Oleh: Dr. Ahmad Sahide*
SPEKTRUM, EDUNEWS.ID – Sejarah mencatat bahwa Eropa punya pengalaman pahit dan berdarah-darah yang diakibatkan agama dan politik menjadi dua entitas yang tidak terpisahkan. Karena pengalaman itulah sehingga muncul istilah sekuler, pemisahan antara agama dan politik. Kenapa agama harus dipisahkan dari ranah politik? Pemisahan itu terjadi karena agama, dari pengalaman sejarah, terkadang menjadi ‘alat’ bagi rezim yang berkuasa untuk mendapatkan legitimasi atau justifikasi politik. Itulah yang seringkali menodai kesucian agama. Kritik terhadap otoritas institusi agama juga dapat kita lihat dari film “PK”.
Di Indonesia, istilah ini dipopulerkan oleh Nurcholish Madjid (almarhum) dengan sedikit meng-Indonesia-kannya. Cak Nur, demikian ia disapa sehari-hari, menggunakan istilah sekularisasi. Maksudnya adalah bahasa agama harus dipisahkan dari bahasa politik. Ini bukan bermaksud meminggirkan agama dari ranah kehidupan sosial, tetapi demi menjaga agama itu agar supaya jauh dari tangan-tangan orang memanfaatkan agama untuk kepentingan duniawi; kekuasaan atau materi. Agama hadir dengan nilai-nilainya, bukan dalam wujud bahasa.
Cak Nur lalu memomulerkan istilah “Islam yes! partai Islam, No!” Karena gagasannya itulah, pada awal tahun 1970-an, tokoh intelektual dari Jombang ini menjadi perbincangan luas di Tanah Air, tetapi tidak sedikit pula yang menghakimi dan menghujatnya; mempertanyakan keyakinannya. Bagi sebagian kalangan, pemikiran Cak Nur yang jebolan salah satu kampus terbaik di Amerika dianggap telah menodai ‘kemurnian’ agama di Tanah Air.
Tapi bagi Cak Nur sendiri dan pengikutnya, justru apa yang dilakukannya adalah untuk menjaga kemurnain agama. menjaga agar supaya agama tidak menjadi tunggangan politik bagi kelompok-kelompok tertentu.
Jangan jadikan bahasa agama (jihad, misalnya) untuk menggerakkan publik (umat) dan meraih simpati publik secara luas yang mana bisa jadi tujuan utamanya bukanlah agama, melainkan demi kepentingan politik yang dibungkus dengan bahasa agama. lihat saja, banyak partai Islam di negeri kita yang tingkat korupsinya menggunung, belum lagi kader-kadernya yang terkadang terkuak ke media suka main perempuan-perempuan yang bayarannya hingga seratus juta rupiah. Rakyat tentu bertanya, seperti itukah Islam? Cak Nur sudah menjawabnya, itu adalah partai Islam (bahasa), tetapi bukan Islam (nilai-nilai).
Sejarah persentuhan agama dan politik
Bernard Lewis mengatakan bahwa pertemuan antara Barat dan Islam terjadi dalam tiga hal, diplomasi, perdagangan, dan perang. Perang Salib (Crusades) adalah salah satu bentuk pertemuan itu yang mana agama menjadi faktor dominan dari pertemuan tersebut. Pertemuan yang menumpahkan darah ribuan umat manusia tanpa adanya perasaan bersalah atau berdosa dari pihak-pihak yang berperang karena perang ini dianggap sebagai salah satu bentuk dari perintah Tuhan. Perang suci.
Perang ini dimulai sejak kaisar Alexus Comnesus memohon kepada Paus Urbanus II pada 1095 untuk membantunya, karena kekuasaannya di Asia telah diserang oleh Bani Saljuk (dinasti politik Islam) di sepanjang pesisir Marmora. Serangan umat Islam tersebut mengancam kekuasaan Konstantinopel (Hitti, 2008: 811). Di sini kaisar Alexus Comnesus menggunakan kekuatan bahasa agama yang dimiliki oleh Paus Urbanus II untuk menggerakkan rakyat (umat).
Atas permintaan dan permohonan kaisar Alexus itulah sehingga pada tanggal 26 November 1095 Paus Urban menyampaikan pidatonya di Clermont, bagian tenggara Perancis, dan memerintah orang-orang Kristen agar ”Memasuki lingkungan Makam Suci, merebutnya dari orang-orang jahat dan menyerahkannya kembali kepada mereka”. Orang-orang jahat yang dimaksud adalah penguasa Islam (Saljuk). Mungkin, inilah pidato yang paling berpengaruh yang pernah disampaikan oleh Paus sepanjang catatan sejarah yang menggerakkan kurang lebih seratus lima puluh ribu umat. Perang antaragama pun tidak terhindarkan, korban berjatuhan atas nama agama.
Adolf Hitler yang melakukan pembantaian (genosida) terhadap bangsa Yahudi juga tidak terlepas dari persentuhan Hitler dengan Pacelli yang akhirnya menjadi Paus Pius XII yang memberikan dukungan terhadap Hitler. Artinya bahwa Hitler juga memerlukan legitimasi agama dalam mengambil langkah politik dehumanisasi. Sejarah persentuhan politik dan agama pada era Hitler bisa dibaca dalam buku yang berjudul Hitler’s Pope, Sejarah Konspirasi Paus Pius XII dan Hitler, buah karya dari John Cornwell.
Inilah sejarah dan bahayanya jika agama dan politik bersentuhan di mana agama menjadi alat politik, bukan sebagai sumber nilai-nilai dalam berpolitik. Mungkin karena membaca sejarah persentuhan antara agama dan politik inilah sehingga Raden Ajeng Kartini pernah mengatakan bahwa ”Agama memang menjauhkan kita dari dosa, tapi berapa banyak dosa yang kita lakukan atas nama agama?”
Sejarah telah mencatat bahwa Perang Salib terjadi karena agama masuk dalam ranah politik sebagai alat legitimasi, begitu pula dengan Hitler yang membutuhkan legitimasi dari Paus Pius XII. Karena pengalaman sejarah itulah, sehingga di Barat pemisahana antara institusi agama dan politik (sekuler) dapat diterima dengan baik dan luas. Di Indonesia, sekularisasi yang diperkenalkan oleh Nurcholish Madjid dikecam luas, meskipun juga banyak yang bisa menerima gagasan Cak Nur tersebut. Sejarah dalam dunia Islam juga sama, ketika Abbasiyah mengambil alih kekuasaan dari Dinasti Umayyah, semua trah Umayyah dibantai dan dibumihanguskan.
Indonesia dan Fenomena Ahok
Sejak awal kemerdekaan, Indonesia telah menetapkan Pancasila sebagai dasar negara dan menjelang pengesahannya, tujuh kata terhapus dari sila pertama yaitu ”Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Maka redaksi dari sila pertama hanya berbunyi, Ketuhanan Yang Maha Esa. Tokoh yang banyak berperan dalam penghapusan tujuh kata tersebut adalah Mohammat Hatta. Hatta aktif melakukan pendekatan terhadap tokoh-tokoh perwakilan agama, baik dari Muhammadiyah maupun dari Nahdatul Ulama untuk menghilangkan tujuh kata tersebut.
Salah satu pertimbangan dari Wakil Presiden pertama republik ini adalah untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Republik Indonesia. Hatta bukan berarti tidak memahami agamanya (Islam) dengan baik. Hatta lahir di Bukittinggi dan dididik dari keluarga yang relijius. Hanya saja Hatta menempatkan keberagamaan itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu karena faktanya Indonesia adalah negara yang plural (majemuk), yang terdiri dari berbagai macam suku dan agama. Itulah yang dilakukan oleh Hatta dan para founding fathers untuk mengikat erat persatuan NKRI dengan meletakkan fondasi berbangsa yang toleran, berkemanusiaan universal; persaudaraan yang dibangun tanpa melihat agama, suku, ras, dan etnik. Semua ini demi menjauhkan rakyat dari sentimen etnis dan agama.
Kita patut bersyukur bahwa pascareformasi 1998, kehidupan yang bersaudara dalam perbedaan dan berbeda dalam persaudaraan itu (meminjam bahasa Buya Syafi’i Maarif) semakin kokoh terbangun. Hal itu juga tidak terlepas dari munculnya banyak tokoh-tokoh pemikir yang aktif mentransformasikan gagasan pluralisme dan toleransi dalam beragama. Kehidupan antarumat beragama pun semakin cair, relasi sosial tidak lagi dibatasi oleh etnik, ras, dan agama. Peran pemimpin-pemimpin organisasi keagamaan juga sangat besar dampaknya yang aktif melakukan dialog dan pertemuan lintas organisasi keagamaan. Ini mencerminkan adanya keharmonisan dan kerukunan dalam beragama. Itulah modal penting bagi Indonesia untuk Bhineka Tunggal Ika.
Kini, Indonesia yang toleran dan Bhineka Tunggal Ika dalam ancaman. Semua berawal dari pidato Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), yang menyinggung surah al-Maidah. Dalam pidatonya, Ahok mengatakan yang kurang lebih begini, ”…jangan mau dibohongin pakai surah al-Maidah”. Pidato Ahok ini dianggap melakukan penistaan agama lalu direspons dengan sangat masif sehingga umat Islam dari berbagai penjuru Tanah Air melakukan demonstrasi besar-besaran di Ibu Kota pada tanggal 4 November 2016 lalu. Inilah demonstrasi yang tidak banyak kita saksikan sebelumnya. Di mana massa yang begitu besar turun ke jalan membawa simbol agama serta menyuarakan pembelaan terhadap agama Islam yang mereka anggap telah dihina oleh Ahok yang adalah Gubernur non-aktif DKI Jakarta dan juga beretnis Tionghoa.
Sulit dimungkiri bahwa fenomena al-Maidah 51 dan Ahok adalah bentuk persentuhan agama dan politik sebagaimana dikatakan oleh Ikrar Nusa Bakti, pengamat politik LIPI. Dan juga jika membaca tulisan Buya Syafi’i Maarif pada tanggal 3 November 2016 yang mengatakan (dari laporan Zuhairi Misrawi) bahwa di Jakarta sudah lama dikobarkan semangat agar rakyat tidak memilih Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta karena dilarang oleh surah al-Maidah ayat 51. Bahkan semangat anti Ahok ini seringkali disampaikan lewat mimbar-mimbar khotbah Jumat yang disulap menjadi mimbar politik.
Pertanyaannya adalah adakah yang salah jika agama masuk dalam ranah politik? Sejarah telah mencatat bahwa banyak pertumpahan darah yang mengorbankan nyawa umat manusia yang disebabkan agama masuk (menjadi alat) dalam ranah politik. Perang Salib terjadi karena itu, pembantain terhadap etnis Yahudi oleh Hitler juga karena menjadikan agama sebagai alat pembenarnya. Dinasti Abbasiyah juga melakukan pembantaian terhadap anak keturunan Umayyah.
Inilah yang kita khawatirkan dari kasus al-Maidah dan fenomena Ahok. Agama menjadi alat tunggangan politik. Jika memang Ahok dianggap melakukan penistaan agama, maka mari kita biarkan hukum yang berbicara. Jangan sampai kita dan para elite meresposnya dengan memerkuat sentimen etnis dan antaragama karena hal itu akan mengganggu keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang bhineka. Dan yang perlu kita waspadai adalah bahasa penistaan agama ini ditunggangi oleh kepentingan politik mengingat warga DKI Jakarta akan memilih pemimpin baru pada bulan Februari 2017 dan Ahok adalah salah satu kandidat.
Singkatnya, mari kita merespons fenomena dan kasus ini dengan menjaga agar tidak menyulutkan semangat kebencian antargolongan. Jangan sampai persentuhan antaragama dan politik melahirkan sejarah yang berdarah-darah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan tulisan ini ditutup dengan mengutip renungan dari KH. Mustofa Bisri bahwa ”Yang menghina agamamu, tidak merusak agamamu. Yang merusak agamamu, justru perilakumu.”
Dr. Ahmad Sahide. Dosen Magister Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penggiat Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta.
