Ahmad Sahide

Sudah Pancasilaiskah kita? (Catatan reflektif di hari lahir Pancasila)

Ahmad Sahide

Oleh : Dr. Ahmad Sahide*

OPINI, EDUNEWS.ID-Satu Juni selalu diperingati sebagai hari lahir Pancasila. Hal ini ditandai dengan seremoni secara kolosal di Tanah Air, yakni upacara hari lahir Pancasila. Selain itu, satu juni selalu menjadi hari libur nasional. Perayaan ini pun selalu sangat meriah dan ‘berkesan’. Lihat saja, flyer yang berisikan ucapan “Selamat Hari Lahir Pancasila” bertebaran di media sosial, status dan group whatsApp, Instagram, serta facebook. Seakan flyer itu menandakan bahwa kita adalah warga negara yang kuat memegang teguh Pancasila sebagai falsafah negara, penuntun kita dalam berperilaku sehari-hari selaku warga negara Indonesia. Atau mungkin juga ada yang menjadikan hari-hari besar tertentu seperti ini untuk menunjukkan kepada orang banyak akan siapa dia dengan jabatan prestisiusnya. Narsisme di media sosial.

Banyak orang kemudian berlomba dan tidak ingin ketinggalan dengan momentum ini untuk memberikan ucapan selamat. Hari lahir Pancasila kemudian menjadi hari perlombaan narsisme nasional dan bukan menjadi hari untuk melakukan refleksi kebangsaan, sejauh mana kita mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Baik itu kita sebagai warga negara dan terlebih bagi warga negara yang diberi amanah untuk menduduki jabatan publik.

 

Berperilaku Pancasilais

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato perayaan Hari Lahir Pancasila mengingatkan kita semua bahwa stabilitas yang dimiliki oleh bangsa Indonesia tidak terlepas dari menjadikan Pancasila sebagai fondasi (Kompas, 2/06/2023). Tentu kita tidak menyangkal dan meragukan arti penting Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah nilai-nilai Pancasila sudah mewarnai perilaku sehari-hari kita? Survei yang dilakukan oleh Kompas menunjukkan bahwa 30,1 persen responden memandang bahwa Pancasila sudah mulai ditinggalkan. Apa yang akan terjadi jika nilai Pancasila sudah mulai ditinggalkan? Kehancuran. Titik!

Pancasila mengandung nilai yang sangat mulia. Mari kita lihat kandungannya, sila pertama adalah Ketuhanan yang maha esa. Orang yang berketuhanan adalah orang yang mempunyai nilai-nilai kebajikan dalam diri dan perilakunya. Orang yang berketuhanan akan berperilaku jujur, adil, menghargai sesama, serta kebajikan-kebajikan lainnya. Apapun itu agamanya.

Nah, kalau nilai ketuhanan ini sudah ditinggalkan maka hal itu akan berdampak pada maraknya perilaku ketidakjujuran di Tanah Air. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2022 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, dari 38 menjadi 34 (skala 100). Artinya bahwa pemerintah gagal memperbaiki tata pemerintahan yang baik dan bersih dari praktik menyimpang. Korupsi adalah bentuk tindakan yang tidak jujur. Tidak berketuhanan! Ironisnya, tahun ini terkuak ke publik adanya transaksi janggal di Kementerian Keuangan Republik Indonesia sebesar 349 T. Inilah dampak dari laku yang tidak pancasilais.

Sila yang kedua adalah kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila ini sarat dengan makna (kemanusiaan, adil, beradab). Kemanusiaan berarti bagaimana kita menghargai sesama kita. Dalam Islam dikatakan bahwa perlakukan sesama Anda sebagaimana Anda ingin diperlakukan. Inilah standar dan ukuran kemanusiaan. Apakah ini sudah menjadi kultur dalam laku sosial kita? Faktanya, banyak pejabat ingin dihormati dan disanjung tapi tidak bisa menghargai rakyat kecil yang hendak bertemu atau meminta pertolongannya. Faktanya masih banyak perlakuan diskriminatif di instansi-instansi pemerintah dan kantor layanan publik. Kita tentu banyak mendengar atau mungkin pernah mengalami perlakuan diskriminatif di rumah sakit antara pasien dengan jalur BPJS dan umum. Apakah presiden, gubernur, dan bupati/walikota pernah berpikir ke arah sana bahwa di sanalah implementasi nilai-nilai Pancasila yang sesungguhnya? Apakah di sana Pancasila sudah dijadikan fondasi dalam pelayanan publik? Bukan sekadar seremoni dan ucapan selamat yang bertebaran.  Di sini juga kita bisa melihat kandungan kedua dari sila kedua, yaitu adil.

Makna berikutnya dari sila kedua adalah keadaban, sopan santun berdasarkan aturan agama. Keadaban berarti bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain, baik itu kepada orang yang sesuai dengan kehendak kita, dan terutama kepada orang yang berbeda dari kita. Ujaran kebencian yang dilakukan oleh Andi Pangerang Hasanuddin, peneliti BRIN, terhadap Muhammadiyah terkait dengan perbedaan penetapan satu Syawal di bulan Februari lalu adalah soal adab dalam menyikapi perbedaan. Menyampaikan kritik itu dibenarkan, tetapi menyampaikan kritik dengan adab yang santun itulah yang diharapkan. Bukan dengan memaki yang tidak mencerminkan adanya laku yang beradab di sana. Padahal salah satu nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah keadaban. Keadaban inilah yang mulai tergerus di ruang-ruang publik.

Sila berikutnya adalah persatuan nasional. Kita tahu bahwa Indonesia adalah negara yang besar dan majemuk. Terdiri dari kurang lebih delapan belas ribu pulau, 1340 suku bangsa, dan terdapat sedikitnya 700 bahasa daerah. Oleh karena itu, wajah Indonesia adalah wajah keberagaman. Dalam menjaga persatuan dengan keberagaman itulah diperlukan keadilan dan kemanusiaan dalam memperlakukan sesama.  Adanya gejolak dari beberapa daerah yang hendak memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tentu karena mereka merasa diperlakukan tidak adil sebagai bagian dari Indonesia, mereka tidak mendapatkan kesejahteraan sebagaimana daerah lain. Maka benar kata presiden bahwa Pancasila adalah modal dalam menjaga stabilitas. Tetapi apakah para pemangku kepentingan sudah memberikan rasa keadilan, kesejahteraan kepada warganya?

Sila keempat adalah soal kerakyatan, kebijaksanaan, musyawarah, dan mufakat. Sila yang terakhir adalah kemanusiaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan hanya kemanusiaan bagi yang berpangkat dan berpunya dalam pelayanan dan interaksi sosial. Itulah kandungan mulia dari Pancasila yang memang dirumuskan oleh founding father kita selama kurang lebih dua puluh satu tahun lamanya. Tidak heran kemudian jika Pancasila adalah dasar negara yang ideal sebagai fondasi dalam merawat NKRI dan mensejahterakan rakyatnya, dari Sabah sampai Merauke. Yang kurang ideal adalah implementasi dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Masih banyak praktik pengambilan kebijakan yang tidak berlandaskan nilai-nilai keadilan. Masih banyak pembangunan infrastruktur yang timpang antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Faktanya, masih banyak pelayanan di rumah sakit yang membedakan antara pasien dengan layanan BPJS dan layanan umum.

Di sinilah nilai-nilai Pancasila perlu menjadi perhatian bersama, terutama bagi para pemangku kepentingan. Menjadi orang yang Pancasilais bukan yang paling aktif menyebarkan flyer selamat hari lahir Pancasila, tetapi bagaimana kita mengamalkan nilai-nilai Pancasila itu dalam kehidupan keseharian kita. Inilah secuil catatan reflektif untuk hari lahir Pancasila di bulan Juni 2023 ini!

Medan-Yogyakarta, Juni 2023  

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com