MAKASSAR, EDUNEWS.ID – Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) didukung oleh Women’s Democracy Network dan International Republican Institute dan kerjasama dengan Kaukus Perempuan Sulawesi Selatan serta Kaukus Perempuan Politik Sulawesi Selatan melaksanakan Women’s Inspire.
Women’s Inspire Edisi #10 dimulai pada pukul 16.00 WITA dipandu oleh Regina Sapta Samudera sebagai host dan menghadirkan narasumber yakni Sunarti Sain, S.E. selaku Jurnalis dan Pemimpin Redaksi Harian Radar Selatan
Women’s Inspire Edisi #10 mengangkat tema “Perempuan dan Media”. Women’s Inspire dilaksanakan secara virtual melalui live streaming di Instagram @lskp.id. dan @unafajar.
Regina selaku host membuka pembahasan dengan perkenalan Women’s Inspire, pemaparan profil narasumber dan kesempatan giveaway kepada Sahabat Publik.
Diawal sesi Sunarti Sain menjelaskan tentang aktivitas sebagai Jurnalis dan Pemimpin Redaksi Harian Radar Selatan, serta motivasi dalam bergerak dan memberikan peran kepada masyarakat
“Sejak menjadi pemimpin redaksi di Radar Selatan, saya bertanggungjawab sebagai pemimpin salah satu media di Sulawesi Selatan. Karena kami konsepnya media cetak dan online, jadi kerjanya setiap hari harus tersebar ke masyarakat Sulawesi selatan. Selain itu, saya juga terlibat dalam beberapa kegiatan dan forum, utamanya di Kominfo tentang literasi digital. Kami juga sedang persiapan untuk film uang panai season 2 yang akan dirilis segera,” kata Una.
Una menjelaskan bahwa Pandemi membawa dampak terhadap industri media dan produksi perfilman Indonesia, banyak media dan produksi film yang tidak siap berhadapan dengan situasi saat ini, yang akhirnya harus tutup. Perlu diapresiasi media yang masih dapat bertahan hingga saat ini, karena sangat tidak mudah dan butuh power yang cukup besar. Media melakukan banyak sekali langkah-langkah mitigasi, seperti efeisiensi di semua bidang, adaptasi dan inovasi sangat penting.
Ditengah pembahasan, salah satu akun @rizld.y bertanya tentang pesan tersirat terkait feminisme yang tersirat dalam film uang panai yang diproduseri oleh Una.
Una menjelaskan bahwa Film Uang Panai memberikan penegasan bahwa uang panai bukan sekedar label bagi perempuan. Perempuan tidak bisa hanya dinilai harga diri dari besaran uang panai. Film ini juga mengandung campaign bahwa uang panai bukanlah seuatu yang kaku dan dipaksakan. Uang panai adalah hasil kesepakatan dari kedua belah pihak yang bersangkutan. Ada juga pandangan bahwa uang panai tujuannya mengangkat harkat dan martabat dari seorang perempuan.
Una berbagi motivasi dan mengajak Sahabat Publik untuk menjadi versi terbaik dari dirinya saat bekerja dibidang apapun itu. Hal ini dipercaya dapat menjadikan setiap pribadi lebih bermanfaat untuk orang lain.
“Saya Pimpinan Redaksi di Fajar pada saat masih kuliah semester 7 yakni tahun 1996, lebih dari 20 tahun sebagai jurnalis dan lebih dari 10 tahun menjadi redaktur. Pengalaman ini membuat saya mengenal banyak hal yang menarik. 1 tahun setelah saya bergabung di Harian Radar Sulawesi Selatan, saya diajak oleh salah satu teman untuk membuat film yang diproduksi oleh anak Makassar yang produksinya di Makassar dengan penayangan secara nasional. Uang Panai sebenarnya bukanlah film pertama, tetapi sebelumnya kami pernah membuat film horror, seperti Sumiaty pada tahun 2016 dan film Urban Lagend,” ungkap Una.
Akun @annkhsnl_ menanyakan tentang representasi perempuan di Industri media. Keterkaitan perempuan dan akibat media, salah satunya sexual herassment, serta bagaimana peran media dan upaya apa yang dapat dilakukan.
Una menjelaskan bahwa representasi perempuan masih pada kuantitas yang minim dan terbatas. Walaupun, banyak jurnalis perempuan yang bagus secara kualitas. Kondisi saat ini, tidak begitu sulit mencari jurnalis perempuan. Tetapi, belum sebanding dengan jumlah laki-laki. Hal ini, berkaitan dengan pemberitaan dengan isu yang bias. Tetapi, tidak dapat dipungkiri, ada juga beberapa media yang sudah terbangun prespektif gender karena dipimpin oleh person yang paham terhadap gender mungkin karena sering mengikutkan jurnalisnaya pada pelatihan.
Una juga menambahkan bahwa peran media bukan hanya sebagai ruang informasi, tetapi juga edukasi dan ruang sosial. Una menggambarkan bahwa saat ini kita tidak hanya berhadapan dengan pandemi, tetapi juga infodemi, dimana masyarakat terpapar dengan info hoax dan sejenisnya. Ketika masyarakat terpapar dengan hal itu akan tidak sehat secara mental. Untuk menghadapi infodemi, kita harus bisa mengenali konten hoax dan tidak menyebarkannya. Ketika kita mendapatkan informasi itu masuk di handphone, kita tidak menyebarkannya, sebelum kita melakukan check and recheck. Media saat ini sudah lebih aware dan warning kepada masyarakat untuk memperkuat literasi digital.
Pembahasan dilanjutkan dengan cerita Sunarti Sain terkait motivasi dan semangatnya untuk tetap bertahan sebagai aktivis perempuan dan aktivis media.
“Enaknya jadi jurnalis karena kita berhadapan dengan banyak hal dan banyak orang. Waktu yang panjang itu tidak terasa karena tantangannya sangat beragam dan membuat kita belajar dari setiap persoalan itu.”, ungkap Una.
Una menceritakan proses panjangnya menjadi jurnalis dan titik terendah yang dia hadapi selama menjadi jurnalis.
“Saya hobby menulis sejak SMP, saya juga bergabung dalam organisasi penerbitan kampus. Disana saya belajar banyak tentang Teknik jurnalistik dasar. Saya juga dapat bertemu dengan banyak tokoh nasional, bahkan rektor UMI dimasanya. Kondisi rezim dan dorongan dari rekan mengharuskan saya untuk bergelut sebagai jurnalistik dan lambat laun, saya menemukan bahwa passion saya ada dibidang jurnalistik. Jurusan kuliah saya optimalkan ketika menjadi pimpinan redaksi radar.”, ungkap Una.
Una menceritakan bahwa ia pernah berada di titik terendah, ketika diperhadap pada situasi beban ganda, dimana harus tetap bekerja dan mengurus anak.
“Ketika anak saya masih kecil-kecil, pada saat itu, saya sebagai Pimpinan Redaktur Fajar yang bertanggungjawab pada satu liputan. Sehingga, kita akan jatuh pada pilihan memilih keluarga. Saya berada pada fase itu, saya selalu mengatakan pada teman saya bahwa, fase ini akan dilewati. Hanya pada bagaimana kita melakukan managemen waktu dan loby terhadap perusahan untuk mendapatkan waktu yang lebih fleksibel untuk dapat meluangkan waktu pada anak. Saya tidak hadir secara instan, tetapi panjang prosesnya sehingga berada di posisi saat ini,” ujar Una.
Una menambahkan bahwa hingga saat ini ia terus konsen pada isu perempuan dan anak. Una menganggap pekerjaan sebagai produser dan jurnalis menjadi sesuatu yang berkaitan dan membentuk pribadinya hingga saat ini. Tentu saja, setiap perjalanan yang Una lalui tidak terlepas dari support system keluarga, teman, sahabat dan setiap orang yang dia temui memberikan pembelajaran tersendiri.
Una berpesan bahwa seorang jurnalis harus mematuhi kode etik jurnalistik, hal mendasar yakni tidak menyebarkan berita bohong. Terlepas dari itu, Una menambahkan bahwa menjadi seorang jurnalis itu bukan pekerjaan yang muda, kita punya tanggungjawab yang besar untuk membangun sebuah peradaban. Jadilah jurnalis yang sebaik-baiknya, untuk menciptakan media yang inklusif. Mari cintai produk perfilman nasional dan karya anak bangsa.
rilis
