JAKARTA, EDUNEWS.ID-Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) turut mengundurkan diri dari program Organisasi Penggerak besutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim.
“Melalui Rapat Koordinasi bersama pengurus PGRI provinsi seluruh Indonesia, perangkat kelengkapan organisasi, badan penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan PGRI yang dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 23 Juli 2020 memutuskan untuk tidak bergabung dalam Program Organisasi Penggerak,” ujar PGRI dalam keterangan tertulis, Jumat (24/7/2020).
Langkah tersebut diputuskan karena PGRI menilai seleksi program organisasi penggerak tidak jelas. Di samping itu PGRI menilai waktu pelaksanaan program sangat singkat, padahal dana yang dianggarkan begitu besar.
Diketahui Nadiem menganggarkan Rp595 miliar untuk program ini. Organisasi Penggerak merupakan program pelatihan guru yang melibatkan organisasi masyarakat di bidang pendidikan. Bentuknya, ormas membuat pelatihan, kemudian Kemendikbud memberikan dana.
Di tengah pandemi covid-19 ini, PGRI berpendapat besaran dana tersebut bisa dipakai untuk kegiatan yang lebih membutuhkan. Misalnya terkait pembelajaran jarak jauh (PJJ) di tahun ajaran baru.
“Dana yang telah dialokasikan untuk POP akan sangat bermanfaat apabila digunakan untuk membantu siswa, guru/honorer, penyediaan infrastruktur di daerah khususnya di daerah 3T demi menunjang pembelajaran jarak jauh (PJJ) di era pandemi ini,” lanjut mereka.
PGRI sendiri termasuk dari 156 organisasi masyarakat yang lolos program Organisasi Penggerak. Mereka mendapat kesempatan melakukan dua pelatihan dengan kategori gajah.
Seharusnya, PGRI mendapat dana hingga Rp20 miliar untuk tiap pelatihan dari Kemendikbud. Sedangkan organisasi dengan kategori macan bakal dapat dana hingga Rp5 miliar, dan kategori kijang hingga Rp1 miliar.
Kisruh program Organisasi Penggerak bermula dari kritik banyak pihak terkait dua organisasi yang diduga tanggung jawab perusahaan atau CSR, namun lolos pada kategori gajah. Keduanya adalah Tanoto Foundation dan Yayasan Putera Sampoerna.
Kemendikbud mengklaim Tanoto Foundation memakai biaya mandiri untuk mendanai pelatihan dalam program tersebut.
Sedangkan Yayasan Putera Sampoerna diklaim memakai dana pendamping atau matching fund untuk program tersebut. Artinya Yayasan Putera Sampoerna membiayai sebagian dari pelatihan, dan sebagian lagi dibiayai negara.
Sebelumnya, lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif PBNU dan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Disdakmen) PP Muhammadiyah pun memutuskan mundur dari program ini.
sumber : republika