Oleh: Sampean*
“Tak perlu menaikkan harga rokok, Petani Indonesia Sudah Rontok”
OPINI, EDUNEWS.ID – Angin sedap berulangkali memiuh telinga masyarakat Indonesia dan selalu saja geger. Mulai dari mantan Menteri ESDM Sudirman Said Melaporkan Ketua DPR RI Setya Novanto karena papa minta saham. KPK pun berubah menjadi nama menjadi Komisi Perlindungan Korupsi dalam sebuah surat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Dan yang terbaru, Menteri pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud) Muhajir Effendi berseloroh ingin memberlakukan Full Day School dan penghapusan pendidikan gratis.
Sekali lagi, rakyat menjadi pendengar dan penonton ulung. Nasibnya, hanya bergantung di bacotan pemangku kebijakan. Berakhir di ujung pulpennya. Rakyat menjadi penikmat penderita dan pelengkap kesejahteraan para pejabat. Jika Rakyat diuntungkan dengan ketidakstabilan pendidikan, perusahaan dikuasai asing dan koleganya di Indonesia. Maka, pemerintah menjaga asa kerontokan ekonomi rakyat.
Baru-baru ini, pemerintah kembali mengajak rakyatnya bercanda dengan menaikkan harga rokok dua kali lipat dari sebelumnya. Berarti, harga rokok berkisar di 50ribuan rupiah. Harga ini memang sangat luar biasa mahal. Bagi masyarakat kelas bawah, baju kaos seharga 30ribuan rupiah saja masih sulit untuk dibeli. Apalagi rokok seharga semahal itu. Tentunya, rakyat tidak mampu membeli dan mengonsumsi rokok. Sehingga, rokok hanya dapat diakses kelas elit. Dan rokok menjadi penanda status sosial antara yang kaya dan miskin antara yang elit dan yang jelata.
Sungguh miris, rokok telah menjadi mewah di tengah tuannya sendiri. Bagaimana tidak, petani yang bergelut dengan tanah sepanjang hari menyiangi tembakau dan cengkehnya, terancam tidak bisa menikmati segarnya rokok filter buatan industri Indonesia, yang telah dikuasai asing.
Harga rokok melebihi pendapatan perkapita Indonesia. Data tahun 2016 dari situs World Bank merilis pendapatan perkapita rakyat Indonesia sebesar Rp330.776 ($22.60) perbulan. Secara otomatis pendapatan rakyat Indonesia sehari hanya berada di kisaran Rp11.025,87,-. Sedangkan, harga rokok Rp50.000 perbungkus 4 kali lipat dari pendapatan perkapita dalam sehari rakyat Indonesia, tentunya, akan sulit diakses oleh 90 juta jiwa perokok Indonesia (Republik.co.id). Jumlah ini akan terpangkas drastis ketika harga rokok dinaikkan, karena rakyat kelas bawah dan kelas menengah sulit menjangkau harga rokok tersebut.
Pengurangan jumlah perokok (pengonsumsi rokok) akan disertai dengan pengurangan produsen rokok. Produksi rokok rendah berarti penyerapan bahan baku akan rendah. Sementara, ketersediaan bahan baku melimpah akan mempengaruhi harga bahan baku. Banyaknya ketersediaan bahan baku akan membuat harganya terjun bebas dengan angka paling rendah. Sehingga, lagi-lagi pengusaha yang berjaya dan negara untung. Rakyat (petani) yang buntung.
Kemurahan bahan baku produksi menguntungkan para pengusaha, harga produk yang tinggi dan pajak yang tinggi lebih menguntungkan pengusaha dan negara. Pada tahun 2008 saja, industri rokok menyumbang pajak sebesar 57 triliun rupiah. Itu cukup untuk menyubsidi dana kesehatan atau pendidikan rakyat Indonesia.
Ketika harga rokok dinaikkan, penerimaan pajak dari rokok akan turut menggelembung. Sementara, pendapatan petani akan turun, khususnya petani tembakau dan cengkeh sebagai penyedia bahan baku. Sehingga, yang dirugikan penyedia bahan baku (petani).
Alasan kenaikan harga rokok sangat manusiawi. Negara menyelamatkan rakyatnya dari penyakit. Sebab, rokok dapat menyebabkan kanker, sakit jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan gangguan pernapasan.
Alasan ini pula digunakan para pakar kesehatan bahwa rokok salah satu penyumbang terbesar penyakit di Indonesia. Kemudian, pengurangan perokok akan mengurangi orang berpenyakit. Pengurangan orang sakit berpengaruh terhadap jumlah subsidi kesehatan. Orang sakit beban negara apalagi orang miskin. Sudah cukup APBN tersedot gara-gara orang sakit.
Tapi, cukup pejabat yang menikmatinya dan biarkan rakyat menutupi defisit anggaran dengan menaikkan pajak. Alasan ini sungguh menggelitik, dengan tingginya kebocoran APBN negara, rakyat harus dikorbankan dan menanggung beban negara.
Sementara, para pejabat duduk manis menikmati gajinya. Sesekali, menyisipkan pajak berlibur ke luar negeri. Maka untuk mengurangi beban negara, ilmu pakar kesehatan paling sakti mendukung program penaikan harga rokok dengan dalil mempuni ABPN terbebani dengan biaya orang miskin yang sakit.
Padahal pajak rokok tahun 2015 menyumbang 139,5 triliun rupiah. Pajak ini dipungut dari para pengonsumsi rokok, bukan perusahaan rokok. Perusahaan hanya penadah pajak dari rakyat lalu diserahkan ke negara. Kerja sama yang sangat taktis dan saling menguntungkan sebagai patriot penyelamat kemaslahatan rakyat banyak. Mereka para patriot penghancur ekonomi rakyat.
Penghancuran ekonomi rakyat lagi-lagi melibatkan para pakar kesehatan. Sebagaimana, penghancuran ekonomi rakyat nelayan di Indonesia. Masih lekat di ingatan kita, Indonesia sebagai penghasil kopra terbesar di dunia dan dikenal sebagai negeri nyiur melambai.
Kini, Indonesia tenggelam oleh usaha kelapa sawit yang dikuasai asing. Rakyat nelayan Indonesia pernah berjaya menikmati harga kopra. Tapi, lagi-lagi para ahli kesehatan dan WHO mendapuk minyak kelapa mengandung lemak jenuh berbahaya bagi kesehatan dan dapat menyebabkan kanker.
Dengan seketika, ekonomi petani kopra rontok hancur lebur. Bagaimana tidak, harga 1 ton kopra hanya dihargai 1,2 juta rupiah saja. Miris bukan? Sementara, pengusaha kelapa sawit semakin berjaya. Hutan Indonesia terus dirambah menumbuh kembangkan kelapa sawit. Dan, petani kopra kehilangan kelapanya. Rakyat merana, tetap menjadi penikmat penderitaan seperti yang sudah-sudah. Kenangan kehancuran petani kopra akan diikuti dengan kehancuran petani cengkeh, dan tembakau dengan alasan yang sama.
Perselingkuhan pakar kesehatan, pengusaha dan pemerintah cukup ampuh untuk merontokkan ekonomi rakyat. Selalu ada alasan membuat masyarakat ketakutan dan kecemasan atas karya dan usahanya sendiri. Ancaman penyakit menjadi strategi jitu melejitkan ketakutan pada masyarakat. Dengan cara ini, masyarakat cukup menerima nasib saja, keberuntungan selalu berada pada pemangku kebijakan.
SAMPEAN, Alumni Sosiologi Universitas Negeri Makassar.
