Aku mengabdi bukan untuk pemerintah, tapi untuk negeri ini.
Bangsaku sendiri
~Pak Hasim (Kakek Salman) dalam film Tanah Surga… Katanya
Oleh: Dr. Ahmad Sahide*
SPEKTRUM, EDUNEWS.ID – Hans Kuhn mengatakan bahwa nasionalisme secara fundamental timbul dari adanya Nation Counciousness. Dengan kata lain, nasionalisme adalah formalisasi (bentuk) dan rasionalisasi dari kesadaran nasional berbangsa dan bernegara sendiri. Lalu Benedict Anderson menulis buku Imagined Community (Komunitas-komunitas Terbayang). Sederhananya Anderson hendak mengatakan bahwa perasaan senasib (nation counciousness) itu hanya ada dalam bayangan dan angan-angan.
Kita mungkin merasa senasib (negara yang sama) dengan tokoh atau figur tertentu bukan karena kita pernah bertemu dengannya, melainkan dengan iamjinasi belaka dan hal itu terbentuk karena pemberitaan-pemberitaan media sosial. Maka media sosial, terutama era kemajuan teknologi saat ini, mempunyai peran besar dalam membangun atau meruntuhkan nation counciousness.
Para pejuang kemerdekaan juga menggunakan media untuk membentuk komunitas-komunitas yang terbayang dan diikat dengan yang namanya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Soekarno, misalnya, pada masa perjuangannya mengeluarkan dan memimpin majalah “Indonesia Muda”. Hal ini dilakukan untuk mendukung propagandanya dalam membangun ‘imagined community’ tadi, membangun nation counciousness (Suhartono, 1994: 59). Dengan medialah, Soekarno dan kawan-kawan dapat memerluas dan memerkuat ide kesatuan nasional Indonesia. Terbentuklah ‘imagined community’ sebagaimana yang diteorikan oleh Benedict Anderson.
Singkatnya, nasionalisme, seturut Ernest Renan, adalah kehendak untuk bersatu dan bernegara. Otto Bauar menambahkan, nasionalisme adalah suatu persatuan atau karakter yang timbul karena perasaan senasib. Oleh karena itu, pilihan untuk menjadi warga negara Indonesia bisa dilandasi dengan adanya karakter yang timbul karena perasaan senasib tersebut. Lalu bagaimana dengan orang berkebangsaan Indonesia tetapi dengan kewarganegaraan negara lain?
Kasus Arcandra Tahar
Entah secara kebetulan atau tidak kasus Arcandra Tahar mengundang perdebatan tentang nasionalisme yang cukup hangat dua hari menjelang perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-71. Arcandra Tahar dicopot dari jabatannya sebagai Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) setelah dua puluh hari menjabat. Cukup singkat dan masuk rekor muri.
Arcandra Tahar, yang menggantikan Sudirman Said, dicopot karena ia santer diberitakan oleh media memiliki kewarganegaraan ganda (Indonesia dan Amerika Serikat). Sementara Indonesia tidak menganut aturan dengan sistem berkewarganegaraan ganda. Penunjukan Arcandra Tahar pun sebagai Menteri ESDM dinilai menyalahi aturan (UU). Presiden Joko Widodo lalu memberhentikannya dua hari menjelang hari perayaan HUT RI ke-71.
Kasus berkewarganegaraan ganda oleh Arcandra Tahar bisa menimbulkan penilaian publik bahwa dirinya tidak mempunya spirit nasionalisme. Boleh jadi, sebelum mempunyai kesempatan menjadi pejabat publik prestisius di negeri ini, Arcandra Tahar berpikiran bahwa tinggal di Amerika dengan status WNI ‘kurang menguntungkan’. Maka dengan memiliki kewarganegaraan Amerika, segalanya akan lebih mudah baginya. Terlebih jika ia merasa bahwa keilmuannya tidak mendapatkan penghargaan dari negara (pemerintah). Bukankah sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak ilmuwan-ilmuwan kita yang lebih memilih berkarir di luar negeri karena negara tidak menghargai dan memedulikannya? Arcandra Tahar, mungkin, adalah salah satu contoh yang terkuak ke publik.
Arcandra Tahar boleh saja berdalih bahwa persoalan kewarganegaraan itu hanyalah soal administratif. Pancasila tetap di dadanya, ia tetap cinta dengan Indonesia. Semua tegantung dari sudut mana kita memandangnya dan seberapa kuat membangun logika pembenarannya. Makanya itu, kasus ini mengundang perdebatan publik. Yang jelas Arcandra Tahar kini telah dicopot dari jabatannya sebagai Menteri ESDM. Untuk sementara Presiden Jokowi menunjuk Luhut Binsar Panjaitan sebagai pelaksana tugas pos yang ditinggalkannya.
Sebagai catatan pentingnya, kasus Arcandra Tahar ini mengingatkan kita akan fenomena nasionalisme semu. Nasionalisme semu di sini yang dimaksud adalah nasionalisme yang tidak dilandasi karena kecintaannya pada negeri ini secara sungguh-sungguh. Mereka mencintai negeri ini karena ada kepentingan di baliknya. Arcandar Tahar hanyalah salah satu contoh yang baru. Mungkin!
Contoh lainnya adalah dalam dunia sepak bola. Beberapa tahun terakhir, kita banyak menyaksikan banyaknya pemain ‘naturalisasi’ yang masuk ke tim nasional sepak bola kita. Ada yang tidak punya ‘darah Indonesia’ sama sekali, ada juga yang masih mempunyai hubungan darah dengan Indonesia meskipun lahir dan besar di luar. Tiba-tiba mereka muncul pada usia dewasa untuk bisa masuk dalam tim nasional kita. Pemain-pemain itu banyak yang tidak bisa berbahasa Indonesia, apalagi menghafal sila-sila Pancasila. Bisa jadi mereka hadir untuk membela tim nasional kita karena mereka tidak mampu bersaing di luar. Pilihannya adalah ke Indonesia dan menjadi WNI. Muncullah bahasa-bahasa yang seolah-olah mereka sangat mencintai Tanah Air (nasionalis).
Kehadiran mereka menyingkirkan pemain-pemain yang lahir dan besar di Tanah Air, pemain yang tidak pernah ke luar negeri kecuali ikut pertandingan internasional. Fenomena nasionalisme semu ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Diego Costa, pemain Chelsea saat ini, pindah kewarganegaraan dari Brasil ke Spanyol karena merasa sulit untuk bersaing masuk tim nasional sepak bola Brasil. Dua bersaudara Kevin-Prince Boateng dan Jerome Boateng juga membela timnas yang berbeda. Kevin-Prince Boateng membela timnas Ghana sementara Jerome Boateng membela timnas Jerman. Inilah fenomena nasionalisme saat ini yang bisa dikatakan semu. Mereka cinta bukan karena benar-benar cinta. Cinta atas apa yang mereka bisa ambil dari negeri ini.
Ternyata fenomena nasionalisme semu tidak hanya ada dalam dunia sepak bola, dalam dunia politik juga ada. Kasus Arcandra Tahar yang masih hangat di perbincangan publik adalah contohnya. Semoga kasus yang terkuak dua hari menjelang perayaan HUT RI ke-71 ini menjadi momen untuk kembali menjahit ulang ‘lubang-lubang merah-putih’ kita untuk menjaga keutuhan NKRI. Ingatlah selalu apa yang dikatakan Pak Hasim, “Aku mengabdi bukan untuk pemerintah, tapi untuk negeri ini. Bangsaku sendiri!”
Ahmad Sahide. Dosen Magister Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penulis buku “Kekuasaan dan Moralitas”.