Oleh: Andi Muhammad Irawan, Ph.D.*
OPINI, EDUNEWS.ID – Akhir-akhir ini, istilah hoax atau berita bohong ramai diperbincangkan oleh publik di Indonesia. Pagi tanggal 11 Januari 2017, salah satu stasiun televisi swasta nasional menayangkan perbincangan yang khusus membahas masalah hoax dan dampak yang ditimbulkan oleh penyebaran informasi yang validitas atau keabsahan informasi yang disebarluaskannya masih dipertanyakan.
Di akhir tahun 2016 hingga awal tahun 2017, beberapa kalangan menengarai bahwa gonjang-ganjing politik Indonesia yang episentrumnya dimulai di Jakarta melalui kasus ‘penistaan agama’ oleh salah satu calon gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, sedikit banyaknya dipengaruhi oleh penyebaran hoax di media sosial facebook dan twitter.
Pada kasus tersebut, banyak informasi yang berseliweran menyudutkan Ahok sebagai orang yang sengaja melakukan penistaan terhadap Q.S. Al-Maidah ayat 52 yang berisi seruan untuk tidak memilih non-muslim sebagai pemimpin. Buni Yani, seseorang yang menyebarluaskan video rekaman ‘penistaan agama’ ini pun akhirnya harus menghadapi meja pengadilan karena disangka memprovokasi masyarakat dan berkontribusi terhadap membuncahnya kebencian kalangan Muslim terhadap Ahok.
Isu lanjutan dari kasus ‘penistaan agama’ ini yang juga dianggap sebagai hoax adalah informasi yang mengaitkan antara kebijakan presiden Jokowi yang dianggap pro-Cina, melindungi Ahok yang notabene adalah keturunan Tionghoa, dan kebangkitan Komunis di Indonesia. Ditambah lagi dengan banyaknya warga Negara Cina yang masuk ke Indonesia untuk mencari pekerjaan dengan melakukan banyak pelanggaran keimigrasian. Dalam beberapa tautan di facebook, pemerintahan Indonesia dianggap pro-Cina dan ditengarai memberikan peluang besar munculnya kembali ideologi komunis.
Hoax lain yang cukup mencuri perhatian publik adalah munculnya isu yang menyebutkan Jendral TNI Gatot Nurmantyo yang katanya berniat menjadi Presiden Indonesia. Informasi yang tersebar luas di media sosial ini dikaitkan dengan isu kudeta. Ada saja orang-orang tertentu yang menyebarkan hoax dengan mengaitkan sang jendral dengan kelompok Islam untuk merebut tampuk kekuasaan Negara dari pemerintah yang sah. Suka atau tidak suka, safari politik presiden Jokowi ke beberapa satuan tentara dan markas Brimob beberapa waktu lalu merupakan strategi Jokowi untuk menangkal isu tentang adanya keinginan kalangan militer untuk melakukan kudeta.
Begitu pula dengan isu rush money yang berpotensi menimbulkan kepanikan terhadap goncangan ekonomi Indonesia. Isu ini dianggap bisa mendorong penarikan uang besar-besaran dari Bank. Untuk merespon hal ini, pemerintah harus turun tangan menenangkan masyarakat dan menyampaikan ke publik bahwa hoax yang disebarluaskan melalui media sosial ini tidak benar.
Merespon perkembangan hoax yang dianggap meresahkan, baik pemerintah maupun masyarakat melakukan upaya untuk menangkal dampak buruk berita bohong ini. Baru-baru ini DPR memberikan lampu hijau untuk pembentukan Badan Siber Nasional. Begitu juga di kepolisian akan dibentuk departemen khusus yang menangani lalu lintas informasi di media sosial. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pun diberlakukan untuk menjerat mereka yang dikategorikan sebagai penyebar berita bohong utamanya melalui media sosial.
Beberapa hari lalu di Jakarta dan Solo, masyarakat menandatangani petisi anti-hoax. Dalam petisi ini, beberapap pejabat pemerintah di tingkat lokal juga ikut membubuhkan tanda tangan mereka. Melihat perkembangan ini, maka setidaknya hoax bisa dianggap sebagai masalah serius terhadap kehidupan sosial dan politik di Indonesia.
Definisi Hoax dan Beberapa Contoh dalam Sejarah
Apa sebetulnya yang dimaksud dengan hoax tersebut? informasi mana yang masuk pada kategori berita bohong? Secara umum hoax dapat didefinisikan sebagai a particular kind of disinformation (sejenis penyalahgunaan informasi) yaitu berupa false facts that are conceived in order to deliberately deceive or betray audience (penyebarluasan fakta yang tidak benar untuk menipu audiens).
Jadi berdasarkan definisi umum ini, informasi dalam hoax berisikan fakta yang salah (tidak ada dalam kenyataan) dan dengan sengaja disebarluaskan untuk menipu atau membohongi audiens (publik). Dalam laman Wikipedia, hoax didefinisikan sebagai a deliberately fabricated falsehood made to masquerade as truth (kebohongan yang diproduksi secara sengaja dan dibuat untuk menyamarkan kebohongan sebagai sebuah kebenaran).
Definisi lain diberikan oleh Wikipedia Community Guidelines seperti yang dikutip oleh Kumar, West dan Leskovec (2016). Disitu dikatakan bahwa hoax adalah an attempt to trick an audience into believing that something false is real (suatu upaya untuk menipu audiens agar mempercayai sesuatu yang salah sebagai sesuatu yang nyata).
Pada awalnya, hoax berfungsi sebagai lelucon, candaan, atau humor. Dalam kamus Oxford Advanced Learners Dictionary (1995), dikatakan bahwa hoax merupakan a lie or an act of deception, usually intended as a joke (suatu kebohongan atau tindakan untuk menipu, yang biasanya ditujukan sebagai sebuah lelucon). Kamus tersebut memberikan contoh tentang cerita pemadam kebakaran yang menerima panggilan telepon dari seseorang untuk memadamkan kebakaran, tetapi, pada kenyataannya, kebakaran tersebut tidak pernah ada. Cerita panggilan telepon untuk memadamkan api ini adalah lelucon dan dikategorikan sebagai hoax.
Setidaknya ada tiga alasan mengapa seseorang mengkomunikasikan informasi yang salah secara luas (Kumar, West dan Leskovec, 2016). Pertama, misinformation is conveyed in the honest but mistaken belief that the relayed incorrect facts are true. Inti dari alasan pertama ini adalah mengajak publik untuk mempercayai sesuatu yang salah sebagai sebuah kebenaran.
Kedua, disinformation denotes false facts that are conceived in order to deliberately deceive or betray an audience. Sebagai kelanjutan dari alasan pertama yaitu berita bohong yang disebarluaskan dengan sengaja bertujuan untuk membohongi atau mengkhianati publik.
Ketiga, disinformation by a person is not to mislead an audience into believing false facts, but rather to “convey a certain impression of himself”. Alasan ketiga ini yang biasa disebut dengan bullshit tujuannya bersifat pribadi yaitu menciptakan kesan-kesan personal tertentu oleh si penyebar hoax di mata publik.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa hoax berisikan berita bohong yaitu dengan menampilkan sesuatu yang salah sebagai suatu kebenaran, dilakukan dengan sengaja (a deliberate attempt), dan bertujuaan untuk membohongi publik sebagai targetnya.
Dalam sejarah, ada beberapa berita atau informasi yang dikategorikan sebagai hoax dan hingga kini beberapa kalangan masih mempercayainya sebegai sebuah kebenaran. Berita tentang UFO (Unidentified Flying Object/objek terbang yang tidak teridentifikasi) dan Alien misalnya mengaburkan batas antara fiksi dan non-fiksi; antara khayalan dan kenyataan.
Walaupun kalangan ilmiah berusaha membuktikan keberadaan benda asing ini, belum ada data, fakta, atau informasi yang kredibel untuk membuktikan adanya kehidupan Alien di jagat raya ini. Namun, cerita ini sudah terlanjur menjadi bagian dari kebudayaan dan menempati satu slot dalam alam psikologi manusia tentang keberadaan makhluk asing yang mungkin saja hidup di planet lain dengan kecerdasan dan kemampuan tekhnologi yang jauh lebih hebat dari apa yang bisa dicapai manusia saat ini.
Contoh hoax yang lain yaitu keberadaan monster bawah laut yang dikenal dengan Loch Ness atau monster Nessie. ‘Monster’ yang pertama kali diperlihatkan dalam sebuah foto yang diambil oleh Robert Wilson itu menunjukkan seekor makhluk yang memiliki leher panjang muncul dari dalam air. Foto ini mengingatkan kita tentang cerita makhluk purba yang telah mendiami bumi ini jutaan tahun yang lalu dan telah punah. Kemunculan makhluk aneh di foto tersebut mengajak pikiran publik untuk mempercayai bahwa binatang purba semacam dinosaurus itu tidak sepenuhnya punah tapi mereka hidup di dasar laut yang sangat dalam dan hanya sesekali menampakkan diri.
Pelanggaran Etika dan Manipulasi Kognitif
Jika dibawa ke ranah publik, penyebaran berita bohong memiliki konsekuensi serius terhadap kehidupan sosial dan politik. Pertama, berita bohong atau hoax sebetulnya melanggar etika komunikasi dan secara spesifik dalam dunia jurnalistik melanggar etika jurnalistik.
Alasannya adalah informasi yang disebarluaskan sering tidak berdasarkan fakta atau mendistorsi fakta (Van Dijk, 2006). Dalam dunia jurnalisme, sebuah berita harus menyampaikan informasi yang dapat diverifikasi dan dibuktikan secara empiris, bukan hanya sekedar informasi yang berdasarkan pada asumsi pribadi penulis/wartawan yang tidak dapat diverifikasi kebenarannya.
Kedua, peran media sosial seperti facebook dan twitter yang sifatnya borderless (tanpa batas) menyebabkan efek distorsi fakta/realitas oleh hoax bisa menjangkau audiens dengan jumlah yang sangat luas. Selain itu, semua orang bisa menjadi wartawan, editor, dan bisa menyebarluaskannya (share).
Menurut Kumar, West dan Leskovec (2016), the web is a space for all, where, in principle, everybody can read, publish, and share information (web adalah ruang untuk semua dimana setiap orang bisa membaca, mempublikasikan, dan menyebarluaskan informasi). Tentu saja web atau secara umum media sosial memiliki dampak positif dalam hal keterjangkauan informasi dan pengetahuan yang dapat diakses oleh semua orang selama mereka memiliki akun dan data internet, namun di sisi lain juga memiliki dark side (sisi buruk) yaitu penyebarluasan informasi atau berita bohong yang dapat mempengaruhi persepsi publik tentang sesuatu isu.
Ketiga, karena sifat berita, baik benar atau bohong, menyediakan informasi dan sebentuk pengetahuan kepada khalayak, maka hoax sebagai suatu diskursus publik bisa menjadi alat yang efektif untuk memanipulasi pikiran (cognitive manipulation) publik untuk mempercayai sesuatu yang salah sebagai suatu kebenaran (believing a falsity as a truth). Istilah manipulasi kognitif sengaja diangkat sebagai bagian dari judul artikel ini sebab inti dari penyebarluasan hoax adalah memanipulasi dan mengontrol pikiran pembaca yang selanjutnya dapat mempengaruhi sikap dan perilakunya.
Menurut Van Dijk (2006), manipulasi wacana (contonya melalui hoax) selalu bersifat sosial, kognitif, dan diskursif. Bersifat sosial, sebab hoax diproduksi dan disebarluaskan dengan sengaja oleh suatu kelompok atau aktor sosial kepada individu atau kelompok sosial lain; bersifat kognitif karena dapat memanipulasi pikiran audiens ; dan bersifat diskursif karena manipulasi atau kebohongan dikonstruksi dalam teks dan pesan-pesan visual. Sifat manipulatif hoax ini dikonstruksi dengan sengaja oleh aktor sosial tertentu berdasarkan kepentingan ideologisnya dan yang menjadi persoalan besar jika informasi dalam hoax yang bersifat ideologis justru dipahami oleh publik sebagai informasi yang alamiah.
Keempat, efek dari manipulasi kognitif ini adalah pikiran publik diajak untuk mengaitkan satu isu dengan isu lain atau biasa dikenal dengan rantai wacana dalam kajian analisis wacana kritis. Dalam pendekatan sosio-historis, suatu wacana di masa lampau dapat dihadirkan kembali pada teks atau genre teks yang berbeda dan dalam konteks yang berbeda pula (Wodak and Reisigl, 1999). Teks-teks historis di masa lampau bisa didaurulang dalam bentuk teks masa kini pada waktu dan tempat yang berbeda dengan tujuan-tujuan ideologis tertentu.
Fakta tentang komunis (PKI) di masa lampau bagi bangsa Indonesia merupakan sejarah kelam dan menimbulkan trauma politik yang dalam. Wacana komunisme adalah pembicaraan yang sangat sensitif bagi masyarakat Indonesia utamanya jika dikaitkan dengan Islam. Dalam sejarah, kaum muslimin merupakan garda terdepan dalam memberantas ideologi dan antek komunis di masa lampau. Isu komunis ini dihadirkan kembali dalam konteks politik kekinian yang memperoleh justifikasinya melalui kehadiran sosok Ahok, seorang etnis Tionghoa dan non-muslim, yang didukung oleh pemerintah yang berkuasa saat ini dengan garis politik yang ditengarai berkiblat ke Tiongkok, ditambah lagi dengan derasnya arus tenaga kerja Cina masuk ke Indonesia. Ibarat api dalam sekam, jika isu ini dibiarkan menggelinding tanpa kontrol, akan mendapatkan momentumnya untuk meledak. Disinilah peran hoax yang dengan mudah disebarluaskan dan dibaca oleh semua kalangan karena sifatnya yang borderless dan tentu saja berpotensi memanipulasi kognisi publik.
Dalam kondisi masyarakat yang masih saja mudah memercayai suatu informasi tanpa melakukan crosscheck terlebih dahulu menyebabkan penyebaran hoax memiliki potensi bahaya tersendiri akan terciptanya konflik sosial dan menyebabkan ancaman sosial. Hal ini diperparah dengan rendahnya modal sosial (social capital) masyarakat Indonesia yang ditandai dengan rendahnya tingkat kepercayaan (trust). Rendahnya modal sosial ini menyebabkan masyarakat begitu mudah saling menaruh curiga satu sama lain.
Hoax berperan penting untuk memperuncing rasa saling curiga antara satu orang kepada orang lain atau antara satu kelompok dengan kelompok lain. Walaupun tidak ada hubungan langsung hoax sebagai suatu wacana dengan konflik sosial, tapi setidaknya isi berita bohong bisa mengontrol pikiran publik dan menciptakan kebencian terhadap suatu kelompok atau institusi sosial tertentu.
Andi Muhammad Irawan, Ph.D. Komisioner KPID Sulsel. Alumni Program Doktoral Univ. of New England, Australia.