Oleh: Muhammad Kasman*
TJOKRO CORNER, EDUNEWS.ID – Bulan ini kita merdeka. Bulan dimana secara resmi kita, mengumumkan kepada seluruh khalayak bahwa bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya, tepat pada 17 Agustus 1945. Sebuah pernyataan sikap yang menempatkan Indonesia sederajat dengan bangsa dan negara manapun di dunia, baik dalam harkat, martabat, dan terutama kedaulatan.
Pada bulan yang sama, bertepatan dengan meletusnya gunung Krakatau, di sebuah daerah bernama Bakur, Madiun, Jawa Timur, tanggal 16 Agustus 1882, lahirlah seorang manusia yang dalam perjalanan hidupnya mendapatkan gelar, “De Ongekronde Koning van Java” (Raja Jawa yang Tak Dinobatkan). Dialah Oemar Said Tjokroaminoto, yang pada 18 Juni 1916 di Bandung, berani teriak lantang, “…supaya Hindia lekas dapat pemerintahan sendiri (zelfbestuur)…”
Ketika Soekarno membacakan teks proklamasi kemerdekaan, Tjokroaminoto memang telah marhum sebelas tahun sebelumnya –17 desember 1934, namun membincang tentang Soekarno dan kemerdekaan tanpa menyebut nama Tjokroaminoto, adalah sesuatu yang naif rasanya. Sebab kedua nama ini, dengan peranannya masing-masing, bertaut erat dengan ihwal kemerdekaan.
Hubungan kedua pribadi besar ini memang unik, disamping keselarasan ide pasal kemerdekaan, mereka adalah mertua dan anak menantu, sekaligus guru dan murid. Istri pertama Soekarno –Siti Oetari, adalah putri pertama Tjokroaminoto. Meskipun Soekarno mengakui dihadapan Inggit Garnasih, bahwa dirinya lebih menganggap Oetari lebih sebagai adik ketimbang istri.
Pilihan untuk menikahi Oetari –sebagaimana dalam otobiografi Soekarno: Penyambung Lidah Rakyat (edisi revisi 2007), dilakukan Soekarno untuk menghibur Tjokroaminoto yang bersedih karena ditinggal mati istrinya, Soeharsikin. “Saya sangat berterima kasih kepada Pak Tjokro… Saya mencintai Utari. Tapi tidak terlalu sangat. Sungguhpun begitu, sekiranya saja perlu memintanya untuk meringankan beban dari junjunganku, yah, saya bersedia.” Demikian Cindy Adams menuliskan.
Namunpun demikian, begitu mengetahui bahwa pada sebuah tengah malam di akhir Agustus 1921, tentara Belanda menggiring ayah mertuanya di bawah todongan senapan untuk di bawa ke tahanan, setelah menjalani dua puluh kali pemerikasaan karena peristiwa pemberontakan petani di Cimareme, Garut (kasus Afedeling B) dan di Salumpaga, Tolitoli pada 1919, Soekarno merasa harus bertanggungjawab mengurusi keluarga Tjokroaminoto.
Segera saja Soekarno mengambil keputusan meninggalkan kuliahnya di Bandung dan kembali ke Surabaya untuk mengabdi pada keluarga mertua, sekaligus guru yang amat dihormati dan dicintainya. Sang istri, Oetari yang saat itu juga sedang bersekolah di Bandung, ia titipkan pada si induk semang –Haji Sanusi dan Inggit Garnasih.
Dengan membawa serta semua buku-bukunya, Soekarno memantapkan hati kembali ke Surabaya. “Saya harus berbakti kepada orang yang saya puja,” demikian ujar Soekarno kepada kawan-kawan dan juga Haji Sanusi yang menahannya untuk tetap di Bandung serta menganjurkannya untuk lebih baik fokus saja menghadapi kuliahnya.
Sebagai orang yang memosisikan diri tidak sekedar sebagai menantu, namun juga sebagai murid, bahkan sebagai anak pertama Tjokroaminoto, Soekarno membuktikan rasa hormat yang luar biasa kepada Tjokroaminoto lebih dari Tjipto Mangunkusumo, Achmad Dahlan, Douwes Dekker, Sneevlit gurunya yang lain.
Soekarno menulis, “Pada waktu aku masih muda diberikaNyalah kepadaku pemimpin-pemimpin yang utama: Tjokroaminoto, Tjipto Mangunkusumo, Achmad Dahlan, Douwes Dekker (kemudian bernama Setia Buddhy), Sneevlit, dan lain-lain, semua mereka itu menanamkan pengaruh yang dalam pada jiwa saja yang dahaga. Terutama sekali Tjokroaminoto termasuklah salah seorang guru saya yang amat saya hormati.”
Dalam otobiografinya, Soekarno kembali menegaskan peran Tjokroaminoto, “Pak Tjokro mengajarku tentang apa dan siapa dia, bukan tentang apa yang ia ketahui ataupun tentang apa jadiku kelak. Seorang tokoh yang mempunyai daya cipta dan cita‐cita tinggi, seorang pejuang yang mencintai tanah tumpah darahnya. Pak Tjokro adalah pujaanku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak sadar ia menggemblengku.”
Kedekatannya dengan Tjokroaminoto telah membentuk kesadaran nasionalisme seorang Soekarno. Dua orang penulis Soveiet, Kapitsa M.S. dan Maletin N.P. dalam bukunya Soekarno: Biografi Politik (2009), mengakui bahwa Tjokroaminoto telah menjadi ideal bagi pemuda soekarno, bahkan rumah Tjokroaminoto di gang Peneleh telah menjadi semacam universitas politik bagi kaum pergerakan.
Bahkan, meskipun setelah menikahi dengan Oetari, gaya hidup Soekarno tak berubah, tetap serius belajar politik dan pergerakan. “Ia benar-benar seperti mereguk ilmu politik di rumah Tjokroaminoto, yang pada waktu itu merupakan dapurnya api nasionalisme.” Demikian Kapitsa M.S. dan Maletin N.P. menuliskan.
Hingga pada suatu malam yang berhujan, seusai menjalani dzikir, keluarganya pada suatu malam yang berhujan, Tjokroaminoto menemui keluarganya dan berpesan tentang Soekarno dengan kesungguhan hati, “Ikutilah anak ini. Dia diutus oleh Tuhan untuk menjadi Pemimpin Besar kita. Aku bangga karena telah memberinya tempat berteduh di rumahku.”
Benih nasionalisme, semangat serta cara-cara yang patut ditempuh dalam memerdekakan negeri, yang menjadi perbincangan sehari-hari di gang Peneleh –tempat Soekarno bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, tertanam kukuh di kesadaran Soekarno. Sarekat Islam, organisasi pergerakan nasional pertama, yang dipimpin oleh Tjokroaminoto telah menjadi ruang inkubasi bagi kehendak untuk pemerintahan sendiri (zelfbestuur).
Minggu siang, 18 Juni 1916, hari kedua Kongres Nasional Pertama Sarekat Islam Tjokroaminoto menyampaikan pidatonya pada rapat umum (vergadering) di alun-alun Bandung yang secara tegas Tjokroaminoto menyerukan perlunya pemerintahan sendiri (zelfbestuur) bagi tanah Hindia. “Semakin lama, semakin tambah kesadaran orang, baikpun di Nederland maupun di Hindia, bahwa zelfbestuur adalah perlu. Lebih lama lebih dirasakan, bahwa tidak patut lagi Hindia diperintah oleh Nederland, seperti tuan tanah mengurus persil-persilnya.”
Dihadapan warga Sarekat Islam yang memeriahkan Kongres Nasional, ditambah dengan kehadiran 80 utusan Lokal Sarekat Islam dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali dan Sulawesi yang mewakili 360.000 anggota Sarekat Islam di seluruh Indonesia, Tjokroaminoto mengajak seluruh hadirin untuk berikhtiar bersama untuk pemerintahan sendiri (zelfbestuur).
Meskipun Tjokroaminoto mengakui bahwa pemerintahan sendiri (zelfbestuur) merupakan hal yang sungguh berat, “Akan tetapi bukan impian dalam waktu tidur, tapi harapan yang tertentu, yang dapat dilaksanakan jika kita berusaha dengan segala kekuatan yang ada pada kita, dan dengan memakai segala daya upaya melalui jalan yang benar dan menurut hukum”.
Memang menurut Takashi Shiraisi dalam Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1977) bahwa Tjokroaminoto belum melihat pemerintahan sendiri (zelfbestuur) seradikal kemerdekaan, melainkan kebebasan untuk memerintah dan mengurus negerinya sendiri seperti halnya pemerintahan serikat yang tetap bernaung kepada negeri induknya yaitu Belanda.
Pun bagi Soekarno sendiri, “Sarekat Islam adalah satu partai yang massal, tetapi ia bukan partainya massa. Programnya kurang tegas. Demikian ditulisnya dalam Sarinah Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia (1964), Lagi, “Dengan segala hormat kepada almarhum Tjokroaminoto yang saya cintai, saya berkata: Sarekat Islam tidak mungkin membawa kita kepada kemerdekaan!”
Tapi terlepas dari itu, Soekarno tetap dipengaruhi Tjokroaminoto, “Kepribadiannya menarik saya dan Islamismenya menarik saya pula, oleh karena tidak sempit.” Sosialisme yang be-Ketuhanan ala Tjokroaminoto dalam Islam dan Sosialime (1924), serta Nasionalisme Islam dalam artikel Islam dan Nasionalisme (Fadjar Asia, 24 Mei 1924), menginspirasi tulisan Soekarno, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (dalam Dibawah Bendera Revolusi, 1965).
Ketika Tjokroaminoto pada pidatonya di tahun 1916, menyerukan pentingnya persatuan untuk pemerintahan sendiri (zelfbestuur), “Kita mencintai bangsa kita dan dengan ajaran agama kita (Islam), kita berusaha sepenuhnya untuk mempersatukan seluruh atau sebagian terbesar bangsa kita. …dan meminta segala sesuatu yang kita anggap dapat memperbaiki bangsa kita, tanah air kita dan pemerintahan kita.”.
Soekarno pun menyahuti seruan gurunya dalam Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, “Sebab kita yakin, bahwa persatuanlah yang kelak kemudian hari membawa kita ke arah terkabulnya impian kita: Indonesia Merdeka!”. Lalu pada 17 agustus 1945, Soekarno memproklamirkan Indonesia yang berdasar Pancasila, Sosialisme yang ber-Ketuhanan sebagaimana ajaran Tjokroaminoto.
Putra Sang Fajar, tak pernah melupakan gurunya, bahwa apa yang dilakukan Soekarno adalah kelanjutan perjuangan Tjokroaminoto, “Pemikiran awal yang dipupuk oleh Pak Tjokro dan mulai menemukan bentuknya di Surabaya…”, “Aku menjadi buntut dari Tjokroaminoto. Kemana dia pergi aku turut” dan “Cerminku adalah Tjokroaminoto”, tuturnya pada Cindy Adams.
Muhammad Kasman, S.E., M.Si. Ketua II Pimpinan Besar Pemuda Muslimin Indonesia 2014-2019.