Oleh: Darah Mimpi*
Jika aku berkata…
Senyum mereka masih riang, walau kabut di langit menghadang. Wajah kaku menerobos gigil yang menyelimuti perjalanan. Dingin menusuk sampai pori kulit yang terdalam. Udara mendadak menjadi jarum yang mematikan. Resliting dinaikkan. Bibir langsung menghias paras yang biru. Langkah merangkak, harus segera tiba, sampai di persinggahan istana tercinta. Duduk bersila di hadapan kekasih hati sembari menenggak teh hangat, menatap aktivitas senja yang akan lelap.
S.E.B.A.G.I.A.N. Dan gerimis memutar gerak jemari insan. Mantel dibalutkan ke tubuh. Ransel di punggung tak dibiarkan menggigil. Senyum yang semula mengembang, menjadi tumbang. Langit menggeleng iba, ia mulai menangis, gerimis menjadi nostalgia manis.
Terjalnya jalan dilalui. Bebatuan berantakan di pusar membuat ban sepeda motor menggeliat tak suka. Para pembonceng pun diwajibkan berpegangan erat. Entah pada ekor jog, atau pinggang tak ramping sopirnya. Sementara hati komat-kamit membaca doa keselamatan. Ilalang mentertawakan. Aspal kacau, kerikil bertebaran tak rapi. Gas mulai kebut-kebutan. Tak ada yang rela melaju di belakang, semuanya ingin menjadi yang terdepan. Aku menggumam.
Mungkinkah gerimis menyebabkan kekacauan?
Kawan, kau mau tahu perjalanan ini tergiring ke mana? Sesungguhnya aku dan mereka sedang dalam perjalanan pulang. Beberapa menit mundur, rombongan menengok teman yang baru saja melahirkan buah hati nan jelita. Bertambahlah nyawa yang hendak memperebutkan dunia. Doaku, semoga ia tak menjadi serakah seperti raja yang sudah kehabisan tahta.
Dalam perjalanan ini, ada kisah yang haruslah kau tahu. Tentang sesuatu yang jarang sekali terpikirkan oleh banyak orang. Maka sepenggal kisah yang kutorehkan dengan tinta ini adalah santapan lapar bagimu yang sedang kehabisan motivasi hidup untuk memperjuangkan impian meraih surga. Ya. Semua orang menghendaki kesenangan, kenyamanan, ketenangan, terakhir kepuasan yang memenangkan segala bentuk perjuangan. Lantas kau menganalogikan bahwa hal itu adalah surga. Surga yang menjadi idola kehidupan.
Perjalanan usai. Roda berhenti di depan toko pakaian.
“Bu Rara,” teman memanggil. Kawan, kau tak usah bingung mengapa diriku yang berusia ranum belum melengkungkan janur, terpanggil IBU. Kujelaskan sekali lagi, bahwa aku dijebakkan takdir dalam ranah pendidikan anak-anak. Maka, teman yang baru saja memanggilku adalah guru dengan senyum termanis yang dapat memabukkan hatimu.
Leherku menoleh. Bu Ruroh, teman yang kutumpangi sepeda motornya menghentikan tarikan gas. “Ya, ada apa?”
“Bantu bawa minuman ke sekolahan, ya?”
“Loh mana minumannya?” Protes Bu Ruroh manis. Ia adalah sosok guru yag lembut tuturnya, anggun pembawaan dirinya, dan santun ucapannya. Akalnya kaya dengan milyaran kata yang sering dibacanya di beranda rumah tatkala senja mekar. Maka lengkung nirwana mampu dipatahkannya dengan kata-kata. Sayang, ia lebih banyak diam. Berkata seperlunya, meski senyumnya selalu dipamerkan kepada banyak orang. Ramah memang.
“Lagi mau saya beli.”
Aku tertawa lalu turun dari motor. Bu Ruroh mengiyakan enteng. “Iya.”
“Ayo Bu Rara, bantu bawa minumannya!” Jerit Bu Ifa. Orang yang sejak lahir telah memiliki tekstur wajah humoris. Disempurnakan oleh tubuhnya yang kurang ramping. Suaranya satu kali lebih keras dari miliknya Bu Ruroh.
Aku melengos.
“Malas ah!”
“Astaghfirullahhal’adzim.” Tak kudengarkan gerutuan mereka. Memang begitulah aku. Acuh tak acuh. Langkah kutuntun masuk ke toko Devita.
Tempatku bersinggah seperti biasanya. Ada benda yang kurindukan. Cermin pemantul tubuh. Masihkah aku tampak rapi? Atau sudah layak jika kau panggil gembel tak mandi? Aku menarik senyum sendiri. R.a.p.i. Lantas keluar kembali.
“Mana yang bisa saya bantu?” Responku seraya mendekati sepeda motor Bu Ruroh. Satu kardus air mineral diletakkan di belakang tubuhnya. Tampak menyedihkan. Bu Ifah menambahnya lagi satu tumpukan.
Wanita lembut itu susah payah menjaga keseimbangan. Gerimis melambai. Kendaraan yang melintas jalan raya hanya melirik sekilas. Tak ada yang berkenan membantu, barangkali Bu Ruroh terjungkal, sebab kehilangan keseimbangan, mungkin bagi waktu itu tak akan pernah menjadi masalah. Aku mengulum senyum. Aku mengantisipasi kejadian buruk. Tak akan pernah membiarkan hal tersebut sungguh terjadi.
“Ayo, Nduk. Bantu!” Ia sedikit membulatkan matanya. Seolah hendak marah, namun senyum mendadak merekah. Anggun.
Aku duduk di belakang memegangi kardus. Bu Ifa kembali masuk ke dalam toko. Ia urus administrasinya. Kami berdua melanjutkan perjalanan. Aku terus menggumam. Berpikir. Lantas berdebat dengan batinku sendiri. Mencari-cari sebuah pelajaran yang dapat diambil. Aku tersenyum. Ada secuil moral yang dapat aku renungkan. “Bagaimana mungkin air dapat diletakkan di dalam kertas?” Bagiku, kardus merupakan kertas yang tebal.
Logikaku tak dapat menangkap realita tentang air yang tersimpan di dalam kertas. Namun, coba kau bayangkan, dengan kecerdasan manusia yang diturunkan dari Allah padanya. Mereka menemukan tempat yang tak lagi unik untuk membuatnya menjadi hal yang tidak mustahil. Kuharap kau tak pening dengan pemikiranku.
Aku mengangkat satu kardus ke sekolah. Bu Ruroh menunggu di depan pintu gerbang. Langkah kutuntun dengan riang. Aku tak menghiraukan gerimis yang berubah menjadi butiran air.
Mendungnya langit belum begitu berarti dalam hidupku. Bu Nia yang juga seorang guru menyambut, ia sudah lebih awal tiba di persinggahan tercinta. Ikut serta membawakan satu kardus minuman. Aku meletakkan di depan pintu kantor. Duduk sebentar.
“Bahkan air pun bisa dimasukkan ke dalam kertas ya?”
“Hei! Kau bilang apa?”
“Coba dinalar, apa yang ada di dalam kertas ini?” Aku menepuk permukaan kardus.
“Ya. Minuman!” Bu Nia menjawab tegas. Ada yang melirik heran dengan laju pikiranku di depan pintu gerbang. Ia seolah hendak mencengkeram rem kuat-kuat.
“Apakah minuman itu terbuat dari debu?” Bu Nia tak memberi jawaban. “Kalau saya berkata air di dalam kertas, apakah salah?”
“Bu Rara!” Hardik lawan bicaraku. “Itu kardus!”
“Apakah kardus itu alumunium?’
Ia mendengus. Wanita yang di depan gerbang bertambah geram. Kelembutannya sedikit luntur.
Keteduhan sorot matanya sedikit memudar. Hujan segera menjadi lawan. Angin sepoi tak lagi menenangkan. Daun cengkeh di tempat parkir berguguran. Langit muram. Dan aku tetap mempertahankan obrolan.
“Bukan!” Bu Nia kalah.
“Jadi, aku benar bahwa ada air di dalam kertas?”
“Tidak. Ada gelas plastik yang menampungnya, barulah dimasukkan ke dalam kardus!”
“Kesimpulannya tidak mungkin ada air di dalam kertas? Maksudnya, mustahil kertas sanggup menampung air?” Kataku menarik respon Bu Nia. Kupaksa otaknya berpikir serumit mungkin.
“Ya itu tidak logis?” Sanggahnya.
“Justru karena itu tidak logis, maka manusia telah melogiskannya!”
Waktu berdecak. ‘Debat kusir.’ Aku acuh. Bu Ruroh sepertinya mengurangi kadar kesabarannya untuk menungguku. Lagi-lagi aku angkuh.
“Apa maksudmu?”
“Karena air di dalam kertas itu mustahil, maka Allah menurunkan kepandaian kepada manusia untuk mengolah plastik menjadi gelas agar melindungi air, kemudian Allah juga memberikan ilmu kepada manusia untuk membuat kertas yang lebih tebal.”
“Dan kesimpulannya tetap, Bu Rara! Tidak ada air di dalam kertas! Sekarang kau sadar bukan bahwa hal tersebut sungguh mustahil?” Bu Nia menarik kesimpulan.
“Bukan, cobalah kita berpikir dari sudut pandang yang berbeda. Dari minuman dan kardus tersebut kita dapat mengambil sebuah pelajaran, bahwa di dunia ini banyak hal yang mustahil. Jika dilogika, bagaimana mungkin pesawat yang beratnya berton-ton itu melambung tinggi di udara, siapa yang menggerakkannya? Ilmu dari mana? Atas izin siapa? Sama halnya itu mustahil!”
Bu Nia diam. Ia mengatur napas, mengeluarkannya secara perlahan.
“Hush… KENAPA MALAH BERDEBAT?” Bibir Bu Ruroh akhirnya melontarkan perkataan.
“Dan satu hal lagi, selembut-lembutnya orang ia juga mempunyai peringai yang kasar, orang di depan gerbang sekolah itu buktinya, meski ia tak seutuhnya marah, namun itu sanggup menjadi gambaran.”
Aku tersenyum. Sepuluh detik kemudian, senyumku menjadi rekahan tawa yang memabukkan.
“Segala hal yang mustahil dapat dilakukan oleh hal-hal yang tidak mustahil. Sesuatu yang mustahil mendapatkan bantuan dari hal yang tidak mustahil agar menjadi tidak mustahil!”
“Kau bicara apa, Bu Rara?”
“Apakah penjelasanku salah? Bagaimana bisa, ada gerbong yang berjalan berpuluh-puluh kilometer? Siapa yang menariknya? Ilmu apa yang digunakan untuk mencetuskan mesin uap, listrik, atau yang lainnya? Bagaimana orang sanggup mengukur muatan, bagaimana orang memperkirakan banyaknya penumpang? Jika saja tidak ada ilmu di dalamnya, tak ada orang yang diberi kecerdasan untuk merakitnya, dan tak ada zat yang memberikan tenaga untuknya, sanggupkah gerbong-gerbong itu berjalan hanya dengan bantuan angin? MUSTAHIL!”
Bu Nia menggumam. Ia menatapku tajam. Mulutnya bungkam.
“Jangan pernah takut memimpikan sesuatu yang mustahil, selama itu masih dalam batas nalar. Dulu aku juga sempat tidak mengerti mengapa lampu bersinar, bagiku itu mustahil, disusul ada laptop, handphone, mesin cuci, dan yang lainnya. Ah, itu membuatku pening, tapi jika sekali saja aku renungi segalanya, itu justru akan membuatku tunduk pada yang di atas. Alam ini dan semua apa yang di dalamnya, tak mungkin mampu bergerak dengan sendirinya!”
Bu Nia mengangguk. “Jadi, tak ada yang mustahil jika saya mengatakan bahwa ada air di dalam kertas. Manusia telah menjadikannya tidak mustahil dengan membungkusnya terlebih dahulu di dalam gelas plastik agar dapat dikemas di dalam kardus, yang kumaksud sebuah kertas tebal.”
“Ayo, Nduk! Mau pulang tidak?” Semula Bu Nia diam, lalu ia meledakkan tawanya. Aku melanjutkan perjalanan pulang. Hujan melambai riang.
***
30 September 2016. (Memoar bersama Ustadzah Ruroh dan Ika Kurniati. TKIT AS-SALIMA).
Darah Mimpi, nama pena dari Titin Widyawati Gadis kelahiran Magelang, 1995 ini amat gemar dengan pesona alam. Hari-harinya dihabiskan dengan tidur dan melamun.