*Oleh Muhamad iqbal
OPINI, EDUNEWS.ID – “Politik dalam Islam bukanlah rimba belantara yang memberi kebebasan bagi yang berkuasa untuk bertindak membabi-buta. Bukan pula medan pertarungan yang kuat menghardik yang lemah.”- Tamsil Linrung
Reformasi 98 menjadi catatan penting sejarah perjalanan bangsa Indonesia terhadap kehidupan demokrasi atas belenggu hegemoni kekuatan orde baru.
Keberhasilan kekuatan sipil menumbangkan rezim orde baru, mengamanatkan pesan yang sangat penting sebagai upaya pendemokratisasian yang harus selalu kita ingat dan kita jaga.
Amanat itu diantaranya adalah penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, pengadilan terhadap Soeharto dan koleganya, amandemen konstitusi, dan yang terakhir adalah pencabutan dwifungsi Abri.
Namun pada kenyataannya, amanat tersebut dikangkangi seenaknya, tanpa melihat perjuangan reformasi sebagai bagian dari upaya membangun peradaban bangsa.
Perlu kita catat secara seksama bahwa rezim Jokowi telah menodai perjalanan demokrasi bangsa ini.
Menjelang akhir kekuasaanya, kita benar-benar disadarkan bahwa rezim ini adalah rezim otoriter yang bersembunyi dibalik selimut demokrasi.
Beragam rekayasa terlihat sangat apik, terbungkus dengan rapi dan berjalan secara sistematis.
Jokowi benar-benar tidak mau kehilangan kekuasaanya, dia menyimpan beragam kartu AS kekuasaanya untuk mengancam para koleganya untuk tetap berada di barisannya, salah satunya menjadikan KPK sebagai alat politik kekuasaan.
Ditengah hiruk-pikuk percaturan politik menjelang pemilu 2024, publik dikejutkan dengan kasus beberapa menteri yang tertangkap OTT KPK.
Yang menjadi sorotan adalah kasus penangkapan Syahrul yasin limpo dan Johnny gerard plate. Publik menilai adanya indikasi tuduhan tebang pilih dalam kasus pemberantasan korupsi.
Hal tersebut tidak terlepas dari posisi partai Nasdem yang memilih berseberangan dengan presiden Jokowi, yang memutuskan mengusung Anies Baswedan sebagai calon presiden 2024.
Begitu pula, Airlangga dan Khofifah tak lepas dari sandera Jokowi, saat Golkar diisukan akan merapat ke koalisi Anies dan Khofifah di santer dibicarakan akan menjadi pendamping Anies, keduanya tak luput dari isu pemeriksaan KPK.
Cawe-cawe Jokowi terus berlanjut dengan memanfaatkan relasi kuasanya dengan Anwar Usman untuk memuluskan Gibran sebagai calon wakil presiden 2024 bersama Prabowo melalui pelolosan gugatan MK.
Meski dinyatakan cacat nilai sebagai pelanggaran etik oleh mahkamah kehormatan MK, namun tidak mampu membatalkan putusan MK dan Gibran pun melaju dengan mulus sebagai calon wakil presiden.
Kasus tersebut jelas menghebohkan publik, bahkan direkam dan dinilai sebagai bentuk dari nepotisme politik.
Belajar dari orde baru, nepotisme sangat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi. Pemilu sebagai alat sirkulasi kekuasaan yang diharapkan mampu menghasilkan regenerasi elit politik baru yang lebih segar, dalam kenyataannya hanya mengganti orang namun tidak dengan kepentingannya. Kondisi tersebut jelas akan menghambat proses konsolidasi demokrasi.
Pemegang kekuasaan akan selalu berusaha menutup rapat ruang dialog, sehingga kepentingan publik akan sulit untuk dikomunikasikan dan menghambat upaya mewujudkan cita-cita bangsa.
Penyelewengan kekuasaan pun akan semakin massif, kekuasaan akan berjalan represif karena kontrol terhadap kekuasaan semakin melemah akibat sektor-sektor strategis sesak dipenuhi oleh suporter kekuasaan.
Ini adalah kondisi yang disebut oleh Julia Kristeva dengan istilah abjeksi moral, yaitu suatu kondisi dimana hukum banyak dipermainkan, diputar balikan, diparodi, didistorsi, dan dilencengkan arahnya untuk kepentingan pelanggengan kekuasaan (Yasraf Amir Piliang, 2005).
Ini adalah titik jurang moralitas sebuah bangsa dimana masyarakat akan hilang kepercayaan terhadap negara akibat permainan hukum yang selalu ditafsirkan berdasar pada kepentingan kekuasaan semata.
Pada akhirnya kekuasaan akan kehilangan legitimasinya dan berjalan ugal-ugalan, dimana kritik akan selalu diwarnai penangkapan, penjarahan tanah akan selalu diberi kosmetik pembangunan, kekerasan dan pembunuhan akan selalu dibungkus oleh rasa cinta tanah air.
Dari uraian diatas, nampaknya demokrasi kita hanya dimaknai oleh para elite sebagai hak milik property. Barang siapa yang menang dalam pemilu, mereka menganggap bahwa negara ini miliknya dan mereka bisa bebas melakukan apa saja.
Padahal apabila kita berangkat dari konsep keadilan John locke, kita perlu sadari bahwa selalu ada batasan hak dalam setiap kepemilikan.
Dalam hal ini locke mencontohkan ketika seseorang “mencampurkan pekerjaanya dengan barang-barang bumi (milik bersama)”, misalnya dengan menanam pohon maka seseorang akan memperoleh hak atas hasil kerjanya sebagai bagian dari hak kepemilikan dirinya. Namun dia juga memiliki batasan atas haknya, tidak boleh melebihi jumlah yang dapat dimanfaatkan.
Konsep keadilan locke tersebut mengajarkan kepada kita bahwa dalam konteks demokrasi, ketika kita menang “katakanlah menjadi seorang presiden”, bukan berarti kita sebagai pemilik negara sepenuhnya. Dalam pelaksanaannya kita hanya diperkenankan untuk bekerja sesuai dengan porsinya dan dalam batasan tertentu, serta selalu mengedepankan prinsip atau nilai yang menjadi standar etis kehidupan bernegara agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan seperti yang terjadi hari ini.
Kondisi ini memberikan pembelajaran berharga kepada kita semua untuk tetap kritis terhadap segala kondisi, termasuk dalam mencermati hasil produk dari sebuah pemilu. Dengan demikian hanya kewarasan yang harus kita pertaruhkan untuk menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan.
Buah tangan perjuangan reformasi harus tetap kita kawal, jangan sampai hanya menyisakan catatan buruk perjalanan bangsa, dan duka bagi masyarakat Indonesia.
Rasanya sudah cukup penderitaan orde baru menjadi catatan kelam bangsa kita. Demokrasi harus menjadi simbol kedaulatan rakyat, maka rakyat berhak untuk menunjukan ekspresi kedaulatannya ketika penguasa tidak mampu mewakilinya.
Daftar Pustaka
Yasraf Amir Piliang. (2005). Transpolitika: Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas. Jalasutra.
