Oleh : Dr Ahmad Sahide*
SPEKTRUM, EDUNEWS.ID – Isu politik yang lagi hangat diperbincangkan saat ini secara global adalah kematian Ismail Haniyah, Kepala Biro Politik Hamas. Tentu saja kematian Haniyah ini menjadikan Israel sebagai tersangka utama di balik ledakan bom yang merenggut nyawa pemimpin Hamas tersebut pada 31 Juli 2024, di Teheran, Iran (Mada, 2/08/2024). Kematian Haniyah ini menambah rentetan bukti betapa anarkisnya Israel sebagai salah satu aktor politik di kancah politik Timur Tengah. Ini adalah bentuk ‘anarkisme internasional’, dalam pandangan kaum realis (Muhammad, 2019).
Sebelum Haniyah, Presiden Iran Ebrahim Raisi dan Menteri Luar Negerinya Hossein Amir-Abdollahian tewas dalam kecelakaan pesawat yang ditumpanginya di Azerbaijan timur pada 19 Mei 2024 (Anwar, 20/05/2024). Meninggalnya Ebrahim Raisi dalam insiden tersebut kemudian memunculkan konspirasi adanya ‘keterlibatan’ Mossad, lembaga inteligen Israel, di balik jatuhnya pesawat ditumpangi oleh Presiden Iran tersebut. Meski isu adanya keterlibatan Israel ini dibantah secara resmi oleh Israel (Business Standard, 21/05/2024). France 24, jaringan televisi di Paris, juga mengatakan bahwa tidak ada bukti untuk memerkuat dugaan keterlibatan Israel di balik insiden tersebut (France 24,21/05/2024).
Walakin, meski isu ini dibantah oleh Israel dan juga oleh beberapa media Barat, nampaknya agak sulit untuk menghilangkan dugaan bahwa ada Israel di balik insiden yang menewaskan pemimpin Iran tersebut. Terlebih, para petinggi Israel merayakan kematian Ebrahim Raisi dan menteri luar negerinya (Arnaout, 20/05/2024). Dan sebelum insiden tersebut, Iran pada pertengahan April 2024 menyerang Israel sebagai pembalasan atas serangkaian kejahatan Israel terhadap perwakilan Iran di Damaskus, Suriah (Mada, 14/04/2024). Oleh karena itu, konspirasi akan keterlibatan Israel di balik insiden kematian Presiden Iran tersebut akan tercatat dalam sejarah politik dunia.
Kini, di penghujung Juli 2024, Ismail Haniyah tewas dan satu hari setelahnya Kepala Staf Sayap Militer Hezbollah Fuad Shukr juga tewas. Hal ini juga tidak terlepas dari keterlibatan Israel. Haniyah tewas di Tengah upayanya yang dinilai banyak pihak berhasil melakukan konsolidasi politik untuk menyatukan dua faksi yang selama ini berseteru di internal Palestina, yaitu Hamas dan Fatah. Setelah Israel membombardir Gaza sejak 7 Oktober 2023, banyak pengamat politik mengatakan bahwa Hamas dan Fatah perlu untuk bersatu dalam membangun posisi tawar politik yang tinggi di hadapan Israel. Oleh karena itu, sejak 29 Februari 2024, perwakilan berbagai kelompok di Palestina seperti Hamas, Fatah, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), dan kelompok jihad berkumpul di Kremlin (Rusia) dalam rangka membahas pembentukan pemerintahan persatuan Palestina (Muhammad, 29/02/2024). Kemudian pada akhir April 2024, perwakilan Hamas dan Fatah kembali bertemu di China untuk pembahasan lanjutan terkait pembentukan pemerintahan persatuan Palestina (Mada, 27/04/2024).
Bagi Israel, pembentukan pemerintahan persatuan Palestina adalah ancaman dan tidak menguntungkan secara politik. Sebaliknya, kekuatan politik dan diplomasi Palestina akan bertambah. Israel selama ini mengambil keuntungan dengan terbentuknya friksi politik di internal Palestina, yaitu Hamas dan Fatah. Hamas oleh Barat dicap sebagai kelompok garis keras dan teroris, sementara Fatah lebih bisa diterima karena dianggap lebih moderat. Namun, sejak Februari 2024, Upaya rekonsiliasi terus digalakkan dalam merespons kebrutalan Israel terhadap warga Palestina di Gaza. Ismail Haniyah adalah tokoh kunci di balik rekonsiliasi yang membawa kemajuan pesat menuju terbentuknya pemerintahan persatuan. Kemajuan luar biasa ini tentu tidak terlepas dari sosok Haniyah yang dikenal tokoh moderat di jajaran Hamas (Rahman, 2/08/2024). Tentu saja Israel berharap bahwa upaya terbentuknya pemerintahan persatuan Palestina tidak terwujud. Caranya adalah Haniyah harus keluar sebagai aktor utama dalam rekonsiliasi. Kematian Haniyah adalah jalannya.
Hal menarik lainnya dari upaya rekonsiliasi politik Hamas dan Fatah ini adalah Amerika Serikat, sebagai salah satu negara yang memiliki peran dominan di kancah politik Timur Tengah, tidak dilibatkan sebagai aktor penting dan utama dalam proses rekonsiliasi politik. Yang menjadi aktor penting adalah Rusia dan China. Ini juga bisa dibaca bahwa peran dan pengaruh Amerika di kawasan kaya minyak ini semakin tergerus, dan secara perlahan akan tergantikan oleh Rusia dan China. Dua negara ini adalah rivalitas Amerika Serikat dalam perebutan supremasi politik global kontemporer. Tentu saja berita baik untuk Palestina ini tidak baik untuk Amerika Serikat karena seolah ‘ditinggalkan.’
Oleh karenanya, jika kita membaca kronologi tersebut di atas, bisa jadi kebrutalan politik yang dipertontonkan oleh Israel selama ini terhadap Palestina, terutama sejak 7 Oktober 2023, tidak terlepas dari ‘restu’ Amerika Serikat. Joe Biden, Presiden Amerika Serikat, tetap mengundang Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk berpidato di depan Kongres Amerika Serikat pada 17 Juli 2024 lalu. Biden seolah tidak peduli meski dunia internasional mengecam Israel dengan berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukannya terhadap warga Palestina. Bahkan Netanyahu mengabaikan perintah dari Mahkamah Internasional, International Court of Justice (ICJ), untuk menghentikan serangan (Nababan, 25/05/2024).
Maka tidak salah kemudian jika kita mengatakan bahwa Israel menjalankan praktek politik anarkis di kancah Timur Tengah. Dan tidak ada negara-negara Arab yang mampu menghentikannya. Hanya Iran, Turkiye, dan Qatar yang memberikan reaksi agak keras di balik meninggalnya Haniyah. Yang lain seolah tidak peduli. Bisa jadi ini dampak dari peristiwa Abraham Accord yang diprakarsai oleh Trump sebelum lengser pada 2020 lalu. Peristiwa yang oleh banyak pengamat melihatnya bahwa Palestina sedang ditinggalkan oleh saudaranya sesama bangsa Arab. Dampaknya adalah Israel kemudian makin leluasa memertontonkan diri sebagai aktor dalam kancah politik global yang tidak terikat pada hukum internasional. Dan bukan tidak mungkin bahwa ke depan kita masih akan disuguhi berita kematian tokoh politik korban kebrutalan Israel. Israel, negara kecil di kawasan Timur Tengah, adalah negara yang kebal hukum.
Dr Ahmad Sahide, Ketua Prodi Hubungan Internasional Program Magister, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
