Literasi

Era Digital: Mau Jadi Bangsa Penggali Tanah atau Pembangun Gagasan?

*Oleh Fajar

(Penulis merupakan pengagas LKMI)

OPINI, EDUNEWS.ID – Di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital, masih banyak bangsa yang terjebak pada pola pikir lama, menggali tanah demi kekayaan alam. Hutan dibuka, gunung diratakan, sungai dialihfungsikan. Semua atas nama pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

Namun di era ketika data lebih berharga dari emas, pertanyaannya adalah: masih relevankah tambang sebagai strategi masa depan?

Kita menyaksikan bagaimana pemerintah masih mengandalkan pendekatan ekstraktif memaksimalkan sumber daya alam tanpa memperhitungkan dampak jangka panjangnya. Tambang nikel, batu bara, hingga mineral tanah kini terus diburu, seakan akan itu adalah satu-satunya jalan menuju kemajuan. Sementara dunia kini telah bergeser. Kekayaan tak lagi datang dari perut bumi, melainkan dari kemampuan Manusia berpikir, mencipta, dan berinovasi.

Dalam 21 Pelajaran untuk Abad ke-21, Yuval Noah Harari menegaskan bahwa “Di abad ke-21, kekayaan tidak lagi datang dari tanah, tapi dari kreativitas dan pengetahuan.” Pernyataan ini adalah peringatan sekaligus ajakan. Ia menyiratkan bahwa sumber daya strategis hari ini bukan lagi yang tersembunyi di kedalaman bumi, melainkan yang tertanam di dalam pikiran manusia.

Yang menentukan masa depan bukan lagi seberapa luas lahan tambang yang kita buka, tapi seberapa dalam kita menggali potensi manusia lewat pendidikan, budaya berpikir, dan teknologi.

Argumen yang kerap dikemukakan oleh pemerintah untuk membuka tambang adalah menciptakan lapangan kerja, menarik investor asing, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Namun, realitas di lapangan sering kali jauh dari janji.

Di banyak daerah, pertambangan justru menyisakan kerusakan ekologis, konflik sosial, dan ketimpangan ekonomi. Yang kaya makin kaya, sementara warga di sekitar tambang hanya mewarisi debu, polusi, dan lingkungan yang rusak.

Pembangunan yang berlandaskan eksploitasi sumber daya alam bukanlah langkah menuju masa depan, ia justru menggali masa lalu. Sementara itu, dunia terus bergerak menuju ekonomi digital, energi terbarukan, dan kecerdasan buatan. Tapi ironisnya, banyak negara (termasuk Indonesia) masih menempatkan tambang di atas investasi terhadap manusia itu sendiri.

Penting untuk ditegaskan bahwa ini bukan soal menolak seluruh bentuk pertambangan. Melainkan soal keberanian kita untuk berpikir ulang menyadari bahwa dunia telah berubah. Kita tak bisa menatap masa depan dengan kacamata masa lalu. Maka, pertanyaan yang relevan hari ini bukan lagi: “Berapa besar cadangan nikel kita?”,melainkan: “Apakah kita ingin menjadi bangsa penggali tanah atau bangsa pembangun gagasan?”. Tentu, menutup tambang tak bisa dilakukan dalam semalam. Tapi membuka wawasan berpikir bisa dimulai hari ini juga. Jika yang dikejar hanyalah upah jangka pendek, mungkin tambang adalah jawabannya.

Tapi jika kita berbicara tentang kesejahteraan jangka panjang, maka akses terhadap pendidikan berkualitas, kesehatan, keamanan ekologis, dan keberlanjutan antargenerasi adalah fondasi yang jauh lebih kokoh. Investasi pada teknologi digital, riset inovatif, dan pengembangan manusia bukan hanya pilihan cerdas tetapi keharusan. Karena sumber daya alam bisa habis, namun sumber daya manusia, jika dirawat dan dikembangkan, akan terus menghasilkan nilai, membangun peradaban, dan menjaga bumi.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

Kirim Berita

  • redaksi@edunews.id
  • redaksiedunews@gmail.com

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top