JAKARTA, EDUNEWS.ID – Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati, mengungkapkan masalah struktural ekonomi Indonesia yang sangat potensial memicu pelemahan rupiah selama ini adalah kebergantungan yang tinggi pada impor, seperti barang konsumsi dan pangan.
“Kita itu serba-impor kan. Akibatnya, permintaan terhadap dollar sangat tinggi. Dan, itu pasti karena impor untuk kegiatan pokok, seperti energi, pangan, dan bahan baku industri. Kalau itu tidak impor, konsekuensinya kegiatan ekonomi nggak bisa berjalan,” ujar dia, Rabu (14/3/2018).
Artinya, lanjut Enny, tekanan permintaan dollar tinggi. Makanya, sebagian orang berani spekulasi memborong dollar karena sudah pasti dibutuhkan di Indonesia. “Itu logika sederhana yang disebut tekanan dalam negeri,” katanya.
Oleh karena itu, dia mengingatkan agar BI juga mencermati adanya faktor kekhawatiran psikologis pasar. Bank sentral harus hati-hati untuk melakukan intervensi. “Tapi, kalau posisi rupiah sudah melampaui ekspektasi maka BI harus melakukan intervensi,” kata Enny.
Selain itu, imbuh dia, BI juga perlu menjalin komunikasi dengan pelaku pasar, terutama yang memiliki permintaan valuta asing (valas) besar, yakni BUMN yang kebutuhan impornya tinggi. “Kemudian, korporasi yang butuh dollar dalam jumlah besar. Tapi perusahaan besar biasanya self defense, melakukan hedging,” jelas dia.
Menurut Enny, komunikasi BI itu bertujuan agar intervensi tepat sasaran, tidak dicaplok oleh spekulan yang tidak hanya berasal dari dalam negeri. “Jadi, berapa pun intervensi, saya khawatir kalau BI nggak hati- hati hanya menggarami lautan. Makanya, mestinya BI berkomunikasi dengan yang demand-nya tinggi,” pungkasnya.