SRAGEN, EDUNEWS.ID – Ratmala Apriyanti, 16, seharusnya sedang menyelami indahnya masa-masa remaja di sekolah. Namun, apa daya, kemiskinan membuatnya kehilangan kesempatan belajar.
Saat duduk di Kelas XI SMA, Mala terpaksa keluar dari sekolah karena orang tuanya tak bisa membayar SPP selama berbulan-bulan. Meski dilahirkan dari keluarga tidak mampu, warga Gilis, Katelan, Tangen, Sragen, itu tidak mendapat beasiswa pendidikan.Adik kandung Mala, Fany Rahayu, 15, yang kini duduk di Kelas X SMA pun nyaris bernasib sama. Dia juga menunggak SPP selama beberapa bulan.
Bahkan, uang pengembangan sekolah senilai Rp1 juta juga belum bisa dia bayarkan. Belum lagi beban pembayaran lembar kerja siswa (LKS) yang kian mencekik.
Impitan ekonomi menjadi penentu kelanjutan pendidikan dua kakak adik itu. Mereka tidak sendiri. M. Sholeh, 17, dua tahun lalu terpaksa tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Kedua orang tuanya sudah berpisah. Kabar terakhir yang diterimanya, ayahnya sudah menikah kembali di perantauan.
Pemuda asal Sumberlawang itu memilih bekerja sebagai buruh bangunan di Jakarta dengan harapan bisa meringankan beban ekonomi keluarga sekaligus bisa menyekolahkan kedua adiknya.
Namun apa daya. Sholeh belum cukup umur untuk bekerja sebagai buruh bangunan. Dia belum punya pengalaman dan kematangan dalam bekerja. Peristiwa yang tidak diinginkan itu terjadi.
Dia terjatuh dari atap sebuah gedung bertingkat. Dia selamat, tapi tangan kirinya patah. Sekarang, tangan kiri itu sudah mati rasa karena urat dan syarafnya sudah tidak bisa berfungsi.
“Beasiswa miskin umumnya didapat oleh pelajar yang pandai. Sementara pelajar yang nilainya pas-pasan susah mendapat beasiswa. Ini bukti kalau tidak semua siswa mendapat kesempatan yang sama dalam mengakses pendidikan,” kata Ketua Bidang Advokasi dan HAM Forum Masyarakat Sragen (Formas) Sri Wahono, kemarin (19/11/2016).
Berdasar informasi, jumlah lulusan SD di Sragen tahun ini ada 13.188 siswa. Sementara jumlah siswa yang diterima di SMP mencapai 11.861 siswa. Dengan begitu, ada selisih 1.327 lulusan SD yang tidak melanjutkan ke jenjang SMP di Sragen. Terdapat 14.748 lulusan SMP pada 2016, namun jumlah siswa yang diterima di SMA/SMK hanya mencapai 12.572 orang. Ada selisih 2.176 lulusan SMP yang tidak melanjutkan ke SMA/SMK di Sragen.
“Sebagian dari mereka memang melanjutkan ke sekolah di luar Sragen. Tapi, sekolah di Sragen juga menerima siswa dari luar kabupaten. Jadi, ada yang keluar, tapi ada juga yang masuk. Biasanya jumlahnya berimbang,” kata Kasubag Perencanaan dan Evaluasi Dinas Pendidikan (Disdik) Sragen Sunar di kantornya belum lama ini.
Disdik Sragen tidak bisa menelusuri keberadaan lulusan SD yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP maupun lulusan SMP yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA/SMK.
“Kami belum tahu apakah mereka benar-benar tidak melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya atau mungkin melanjutkan sekolah ke luar Sragen. Kami tidak punya pekerjaan untuk menelusurinya. Kami tidak tahu ke mana mereka sekarang,” papar dia.
Sekretaris Fraksi Golkar, Heru Agus Santoso, menilai ada masalah yang cukup kompleks mengapa masih banyak siswa tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Selain faktor ekonomi, rendahnya semangat siswa untuk belajar juga menjadi penyebab dia tidak melanjutkan sekolah. Meski begitu, dia menilai impitan ekonomi menjadi faktor dominan penyebab siswa tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.
“Walaupun pemerintah sudah mencanangkan pendidikan gratis, pada kenyataannya siswa SLTA itu tetap membayar. Kenyataan di lapangan ya seperti itu. Mereka masih harus menanggung uang gedung, SPP, LKS serta tetek bengeknya,” jelas Heru yang pernah menjabat Wakil Ketua Komisi IV DPRD Sragen ini.
[Solo Pos]