Dalam catatan tertanggal 26 Maret di tahun 1969, Gie menulis, “Mungkin dunia ini tidak bisa diubah, tapi saya ingin mati sebagai manusia bebas.” Dan akhirnya gunung menjadi bagian dari takdirnya.

Pada bulan Desember di tahun 1969, Gie yang saat itu sudah menjadi dosen muda di jurusannya memimpin pendakian ke Gunung Semeru yang dicintainya. Dalam kumpulan tulisan di buku yang berjudul Soe Hok Gie Sekali Lagi di sana dituliskan bahwa Gie menghirup gas beracun yang keluar dari kawah Semeru. Gie jatuh dan meninggal dunia pada tanggal 16 Desember di tahun 1969. Di mana ini adalah sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27. Seperti yang pernah Gie tulis dalam suratnya kepada Herman Lantang. “Kalau aku mati muda, tolong kuburkan aku di kaki Pangrango. Biar aku tenang bersama kabut, bersama angin, bersama pohon-pohon yang tidak pernah berdusta.” Dan begitulah Gie wafat di tempat yang paling ia cintai, di alam di mana ia menemukan kesejatian dirinya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

Kirim Berita

  • redaksi@edunews.id
  • redaksiedunews@gmail.com

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top