Oleh : Ahmad Sahide*
SPEKTRUM, EDUNEWS.ID – Demokrasi diyakini oleh banyak pakar sebagai jalan untuk membangun pemerintahan yang baik (good governance). Untuk melahirkan good governance itulah, Montesquieu, seorang ahli filsafat politik dari Perancis, memerkenalkan kepada kita semua konsep trias politica. Konsep ini adalah pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hadirnya tiga lembaga ini untuk mengembangkan check and balances dalam pemerintahan. Eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan dibatasi dan diawasi oleh regulasi yang dibuat oleh legislatif. Sementara itu, legislatif dalam membuat regulasi juga diawasi oleh yudikatif. Tujuannya tentu adalah agar rakyat mendapatkan pelayanan yang baik dari negara di mana hak-haknya dipenuhi, kesejahteraannya diperhatikan.
Di samping itu, salah satu unsur penting dari demokrasi adalah rakyat diberi ruang untuk berdaulat dengan adanya kebebasan untuk bereskpresi dan berpendapat. Dengan adanya hak ini yang dijamin, rakyat bisa mengontrol jalannya roda pemerintahan, terutama jika legislatif tidak berfungsi dengan maksimal dalam melakukan check and balances terhadap eksekutif. Adanya mekanisme kontrol ini, baik dari legislatif maupun dari rakyat secara langsung sebagai substansi dari demokrasi, merupakan cara agar orang-orang terbaik yang terpilih sebagai pemimpin tetap bisa menjadi yang ‘terbaik’ dalam menjalankan roda pemerintahannya. Terhindar dari kesewenang-wenangan karena ada rakyat yang terus mengintai dan mengawasinya. Itulah idealitas demokrasi.
Kematian pakar
Tidak ada sistem yang sempurna di dunia ini, termasuk demokrasi yang dipercaya sebagai sistem politik terbaik dari yang ada. Demokrasi adalah sistem politik yang selalu terbuka untuk dikoreksi, dibenahi, dan dikembangkan. Walakin, dalam perkembangannya idealitas demokrasi dengan adanya kedaulatan dan kebebasan yang dimiliki oleh rakyat mempunyai jarak atau ruang yang cukup lebar dengan realitasnya. Kebebasan berpendapat yang menjadi prinsip utama dari demokrasi sejatinya adalah modal untuk melakukan kontroling terhadap jalannya roda pemerintahannya. Tetapi, seiring dengan kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi, modal itu bukannya dijadikan sebagai alat kontroling melainkan ia telah menyebabkan kematian pakar dalam berdemokrasi. Demokrasi dengan kematian pakar adalah wajah demokrasi Indonesia saat ini.
Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise sedikit memberikan gambaran bahwa seorang pakar adalah orang yang memiliki pengetahuan “komprehensif” dan “otoritatif”, yang juga berarti pakar adalah seseorang yang perintahnya dalam bidang tertentu merupakan informasi yang sepenuhnya dan dapat dipercaya. Meski Nichols tidak menampik bahwa pakar bisa saja salah (dan itu banyak terjadi). Akan tetapi Nichols mengingatkan kita semua bahwa saat ini banyak orang mengaku sebagai pakar atau intelektual. Seturut Nichols, kadang hal itu benar, namun tidak jarang pengakuan diri seperti itu justru berakibat lebih buruk daripada sekadar menyesatkan.
Demokrasi dengan keterbukaan informasi adalah demokrasi di mana terlalu banyak orang yang merasa pakar atau dianggap pakar. Bahkan kadang kepakaran hanya dilihat dari jejak dunia digital, berapa followers (pengikut) yang dimiliki di media sosial atau berapa banyak yang nonton dan subscriber video yang dibagikan melalui youtube. Saat ini, semua orang boleh berpendapat kemudian membagikannya kepada publik secara luas.
Kepakaran tidak lagi dilihat dari gagasan yang dibangun dengan riset dan hasil pengkajian yang mendalam terhadap bidang ilmu tertentu. Bisa jadi seorang yang mempunyai pengikut di media sosial (influencer) lebih didengarkan suaranya daripada seorang professor. Itulah yang terjadi dalam demokrasi kita saat ini. Yang lebih menyedihkan adalah kadang seorang ilmuwan atau pakar yang bersuara lantang dianggap sebagai ‘pengganggu’ yang tidak patut untuk didengarkan. Narasi itu semua bisa dibangun melalui media sosial, influencer bisa saja terlibat.
Contoh kematian pakar dalam iklim demokrasi kita nyata saat pemilihan presiden dan wakil presiden lalu. Pilpres 2024 oleh banyak pakar dipandang sebagai pilpres yang terburuk dalam sejarah demokrasi Indonesia pascareformasi. Hal inilah yang memicu lahirnya gerakan moril dari banyak kampus di Indonesia, yang dimulai dari Petisi Bulaksumur pada 31 Januari 2024. Melalui petisi ini, sivitas akademika UGM meminta kepada Jokowi dan jajarannya untuk kembali kepada koridor demokrasi (Kompas.id., 31/01/2024).
Gerakan moril yang dimulai dari UGM ini kemudian diikuti oleh beberapa kampus terkemuka di Indonesia, baik negeri maupun swasta. Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menyampaikan pernyataan sikap pada 1 Februari 2024. Sivitas akademika UII dalam pernyataan sikapnya mengatakan bahwa Indonesia mengalami darurat kenegarawanan (uii.ac.id). Kemudian Universitas Andalas (Unand) menyampaikan sikap pada 2 Februari 2024. Sivitas akademika Unand melihat bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Pada hari yang sama, Universitas Indonesia menyampaikan sikap dan keprihatinanya terhadap perjalanan demokrasi Indonesia. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas Padjajaran menyampaikan sikap dan seruan moral kepada presiden Jokowi pada Sabtu, 3 Februari 2024 (Tempo.co., 4/02/2024). Sejumlah kampus lain tidak ketinggalan untuk menyampaikan keprihatinan yang sama, seperti Universitas Hasanuddin, Universitas Mulawarman, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Airlangga, Universitas Sumatera Utara, Universitas Malikussaleh Aceh, Institute Pertanian Bogor, dan masih banyak lagi kampus lainnya.
Pesan yang disampaikan oleh kaum cendekia, yang dalam hal ini bisa dikatakan sebagai pakar, dari berbagai kampus di Indonesia ini menandakan bahwa proses berdemokrasi kita telah ‘cacat moral’. Tetapi apakah kegelisahan dan suara dari kaum cendekia ini didengarkan? Hasil pilpres membuktikan bahwa suara lantang yang disuarakan oleh para pakar tidak didengarkan oleh publik. Ada suara lain yang bisa didengarkan dan juga dipandang otoritatif oleh publik selain dari suara para kaum cendekia. Suara dari mereka yang bisa membangun narasi di media sosial untuk mengkounter suara dari kalangan akademisi. Inilah yang disebut oleh Tom Nichols sebagai era matinya kepakaran. Dan demokrasi dengan kematian pakar adalah wajah demokrasi Indonesia saat ini. Juga, akan semakin menjauhkan kita dari prinsip dan idealitas demokrasi untuk Indonesia yang berkeadaban.
Harus dicatat bahwa negara yang maju peradabannya lahir dari fondasi keilmuan yang kokoh. Tom Nichols sudah mengingatkan kita bahwa pakar dan pemerintah saling bergantung, terutama dalam sistem demokrasi. Maka mari membangun demokrasi dengan mengindahkan suara pakar dan ilmuwan!
Ahmad Sahide, Ketua Prodi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
