Ada orang yang bersedia meluangkan waktu untuk menemani anak-anak ini membaca, atau bergerak berkeliling membagi bacaan. Jumlah mereka memang belum banyak, tapi kehadiran dan kerja mereka itu nyata. Mereka muncul di berbagai penjuru, dan tak jarang mereka bekerja secara mandiri, dengan modal sendiri. Latar belakang mereka pun beraneka ragam. Ada ibu rumah tangga, tukang tambal ban, perawat kuda, bakul jamu, pedagang tahu, penjual kue, atlit yang menganggur, mantan jurnalis, seniman yang pulang kampung, guru di daerah terpencil, dll. Mereka bergerak membangun budaya baca tulis dengan menggunakan sepeda, kuda, becak, motor, bendi, perahu, atau bahkan kaki mereka sendiri. Sebagian besar dari mereka ini tak punya penghasilan tetap, tapi mereka bersedia menyumbangkan tenaga untuk mengurangi rasa lapar anak-anak pada bacaan yang baik.
~Nirwan Arsuka
PARADIGMA, EDUNEWS.ID – Kutipan di atas, saya nukilkan dari postingan catatan Nirwan Arsuka di facebook, pada group Pustaka Bergerak Indonesia. Tulisan itu mengabarkan kepada publik di dunia maya, akan upaya mulia dari para relawan di berbagai penjuru mata angin negeri ini, guna mendorong semangat baca tulis, membangun tradisi literasi, agar budaya literasi mewujud, di daerah yang amat terpencil sekalipun. Gegara warta ini, mengingatkan saya pada sosok Dauzan Farook, yang sudah kembali pada keabadian. Pun, ia tetap mengabadi di dunia, karena telah mencatatkan dirinya selaku pejuang literasi.
Tetiba saja, lipatan ingatan saya benderang, terbuka pada lapisan peristiwa, seputar tahun 1992 –persisnya saya lupa– ketika bertandang ke Yogyakarta, guna mengikuti Advance Training, yang diselenggarakan oleh PB HMI-MPO. Tatkala saya menginap di sekretariat HMI-MPO Cabang Yogyakarta, yang bermarkas di Karangkajen, setidaknya, dua kali saya bersua dengan seorang yang mulai dimakan usia. Belakangan, saya tahulah kemudian, lelaki kelahiran Kampung Kauman Yogyakarta, tahun 1925, namanya Mbah Dauzan Farook.
Dalam persuaan itu, ia datang dengan bersepeda ke sekretariat, untuk mengambil beberapa majalah-buku yang dipinjamkannya, lalu menggantinya lagi. Saya sempat berbincang sekadarnya, dan dari situlah saya kemudian tahu, bahwa ia seorang pustakawan mandiri, serupa pejuang literasi. Tidak banyak yang saya bincangkan, namun yang terpahat kuat pada sudut hati saya, dan teringat hingga kini, bahwa perpustakaan mandirinya bernama MABULIR. Saya pun menanyakan maksud dari nama itu, lalu dijawabnya sebagai singkatan dari: Majalah dan Buku Bergilir.
Ingatan saya menghangat kembali, kala membaca harian Kompas, Agustus 2004, yang mengulas sosok Mbah Dauzan Farook. Dengan judul tulisan, “Buku Gratis untuk Semua”, terdedahkan sajian ulasan, bahwa setiap hari sejak bangun tidur, lelaki tua berkacamata tebal itu membaca buku, merapikan dan memperbaiki sampul sebagian buku-bukunya yang mulai rusak. Sore hari dia berkeliling Yogyakarta dengan bersepeda atau naik bus kota untuk mengedarkan aneka macam buku.
Lebih jauh Kompas mengulas, dia mendatangi kelompok-kelompok bermain anak, siswa-siswa di sekolah, remaja masjid, pemuda karang taruna, kelompok pengajian, tukang becak yang tengah mangkal, bahkan para ibu pedagang di pasar-pasar untuk dipinjaminya buku secara gratis. Lelaki itu adalah Mbah Dauzan Farook (79), warga Kampung Kauman, Yogyakarta –”Mbah” artinya kakek. Dialah pemilik Perpustakaan Mabulir, singkatan dari majalah dan buku bergilir, yaitu perpustakaan yang didirikannya, dikelolanya, dan didanainya sendiri.
Di rumahnya yang sederhana di sebuah gang sempit di Kampung Kauman, Kota Yogyakarta, buku-buku dan majalah bertebaran. Di ruang tamunya hanya ada dua buah sofa butut. Selebihnya adalah rak berisi buku-buku dan majalah. Kamarnya juga penuh dengan buku, bertumpuk sampai hampir menyentuh langit-langit.
Makin membaralah kenangan saya ketika muncul di salah satu saluran TV swasta – lagi-lagi ingatan saya kurang akurat— di tahun 2005. Saya menontonnya dengan mata yang berkaca-kaca, tanpa kacamata, lalu sesekali ada butiran kristal, yang hendak melompat keluar dari kelopak mata saya, tapi urung jadinya, karena keburu meleleh. Ada sesal yang tak terkira, sejumput tanya yang tersisa; Mengapa saya tak begitu serius menggali pengalaman darinya, tatkala bersua di Yogyakarta? Sesarinya memang, penyesalan datang belakangan, nanti setelah saya menabalkan diri selaku pegiat literasi, barulah merasa ada kedekatan ideologis dengan Mbah Dauzan.
Kisaran dua tahun kemudian, di beberapa media daring menuliskan warta, bahwa Sabtu pagi, ba’da Subuh (6/10/2007) Dauzan Farook, meninggal di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Mbah Dauzan yang menjadi inspirasi dunia literasi nasional ini tetap hidup dalam kesederhanaan. Selama hidupnya, beliau menerima beberapa penghargaan seperti Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional tahun 2005 , Paramadina Award 2005 dan Lifetime Achievement Award dari Sabre Foundation, sebuah NGO di Massachusetts, Cambridge. Pada April 2007 di acara World Book Day Indonesia, Mbah Dauzan Farook mendapat gelar sebagai Pejuang Literasi Indonesia. Ba’da Asar, setelah dishalatkan di Masjid Besar Kraton Yogyakarta, Jenazahnya dimakamkan di Makam Pejuang 45, Gamping Sleman Yogyakarta.
Tiga pekan yang lalu, seorang anak muda dari Kota Pare-pare, Sulawesi Selatan, bertandang ke tempat saya mengais rezeki. Nama akun facebooknya, Ilham Ghie, rupanya, ia juga seorang pegiat literasi, pengelolah Taman Akademos, sebentuk perpustakaan yang bergerak menemui para pembacanya. Saban waktu, dengan motornya, yang membawa kardus dan ransel, mendatangi kampus dan taman kota, menjajakan koleksi perpustakaannya, untuk dibaca dan dipinjam. Ini berarti, serona dengan persona-persona yang penuh pesona, yang diwartakan oleh Nirwan Arsuka.
Boleh jadi, tumpukan ingatan saya pada para pejuang literasi ini, setidaknya, seperti yang dimaksudkan Nirwan Arsuka dan sosok anak muda dari Kota Pare-Pare itu, adalah trah ideologis dari Mbah Dauzan Farook. Memang Mbah Dauzan punya trah biologis beberapa anak. Namun, seperti yang ditorehkan Kompas, bahwasanya ada lima anaknya yang tinggal di Jakarta dan Solo. Tiga lainnya di Yogya, tetapi memilih tinggal bersama keluarga mereka. Setelah istri Mbah Dauzan meninggal, dia tinggal sendirian. Mbah Dauzan tercenung ketika ditanya siapa yang bakal meneruskan perpustakaan itu, sedang tak satu pun dari delapan anaknya tertarik.
”Saya hanya bisa menyebarkan virus untuk mengangkat minat baca masyarakat dengan sistem perpustakaan keliling. Entah siapa yang meneruskan, bisa siapa saja…,” katanya. Dan bagi saya, trah ideologisnya, kini telah mewujud, paling tidak pada para pejuang literasi, laiknya yang merapatkan barisan di Pustaka Bergerak Indonesia.
Sulhan Yusuf. Pegiat Literasi. Koordinator Kelas Inspirasi Sulsel.