Oleh : Ahmad Sahide*
SPEKTRUM, EDUNEWS.ID – Munculnya film “Dirty Vote” yang dibintangi oleh tiga pakar hukum tata negara yaitu Zaenal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Fery Amsari menjelang hari pencoblosan 14 Februari lalu menguak ke publik bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia 2024 telah didesain dengan kecurangan tersistematis, masif, dan terstruktur. Indikasi kecurangan tersebut bermula dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang merubah Undang-undang (UU) terkait dengan syarat capres dan capres yang pada awalnya harus berusia empat puluh tahun ke atas. MK, melalui keputusannya Nomor 90/PUU-XXI/223 soal syarat usia capres dan cawapres membuka jalan bagi kandidat yang belum berusia empat puluh tahun dengan syarat sedang menjabat atau pernah terpilih sebagai kepala daerah.
Polemik daur ulang demokrasi Indonesia 2024 mulai panas dari sini karena Gibran Rakabuming Raka resmi mengikuti kontestasi politik tingkat nasional dengan cacat secara etika karena regulasi dibuat untuk dirinya. Terbukti, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan Anwar Usman melakukan pelanggaran kode etik kehakiman dalam proses perubahan UU terkait usia capres dan cawapres (Mahkamah Konstitusi RI, 2023). Namun demikian, meski Anwar Usman diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua MK karena melanggara kode etik dari proses pencalonan Gibran, Gibran tetap bisa melenggang sebagai calon wakil presiden mendapingi Prabowo Subianto yang diusung oleh Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN), serta beberapa partai non-parlemen.
Jokowi, Gibran, dan partai pengusungnya tentu tidak bisa mengelak bahwa publik secara luas mempunyai anggapan bahwa keikutsertaan Gibran dalam kontestasi tersebut sarat dengan konflik kepentingan. Tidak sedikit pula ilmuwan politik yang menulis bahwa ini adalah bagian dari politik dinasti yang sedang dibangun oleh Jokowi. Polemik terkait kematian etika politik dari majunya Gibran diperkuat dengan dijatuhkannya sanksi kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari dan sejumlah anggota KPU lainnya oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Hasyim Asy’ari dan anggota KPU lainnya dinilai melanggar kode etik karena menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi, sebagai calon wakil presiden pada 25 Oktober 2023. Padahal saat itu peraturan KPU masih mengharuskan calon presiden dan calon wakil presiden memiliki usia minimal 40 tahun. Dengan kata lain peraturan di KPU belum direvisi mengikuti putusan MK yang cacat secara hukum (Tempo.co., 6/02/2024).
Pelanggaran etika tersebut diikuti dengan banyaknya kecurangan politik yang menguntungkan Prabowo-Gibran. Misalnya mengerahkan aparatur sipil negara (ASN) berkampanye untuk Prabowo-Gibran, penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) yang ugal-ugalan dan juga menuai kontroversi karena diberikan langsung oleh Presiden Jokowi yang mana pada situasi normal (bukan pada tahun politik) diserahkan kepada Menteri Sosial, Tri Rismaharini. Juga anggaran untuk Bansos tidak susuai dengan penganggaran awal. Inilah yang sempat membuat adanya isu Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, akan mundur karena diminta untuk menaikkan anggaran Bansos dari dua ratus ribu menjadi lima ratus ribu rupiah perorang. Dan juga beberapa menteri lainnya dikabarkan sudah tidak nyaman dengan iklim politik di lingkaran istana. Selain itu, Gibran juga beberapa kali diberitakan melakukan pelanggaran aturan berkampanye (Tempo.co., 19/01/2024). Namun demikian, langkah Gibran untuk maju sebagai calon wakil presiden seolah tidak dapat disentuh oleh hukum. Gibran bagaikan Putra Mahkota di republik rasa kerajaan yang mengikuti kontestasi dengan sebutan demokratis. Meski substansinya tidaklah demokratis, atau dalam bahasa Steven Levitsky dan Lucan A. Way (2002) dengan istilah “Election Without Democracy.”
Kecurangan politik lainnya adalah beberapa menteri yang melakukan kunjungan ke daerah dengan fasilitas negara secara terang-terangan mengerahkan dukungan untuk Prabowo-Gibran seperti Zulkifli Hasan, Bahlil, dan beberapa nama lainnya. Juga terhembus ke publik bahwa ada arahan dari istana agar kegiatan-kegiatan kementerian melibatkan Prabowo Subianto.
Gerakan moral dari kampus
Masifnya kecurangan yang dilakukan oleh tim Prabowo-Gibran yang juga melibatkan Jokowi serta dilakukan secara terang-terangan direspons dengan munculnya gerakan moril dari kampus sebagai bentuk kritik terhadap Jokowi yang dinilai telah merontokkan demokrasi Indonesia dengan caranya yang terkesan ‘memaksakan’ agar Prabowo dan Gibran (anaknya) menang dalam kontestasi politik. Gerakan ini dimulai dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menyampaikan Petisi Bulaksumur pada 31 Januari 2024. Melalui petisi ini, sivitas akademika UGM meminta kepada Jokowi dan jajarannya untuk kembali kepada koridor demokrasi (Kompas.id., 31/01/2024). Presiden dinilai telah melakukan penyimpangan dari prinsip dan moral demokrasi serta kerakyatan dan keadilan sosial (Bhakti, 9/02/2024).
Gerakan moril yang dimulai dari UGM ini kemudian diikuti oleh beberapa kampus terkemuka di Indonesia, baik negeri maupun swasta. Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menyampaikan pernyataan sikap pada 1 Februari 2024. Sivitas akademika UII dalam pernyataan sikapnya mengatakan bahwa Indonesia mengalami darurat kenegarawanan (uii.ac.id). Kemudian Universitas Andalas (Unand) menyampaikan sikap pada 2 Februari 2024. Sivitas akademika Unand melihat bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Pada hari yang sama, Universitas Indonesia menyampaikan sikap dan keprihatinanya terhadap perjalanan demokrasi Indonesia. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas Padjajaran menyampaikan sikap dan seruan moral kepada presiden Jokowi pada Sabtu, 3 Februari 2024 (Tempo.co., 4/02/2024). Sejumlah kampus lain tidak ketinggalan untuk menyampaikan keprihatinan yang sama, seperti Universitas Hasanuddin, Universitas Mulawarman, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Airlangga, Universitas Sumatera Utara, Universitas Malikussaleh Aceh, Institute Pertanian Bogor, dan masih banyak lagi kampus lainnya.
Pesan yang disampaikan oleh puluhan kampus dari berbagai daerah di Indonesia ini menandakan bahwa proses berdemokrasi kita telah ‘cacat moral.’ Sayangnya, kritik ini tidak dijadikan sebagai pelajaran bagi Jokowi dan tim Prabowo-Gibran untuk melakukan refleksi bahwa ada yang salah dari mereka dalam berdemokrasi. Justru tim Prabowo-Gibran menuding bahwa orang-orang kampus tersebut adalah partisan.
Pasca Pilpres
Dugaan kecurangan tidak berhenti setelah hari pencoblosan. Salah satu yang viral di media sosial dan itu bisa dilacak sendiri oleh publik adalah kesalahan input data di Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU yang mana terjadi penggelembungan suara untuk pasangan Prabowo-Gibran. Terdapat banyak data yang diinput berbeda dari data C1 yang diupload. Hal ini juga telah diakui oleh KPU bahwa ada kesalahan dalam memasukkan data hasil pemilihan presiden dari kurang 1223 Tempat Pemungutan Suara (TPS) ke Sirekap (CNN Indonesia, 20/02/2024).
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah ini kesalahan atau unsur kesengajaan? Jika benar kesalahan, maka seharusnya bersifat acak dan tidak hanya menguntungkan pihak Prabowo-Gibran. Yang terjadi dari kesalahan input di Sirekap adalah terjadi penambahan suara untuk pasangan Prabowo-Gibran, bahkan bisa mencapai angka seribu dalam satu TPS, padalah suara dalam satu TPS maksimal tiga ratus surat suara. Sebaliknya, publik banyak menemukan adanya pengurangan suara pasangan Anis-Muhaimin dari hasil pelacakan C1. Oleh karena itu, ini bukanlah kesalahan yang harus dimaklumi, tetapi ini adalah unsur kesengajaan. Akhirnya muncul lelucon oleh netizen bahwa rumus matematika KPU berbeda dengan rumus matematika yang dipelajari di Sekolah Dasar (SD). DI SD, 88 ditambah 0 sama dengan 88, tetapi di KPU 88 tambah 0 sama dengan 880. Ini seharusnya dilihat sebagai bagian dari kritik dan protes terkait dengan penyelenggaraan pesta demokrasi. Kepercayaan publik mulai tergerus terhadap KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Trust dan Legitimasi
Pertunjukan kecurangan yang terjadi sebelum dan sesudah pencoblosan tersebut tentu membuat penyelenggara negara kehilangan kepercayaan dari publik. KPU telah kehilangan tersebut sehingga wajar jika apapun yang dilakukan oleh KPU selalu menuai kecurigaan karena sejak awal tidak mampu menjaga trust (kepercayaan) dari publik. KPU telah dinilai sebagai wasit yang ikut bermain. Francis Fukuyama dalam bukunya yang berjudul “Trust, Kebijakan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran” telah mengingatkan kita semua, terutama pemangku kepentingan publik, bahwa mangkirnya kepercayaan dari publik terhadap negara membawa implikasi-implikasi sosial yang menyertainya. Salah satunya adalah hilangnya kepatuhan terhadap negara (Fukuyama, 2007: 11).
Oleh karena itu, negara di dalam menjamin dan menjaga keamanan terhadap rakyatnya bukanlah dengan memperbanyak aparat yang menjaga dan menakut-nakuti rakyat. Tugas negara adalah membangun trust dari rakyatnya. Dengan trust itulah kepatuhan akan lahir dari rakyat yang dipimpinnya (Sahide, 2018: 145). Maraknya pemberitaan di media mengenai elite-elite yang mempermainkan hukum, dimulai dari kasus MK yang meloloskan Gibran, pelanggaran kode etik pimpinan KPU, dugaan adanya penggelembungan dalam kasus input data di Sirekap KPU, dan kasus-kasus yang menyerti lainnya adalah perilaku elite yang berperan besar di dalam meruntuhkan pilar trust dan kepatuhan itu. Santernya isu hak angket hasil pemilu 2024 adalah bagian dari hilangnya trust terhadap penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU.
Selain itu, dampak dari daur ulang kepemimpinan yang kehilangan trust tersebut adalah lahirnya pemimpin yang tidak mempunyai legitimasi politik yang kuat. Legitimasi politik pada dasarnya berkaitan dengan alasan mengapa suatu pemerintah mempunyai hak untuk memaksakan dan menegakkan hukum secara paksa. Biasanya, hak kompleks yang dinikmati oleh pemerintah ini terkait dengan alasan mengapa individu mempunyai kewajiban untuk mematuhi undang-undang pemerintah tertentu (Buchanan, 2002).
Pilpres 2024 telah membuat penyelenggara negara kehilangan trust dari publik dan juga akan menghasilkan pemimpin dengan legitimasi politik yang rendah. Ini tentu menjadi alarm kematian kepatuhan publik terhadap negara!
Ahmad Sahide. Ketua Prodi Hubungan Internasional Program Magister UMY