PARADIGMA, EDUNEWS.ID – Apa yang menarik di akhir pekan, pada pertengahan bulan Agustus 2016? Bagi para pecandu sepak bola, kecanduannya akan segera terobati. Soalnya, Liga Primer Inggris, segera bergulir, yang pluitnya ditiup pada Sabtu, 13 Agustus 2016. Salah satu big match yang bakal tersaji adalah perlagaan antara Arsenal lawan Liverpool. Dua klub papan atas di jagat sepak bola Inggris. Meski saya fans Arsenal, seorang gooners, tidaklah peduli akan hasil menang, seri atau kalah. Bagi saya, yang lebih penting, permainan bola telah dimulai. Sebab, bila Arsenal bertanding, apapun hasilnya, sulit pulas. Kalau menang, terbayang gol indah menawan, kalau kalah, setumpuk kata “andai” berhamburan menohok, tanda sesal.
Sari diri Arsenal yang menerungku saya, terletak pada usungan gaya permainannya yang memperagakan sepak bola indah dan menyerang. Sering terimaji, bagaimana berondongan bola-bola, bak peluru dari meriam yang ditembakkan, sesuai dengan nama yang dinisbajkan padanya, meriam dari London Utara. Dan, sejarah panjang Arsenal, menorehkan kisah terbentuknya klub ini, membuat saya jatuh hati, karena dimulai oleh para buruh dari pabrik mesiu-meriam, yang berjasa bagi Inggris. Latar ini pulalah yang menyebabkan, mengapa keluarga Kerajaan Inggris menjadi pendukung utama Arsenal.
Gegara Radhar Panca Dahana, sosok budayawan dan sastrawan, yang dalam banyak tulisannya sering menggunakan kata arsenal, padahal tulisan itu tidak berbicara tentang rempuh sepak bola, apatah lagi klub sepak bola. Rasa penasaran saya selaku gooners, membawa ke KBBI, termaktublah di situ arti kata arsenal, yang tertulis: “bangunan permanen tempat penyimpanan, pembuatan, dan perbaikan senjata, amunisi, dan alat-alat perang lainnya.” Rupanya, Radhar menggunakan kata arsenal ini, dalam bentuk kiasan atau memperluas makna kandungannya. Sehingga, seumpama bicara tentang gagasan dalam kaitannya dengan kebudayaan, Radhar amat sering menggunakan kata arsenal ini.
Selaku pegiat literasi, sekaligus penikmat sepak bola – seorang gooners— dan pembaca karya-karya Radhar, saya pun ingin menggunakan kata arsenal ini, guna mendedahkan segenggam pikiran akan kemaujudan buku, dalam kaitannya dengan gerakan literasi dan komunitas literasi, khususnya di daerah yang saya gawangi pengembangannya, Butta Toa, Kabupaten Bantaeng, yang jarak tempuhnya 120 km dari Kota Makassar.
Tersebutlah di Bantaeng, Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan, salah satu komunitas literasi yang saya dirikan bersama kawan-kawan, pada tanggal 1 Maret 2010. Sebagai komunitas, sudah beberapa kegiatan yang dibikin. Semisal pelatihan literasi, penerbitan dan launching buku, diskusi, pementasan seni-budaya dan rumah baca. Namun, yang saya mau ajukan kali ini adalah rumah bacanya, yang tetap eksis karena ditopang oleh gerakan wakaf buku, lalu berjejaring dengan beberapa komunitas literasi, yang juga mempunyai sejenis ruang baca. Ada Sudut Baca Al-Syifa, Rumah Baca Nusantara, Pustaka Kopi Boda, Kolong Baca Balla Lompoa Lantebung dan Teras Baca Lembang-Lembang. Juga, beberapa perpustakaan pribadi-keluarga.
Manajemen yang diterapkan oleh Rumah Baca Boetta Ilmoe, melayani peminjaman buku, baik secara perorangan maupun berkelompok, seperti komunitas literasi lainnya. Buku-buku yang didapatkan dari para pewakaf itulah yang menjadi sejenis amunisi, tepatnya semacam peluru yang ditembakkan ke berbagai penjuru mata angin di Bantaeng. Jadi, Boetta Ilmoe telah menjadi semacam arsenal buku, bagi warga. Makin banyak buku wakaf yang diterima, maka dipastikan pula, berondongan peluru, berupa buku-buku itu digelontorkan pada komunitas-komunitas literasi atau perorangan.
Bahkan lebih dari itu, Boetta Ilmoe ikut memprovokasi sekaligus memberikan dukungan atas berdirinya Teras Baca Lembang-Lembang. Awalnya, meminjamkan rak pajangan dan beberapa eksamplar buku untuk dipajang, sebagai tanda dimulainya teras baca tersebut. Walhasil, teras baca ini sudah bisa berjalan sendiri, dengan pengelolaan yang mandiri. Mulai dari mencari para pewakaf buku, hingga bagaimana mengelolah peminjaman buku yang ada, serta cara mengembangkan fungsi teras baca sebagai pusat kegiatan literasi.
Kedepannya, bersama komunitas literasi lainnya yang ada di Bantaeng, akan berjejaring dalam proses saling berbagi buku, saling meminjamkan antara komunitas yang satu dengan lainnya. Hal ini diinisiasi, sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan kurangnya koleksi buku di setiap komunitas. Sebab, mesti diakui, kebutuhan akan bahan bacaan warga di sekitar komunitas, bila sudah tumbuh minat bacanya, selalu saja keterbatasan koleksi buku menjadi biang soalnya. Dengan begitu, maka antara komunitas literasi yang satu dengan lainnya, bisa saling meminjamkan buku bacaan. Kalau saja ini terwujud, pastilah setiap komunitas literasi akan saling menguatkan.
Boetta Ilmoe dengan rumah bacanya, tentulah akan menjadi arsenal buku yang terdepan dalam upaya saling menguatkan komunitas literasi ini. Beberapa upaya uji coba telah menunjukkan hasil, meski baru satu arah, dari Boetta Ilmoe ke komunitas literasi lainnya. Belumlah antar komunitas. Bila saja teladan Boetta Ilmoe ini diikuti oleh komunitas lainnya, maka yang bakal nampak adalah setiap komunitas literasi akan menjadi arsenal buku bagi komunitas lainnya. Sepertinya, ini hanya soal jejaring bersama, yang bila digarap dengan penuh kesabaran bersama, jiwa kolektivitas mengemuka, maka tidak menutup kemungkinan percepatan tumbuhnya komunitas literasi dengan ruang bacanya, amat mudah diwujudkan.
Manakala rendahnya minat baca masyarakat, dijadikan sebagai musuh bersama, maka sudah jelaslah sasaran tembaknya. Tidaklah perlu mendatangkan meriam dari London Utara untuk menembakinya, atau mengancamya. Tidaklah perlu pula klub sepak bola sekelas Arsenal didatangkan untuk bermaian, melakukan pertanding persahabatan, biayanya terlalu mahal. Paling mungkin yang dilakukan adalah mewakafkan buku pada komunitas-komunitas literasi, karena dengan buku itulah, menjadi sejenis amunisi atau peluru yang ditembakkan untuk menghancurkan benteng pertahanan rendahnya minat baca masyarakat. Singkatnya, berwakaf buku, sama saja telah mewujudkan arsenal buku pada setiap komunitas literasi.
Sulhan Yusuf. Pegiat Literasi. Koordinator Kelas Inspirasi Sulsel.