Oleh: Sulhan Yusuf*
PARADIGMA, EDUNEWS.ID – Negeri kita Indonesia, yang dijuluki sebagai ratna mutu manikam, sebagai kolam susu, belakangan ini akrab dengan keadaan darurat. Mengadalah darurat bencana, darurat teror, darurat korupsi, darurat pornografi, darurat narkoba, dll. Saya ingin menambahkan darurat yang paling kiwari, darurat hoax. Seperti halnya kondisi darurat lainya, ancaman hoax ini, tak kalah mengkhawatirkannya. Sebab, yang disasar adalah jiwa bangsa ini. Jika berlanjut tak terkendali, tidak menutup kemungkinan, negeri ini sudah berada pada pintu gerbang perpecahan.
Bila saja saya menabalkan amsal, maka saya cenderung untuk mengibaratkan hoax ini serupa dengan narkoba, yang menimbulkan efek kecanduan bagi yang mengkonsumsinya. Jadi, guna mengatasi darurat narkoba, pemerintah telah menempuh berbagai cara untuk mengatasinya, mulai dari pembikinan UU, penegakan hukuman mati, sampai pada pelembagaan gerakan lewat BNN. Begitupun masyarakat ikut bergerak, lahirlah semisal gerakan-gerakan anti narkoba, semisal Granat, dan beberapa lagi organisasi lainnya.
Semestinya, pun dalam mengatasi darurat hoax ini, pemerintah mulai bergerak mengatasinya, lewat pembuatan UU IT, Badan Siber Nasional dan pemblokiran situs-situs media daring. Masyarakat ikut pula bergerak, mulai dari adanya upaya penyadaran, pembuatan aplikasi penangkal hoax, hingga oraganisasi dan komunitas anti hoax. Waima hasilnya belumlah sebanding, antara upaya pencegahan dan penyebaran hoax. Soalnya, hoax ini sudah seperti kanker, yang virusnya menyebar dengan masif di sel-sel tubuh negeri ini. Bahkan, akibatnya, tidak sedikit dari anak bangsa ini telah menjadi penikmat, pengedar, dan sekaligus bandar hoax.
Sejauh yang saya pahami, berdasarkan pengertiannya, sebagaimana Wikipedia mendefenisikan, hoax serupa dengan, “Pemberitaan palsu adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu.” Dari pijakan anggapan inilah, sependek pengetahuan saya, dapat menambahkan, bahwa akar utama dari munculnya hoax berhulu pada kebohongan dan kebencian. Dua sisi, bohong dan benci, membentuk hoax, lalu mempunyai nilai jual, guna meraih tujuan, terhadap target yang ingin diwujudkan dari motif pemunculan hoax.
Akibat mengkonsumsi berita bohong, sama saja memberi makanan berbahaya bagi jiwa, serupa memasukkan racun dalam diri. Hidup yang ditawan oleh lilitan kabar bohong adalah hidup yang tidak bahagia. Parahnya lagi, jikalau jiwa yang mati ini menularkan kebohongan itu, menjadi sejenis ujar kebencian, yang seolah dibungkus sebagai jalan juang di medan laga. Padahal, yang dibagikan adalah racun yang bisa mematikan jiwa kemasyarakatan. Sebagai konsekonsekuensi dari memamah ujar kebencian, lebih baik saya ajukan saja penabalan dari Taufik Pasiak, seorang shoolar dari Kepala Pusat Studi Otak dan Prilaku sosial Universitas Sam Ratulangi, Manado, yang menyimpulkan bahwa menebarkan kebencian dapat menumpulkan otak.
Lebih gamblang Taufik menegaskan, “Karena kebencian merusak otak, kebencian tidak boleh terjadi masif. Kebencian itu menular dan berlaku bak bola salju, sehingga bisa menimbulkan malapetaka.” Dan, hal ini ditegaskan pula oleh Rahmat Hidayat, Peneliti Pusat Kesehatan Mental Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, yang memaparkan, “Kebencian seseorang terkait dengan pola pikir kronis atau menetap yang dimiliki. Mereka memandang segala hal dari sudut pandang negatif atau ancaman bahayanya.” (Kompas, 29/01/2017, hal.5).
Masalahnya kemudian, terlalu banyak orang yang menikmati hoax ini, karena difasilitasi oleh medium yang berbasis digital, yang watak bawaannya serba hyperreality, antara kenyataan dan kemayaan sudah susah dikenali, amat tipis perbedaannya. Yasraf Amir Piliang dalam opininya di Kompas, 26 Januari 2017, bertajuk “Republik Simulakra”, membabarkan bahwa, “Realitas artfisial di dalam aneka media sosial informasi digital (simulacra), yang ironisnya diterima sebagai ‘yang nyata’… kepalsuan dipahami sebagai kebenaran, rumor dianggap sebagai informasi, tanda diperlakukan sebagai realitas… Perekayasaan dan dramatisasi realitas lewat teknologi informasi-digital, seakan-akan ia realitas sesungguhnya…Kini, perbedaan antara ‘realitas alamiah’ (natural) dan ‘realitas buatan’ (artificial) kian tipis.”
Bagi saya, seorang yang sudah diterungku oleh hoax, baik itu selaku pembikin, bandar, penyebar dan penikmat, yang kesemuanya dapat disatukan dalam sehimpunan pecandu hoax, masih bisa diobati, agar terbebas dari tawanan hoax. Usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, seperti yang saya telah sebutkan di atas, belumlah memadai, dan harus didukung oleh tindakan-tindakan yang bersifat pencerahan. Mendesaklah sejenis pencerahan intelektual dan spiritual, buat semua kalangan, baik yang terdidik secara akademik, maupun yang kurang terdidik, masyarakat awam.
Kebohongan, tepatnya berita bohong, hanya bisa ditangkal dengan keluasan pandangan seseorang, berkat seringnya melakukan piknik wawasan, sebentuk pencerahan intelektual, sehingga pengetahuan menjadi luas. Pikiran yang terbuka, mencegah seseorang untuk tidak mudah mempercayai suatu urita, tanpa konfirmasi akan kebenarannya. Dalam Islam, sering diistilahkan dengan tabayyun. Setiap insan yang ingin terbebas dari kecanduan berita bohong, mestilah mengamalkan Al-Qur’an, pada surah Alhujurat, ayat 6, “Jika datang kepadamu orang fasik dengan informasi, maka periksalah dengan teliti (tabayyun).”
Kebencian, pastinya ujar kebencian, boleh dihalau dengan kelapangan hati seseorang, sebagai buah dari pencerahan spiritual, sehingga hati menjadi bening. Hati yang jernih, menjauhkan seseorang dari buruk sangka, atas suatu warta yang datang padanya. Buruk sangka atau pra sangka adalah salah satu jenis penyakit hati, yang cukup ampuh kerjanya dalam mematikan jiwa. Dalam Islam, ada perintah untuk membebaskan diri dari sikap prasangka. Simaklah sindiran Al-Qur’an, pada surah An-Najm, ayat 28, “Sesungguhnya prasangka tak memberimu sedikit pun kebenaran.” Dan, biasanya, dari prasangka inilah muncul kebencian yang diujarkan, lalu hasil akhirnya bermuara pada ketidakadilan. Maka benarlah tohokan Al-Qur’an pada surah Al-Maidah, ayat 8, “Dan janganlah kebencian (kalian) terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.”
Akhirnya, sebagai permisalan, pecandu hoax itu, sejenis orang yang senang hidup dalam gelapnya kebodohan, akibat pikiran yang tertutup, maka hanya cahaya, via pencerahan intelektuallah yang mampu membebaskannya, dari terungku kubangan lumpur kebohongan. Pun, pecandu hoax itu serupa dengan insan yang menebarkan ujar kebencian, yang bakal merusak kebeningan hati, maka hanya cinta, lewat pencerahan spirituallah yang bakal menerbangkannya dari kurungan kebencian, sebagai pesakitan jiwa.
Sulhan Yusuf. Koordinator Kelas Inspirasi Sulsel.