Oleh : Ahmad Sahide*
SPEKTRUM, EDUNEWS.ID Iran, setelah revolusi Islam Iran 1979, telah menjadi salah satu negara yang mengganggu kehadiran Amerika Serikat (AS) dan juga dianggap oleh Israel sebagai ancaman nyata eksistensi negara Zionis tersebut di kawasan Timur Tengah. Iran pascarevolusi membangun aliansi politik yang anti-Barat (Amerika) dan juga anti-Israel versus aliansi politik yang dibangun oleh Arab Saudi yang pro Amerika dan juga kompromi dengan Israel.
Selama kurang lebih lima dekade, kita menyaksikan rivalitas Iran versus Saudi di kancah politik Timur Tengah. Dan sudah tidak terhitung jumlah sanksi yang diberikan oleh Barat, terutama Amerika, terhadap Iran karena sikap politiknya yang tidak bersahabat dengan Amerika dan Israel. Negara Mullah itu dianggap oleh Israel sebagai ancaman terbesarnya di kawasan pertemuan tiga benua tersebut. Ketakutan itu jelas beralasan karena Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Iran 2005-2013, pernah mengutarakan niatnya untuk menghapus Israel dari peta bumi ini. Ahmadinedjad memang disebut-sebut sebagai Presiden Iran yang sangat radikal, termasuk dalam mengambil sikap melawan Barat dan Israel.
Sanksi Barat
Oleh karena itu, setelah periode Ahmadinedjad berakhir pada 2013 dan digantikan oleh Hassan Rouhani, dari 2013 sampai 2021, tensi ketegangan hubungan Iran dengan Barat sedikit mereda meski Iran tetap dicurigai sedang mengembangkan senjata nuklir. Oleh karena itu, Barack Obama, Presiden Amerika 2008-2016, juga mengambil sikap yang moderat dalam mengelola hubungannya dengan Iran. Bahkan Obama menujukkan tekadnya yang serius dalam menghentikan sanksi terhadap Iran yang selama bertahun-tahun dijalankan oleh pendahulunya, terutama di bawah George Walker Bush. Puncaknya adalah ketika Obama berhasil mengajak negara-negara Anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), termasuk Jerman, untuk mencapai kesepakatan yang dikenal dengan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 2015 di Wina, Austria (Cipto, 2018).
Kesepakatan yang dihasilkan dengan JCPOA adalah Iran bersedia membongkar sebagian besar program nuklirnya dan juga membuka fasilitas nuklirnya untuk inspeksi internasional dengan imbalan keringanan sanksi senilai miliaran dolar (Robinson, 2023). Akan tetapi, ketika Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika, menggantikan Obama, pada 2016, Trump menilai bahwa kesepakatan yang dicapai Obama dengan Iran melalui JCPOA adalah kebijakan yang salah dan memalukan bagi Amerika. Amerika kemudian, di bahwa Trump, menarik diri dari JCPOA pada 2018. Hal ini kemudian diikuti dengan menjatuhkan sanksi kembali kepada Iran. Iran juga membalas dengan melanggar perjanjian yang disepakati dengan Obama. Hubungan Amerika, bersama dengan Israel, dengan Iran kembali dalam ketegangan yang tinggi. Terlebih ketika Trump menginisiasi Abraham Accords pada 15 September 2020 di Washington di mana beberapa negara Arab bersedia menormalisasi hubungannya dengan Israel.
Iran salah satu negara yang cukup keras mengecam langkah yang diambil oleh beberapa negara Arab tersebut. Artinya bahwa Iran tetaplah sebagai negara yang dianggap mengancam eksistensi Israel di kawasan. Dan kecurigaan Israel bahwa Iran mengembangkan uranium untuk senjata nuklir adalah jalan yang diambil oleh negeri Mullah tersebut untuk misi besarnya yang pernah disampaikan oleh Mahmoud Ahmadinedjad. Menghapus Israel dari peta bumi ini.
Dengan mengikuti dinamika politik Timur Tengah, kita melihat bahwa hanya Iran yang berani mengambil sikap keras terhadap Israel atas kekejaman dan kebrutalan politiknya terhadap warga Palestina. Sebagai contoh, Iran menyerang Israel pada pertengahan April 2024 sebagai pembalasan atas serangkaian kejahatan Israel terhadap perwakilan Iran di Damaskus, Suriah (Mada, 14/04/2024). Satu bulan kemudian, Presiden Iran Ebrahim Raisi dan Menteri Luar Negerinya Hossein Amir-Abdollahian tewas dalam kecelakaan pesawat yang ditumpanginya di Azerbaijan timur pada 19 Mei 2024 (Anwar, 20/05/2024). Meninggalnya Ebrahim Raisi dalam insiden tersebut kemudian memunculkan konspirasi adanya ‘keterlibatan’ Mossad, lembaga inteligen Israel, di balik jatuhnya pesawat ditumpangi oleh Presiden Iran tersebut. Meski isu adanya keterlibatan Israel ini dibantah secara resmi oleh Israel (Business Standard, 21/05/2024), konspirasi akan keterlibatan Israel di balik jatuhnya pesawat tersebut sulit untuk dihilangkan dari benak pemerhati politik Timur Tengah dan masyarakat dunia internasional.
Hari ini, 13 Juni 2025, Israel menyerang Iran. Serangan ini menjadi bukti bahwa Israel makin brutal dalam mengambil langkah politik di kawasan ‘demi keamanannya’. Israel bertekad membangun kedamaiannya dengan melumpuhkan senjata nuklir Iran. Akan tetapi, serangan ini akan memicu perang dalam skala yang lebih besar dan bukan tidak mungkin mengundang negara-negara superpower ikut terlibat langsung di dalamnya. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Iran selama ini menjadi aliansi politik dekat bagi Rusia dan China, Israel sendiri selalu mendapatkan perlindungan dari Amerika Serikat, terutama di bawah pemerintahan Donald Trump. Iran adalah negara yang punya pengalaman perang yaitu Perang Teluk melawan Irak dari 1980-1988. Oleh karena itu, jika Iran tidak diberi pilihan lain (dengan negosiasi), maka bukan tidak mungkin Iran akan merespons dengan serangan balik. Apabila itu terjadi, maka bara politik di Timur Tengah makin membara. Memulai perang sangatlah mudah, tetapi tidak mudah untuk menyelesaikannya. Perang Rusia-Ukraina sejak 2022 adalah contohnya.
Bagi Benjamin Netanyahu yang menganut pandangan politik realis bahwa perdamaian akan tercipta jika kita siap berperang, akan tetapi kebrutalan dan kebiadaban yang dipertontonkan pada dunia internasional akan terus melahirkan kebencian, bukan hanya dari Iran. Itu juga tidak akan melahirkan perdamaian yang hakiki. Kedamaian yang diimpikan dengan menghalangi Iran mengembangkan senjata nuklir tetapi pada sisi yang lain melakukan pembantaian terhadap warga Palestina dengan tidak ada rasa kemanusiaan tidak akan diperoleh. Kedamaian itu hanyalah ilusi bagi Israel dan Netanyahu!
Yogyakarta, 13 Juni 2025
Ahmad Sahide. Dosen Hubungan Internasional Program Magister, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
