Ahmad Sahide

Politik dan Gagasan

Foto/penulis

*Oleh Ahmad Sahide

OPINI, EDUNEWS.ID – Demokrasi sejatinya adalah ruang bagi masyarakat untuk menghadirkan orang-orang terbaik, manusia pilihan atau ‘manusia nabi’, menjadi pemimpin.

Manusia pilihan yang lahir dari demokrasi itulah yang menjadi tumpuan harapan kita untuk membawa perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berperadaban tinggi.

Politik dengan moral yang tinggi yang menjunjung tinggi etika. Tidak menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan. Demokrasi dengan keadaban yang tinggi itulah yang akan mengembalikan marwah politik kita dan tentu saja marwah seorang pemimpin. Sehingga orang-orang yang duduk di singgasana kekuasaan dianggap layak untuk berada di sana dan dia dihormati. Jauh dari cacian yang menghilangkah marwahnya sendiri sebagai seorang pemimpin.

Itulah idealitas demokrasi. Namun sadarkah kita bahwa berabad-abad yang lalu Plato dan Aristoteles sudah mengingatkan kita akan bahaya dari demokrasi?

Kita tahu bahwa Plato adalah filsuf yang sangat anti dengan demokrasi. Alasannya karena demokrasi, seturut Plato, tidak menjamin munculnya pemimpin yang mengetahui ‘Yang Baik’, sementara untuk menjadi negarawan ‘Yang Baik’ seseorang harus mengetahui ‘Yang Baik’.

Plato menambahkan bahwa ini hanya bisa dicapai dengan mengombinasikan kemampuan intelek dan disiplin moral.

Demokrasi dalam pandangan Plato tidak bisa menjamin akan hal ini. Aristoteles, murid Plato, punya pandangan yang sama, kurang suka dengan demokrasi, karena sistem ini hanya akan menghasilkan pemerintahan yang dipimpin oleh orang bodoh/barbar (mobokrasi) (Russel, 2004: 258).

Kata kunci yang bisa kita tarik dari pandangan Plato dan Aristoteles adalah bahwa kedua filsuf tersebut memasang kriteria utama seorang pemimpin adalah dia harus cerdas (intelek), pemimpin harus mempunyai konsep dan gagasan. Karena semua dimulai dengan gagasan. 

Kalau pemerintah punya proyek untuk membangun gedung lima belas tingkat itu harus dimulai dengan sebuah konsep yang jelas.

Arsitek yang diminta merancang bangunan tersebut sudah punya ide di mana letak kamar mandi, di mata letak ruang pertemuan, tangga, dan seterusnya. Artinya bahwa sebelum para pekerja datang untuk memulai pekerjaannya, bentuk bangunan sudah selesai dalam imajinasi seorang arsitek.

Apa yang akan terjadi jika pekerja datang untuk bekerja tanpa desain yang jelas dari seorang arsitek? Sudah pasti mereka akan kebingungan dan juga tidak ada efisiensi serta efektivitas anggaran. Itulah pentingnya konsep dan gagasan dalam melakukan segala hal.

Dan seorang pemimpin dalam bernegara adalah arsitek dalam merancang pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kalau kita menarik dalam konteks pemilihan presiden dan wakil presiden di republik ini. Sebelum mereka dilantik di Senayan sana, seorang presiden dan wakil presiden sudah selesai merancang bangun Indonesia lima tahun ke depan.

Setelah dilantik, seorang presiden dan wakil presiden tinggal menyusun ‘batu bata keindonesiaan’ sesuai dengan apa yang telah dirancangnya. Inilah yang dikatakan oleh seorang filsuf bahwa realitas yang sesungguhnya adalah pada ide. Itulah the power of idea.

Pilpres 2024

Pilpres 2024 menghadirkan narasi politik gagasan versus politik non-gagasan.

Hal ini tidak terlepas dari adanya kandidat yang dinilai dan teruji mempunyai gagasan yang sangat kuat, berani berdialog dengan siapa pun.

Disamping itu, juga ada kandidat yang dinilai publik tidak mempunyai gagasan dan terkesan menghindari ruang-ruang dialog.

Maka muncullah narasi yang berkembang di publik bahwa seorang pemimpin tidak perlu kuat secara gagasan, yang penting bisa bekerja. Inilah narasi yang berkembang dalam menyongsong pemilihan presiden 2024. Narasi untuk menegasikan politik gagasan dan menjadi alarm ‘kematian’ filsafat politik di Indonesia.

Munculnya narasi politik non-gagasan dalam pilpres 2024 menunjukkan bahwa demokrasi kita mengalami kemunduran berabad-abad yang lalu, sebelum Plato dan Aristoteles. Mengapa demikian? Karena Plato dan Aristoteles sudah memasang kriteria bahwa seorang pemimpin haruslah cerdas (intelek) serta mempunyai konsep dan gagasan.

Itu artinya bahwa demokrasi kita belum berhasil menghadirkan orang-orang terbaik menjadi pemimpin di republik ini disebabkan oleh oligarki kekuasaan yang membajak demokrasi kita dengan sangat kuat cengkeramannya.

Dampaknya adalah hilangnya marwah politik itu sendiri. Adanya istilah ‘belimbing sayur’ dan ‘Samsul’ sebagai bagian dari perhelatan pesta demokrasi 2024 menjadi bukti yang sangat kuat bahwa politik kita telah kehilangan marwah dan wibawanya.

Maka pilpres 2024 tidak hanya sekadar memilih seorang pemimpin di republik ini tetapi juga pilihan apakah kita akan mengembalikan marwah dan wibawa kekuasaan itu atau tidak. Titik!

Ahmad Sahide, Kaprodi Studi Hubungan Internasional Program Magister UMY dan penggiat Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com