Literasi

Etnografi dan Pertanyaan tentang Gagasan ‘Indonesia’

Ilustrasi /Naufan Rusyda Faikar

*Oleh Hanina Naura Fadhila

EDUNEWS.ID – Istilah “Indonesia” dalam judul mata kuliah “Etnografi Indonesia” menjadi pengantar bagi siapapun yang mempelajari mata kuliah ini untuk lebih mengkritisi kembali makna Indonesia sebagai sebuah imagined communities(Anderson, 2006) melalui catatan etnografi yang akan dibahas selanjutnya.

Anderson(2006:6) menggunakan kata “imagine (bayangan)” karena menurutnya dalam anggota dari sebuah kesatuan bernama bangsa (nation) sekalipun tidak akan pernah mengenal sebagian besar anggotanya, bertemu dengan mereka, atau bahkan mendengar tentang mereka, namun di benak masing-masing hidup gambaran persekutuan mereka. Hal tersebut kemudian tertuang dalam kritik-kritik yang disampaikan melalui beragam catatan etnografi.

Brewer(dalam Hammersley,2017) mendefinisikan etnografi sebagai sebuah studi mengenai sebuah masyarakat di sebuah lapangan penelitian (field) yang mencoba mengupas makna-makna sosial dan kegiatan sehari-hari dari masyarakat tersebut.

Kritik atas makna “Indonesia” melalui etnografi dapat dicontohkan dengan etnografi-etnografi yang membahas mengenai aspek kekerabatan, identitas pasca kolonial, kehidupan masyarakat perbatasan, dan kisah para diaspora yang sama-sama memiliki makna yang berbeda dari pengertian diaspora yang diakui oleh negara. Oleh karena itu, melalui ulasan serta refleksi dibawah ini kritik tersebut akan dicoba dijelaskan.

Kepercayaan dan Negosiasi Identitas

Salah satu kelompok masyarakat yang terkenal dengan penyematan marga di belakang nama adalah Suku Batak.

Istilah “Batak” sendiri sebetulnya tidak diketahui secara pasti dari mana asal usulnya. Meski demikian, menurut Sihombing(2018:349) istilah “Batak” berasal dari kata bataha yakni nama sebuah negeri di Burma yang kemudian istilah tersebut tersebar ke Nusantara dan terinternalisasi sehingga dibentuklah istilah “Batak”.

Terdapat pula pendapat lain yang mencoba mencari tahu asal istilah “Batak” ini, pendapat kedua menyatakan bahwa istilah tersebut berasal dari sebuah karya Pustaka kuno yang menceritakan kisah Siraja Batak yang kemudian dinobatkan sebagai nenek moyang dari orang-orang Batak.

Suku Batak memang dikenal secara umum memiliki enam sub-suku yang mendiami mendiami wilayah pegunungan di Sumatera Utara, juga banyak tersebar di daerah datar yang terbentang dari pantai timur Sumatera Utara dan pantai barat Sumatera Utara yakni diantaranya Toba, Simalungun, Karo, Mandailing, Angkola Sipirok, dan Pakpak (Dairi).

Meskipun memiliki sistem kekerabatan yang hampir, sub-suku Batak yang telah disebutkan tadi sebetulnya masih menimbulkan polemik di antara mereka karena ada beberapa kelompok yang tergolong sebagai sub-suku tersebut enggan untuk disebut sebagai Batak.

Hal itu seperti sikap orang Mandailing yang menolak disebut sebagai “Orang Batak” karena dilansir melalui laman tirto.id, menurut mereka Batak merujuk kepada orang-orang yang tinggal di bagian utara (Tapanuli Utara) sementara orang Mandailing berada di daerah selatan (Tapanuli Selatan) sehingga label “Batak” lebih tepat diberikan kepada orang Toba.

Generalisasi pelabelan Batak kepada orang-orang yang mendiami Sumatera Utara merupakan hasil dari Volkstelling (sensus etnis) yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di tahun 1930. Ketidaksetujuan penyebutan label “Batak” juga dialami oleh orang Karo.

Selain terjadi pada polemik pelabelan “Batak”, polemik ini juga terjadi pada sistem religi. Polemik sistem religi disini akan secara spesifik dibahas pada kasus yang dialami oleh masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak Toba memiliki kepercayaan Parmalim.

Agama parmalim ini seakan-akan ‘berkontestasi’ sejak kedatangan agama Kristen di Tanah Batak. Hal itu disebabkan perbedaan pada dasar keyakinan yang ada pada kedua agama itu.

Parmalim sangat kental dengan kepercayaan pada dewa mitologi, roh nenek moyang dan kekuatan supranatural yang mendiami tempat sakral (Hasipelebeguan). Praktik keagamaan parmalim ini tertuang pada tari Tor-Tor dan Gondang Sabangunan.

Sementara itu, agama kristen sangatlah melarang praktik-praktik tersebut sehingga gereja Kristen mengeluarkan kebijakan tentang pelarangan upacara adat dan penyajian sesajen bagi roh nenek moyang, bagi yang melanggar kebijakan ini maka oleh pihak gereja akan diberikan sanksi administratif.

Barulah di tahun 1952, terdapat perubahan kebijakan yakni gereja hanya cukup mengubah orientasi upacara adat (Tor-tor dan Gondang) dari yang asalnya religi menjadi sosial budaya.

Larangan gereja ini kemudian diperkuat kembali sejak adanya bangsa bernama Indonesia. Lewat dasar negaranya yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa” menjadikan arah agama harus diseragamkan menjadi monoteis dan melakukan eksklusi pada “agama” dengan membuat daftar 6 agama yang diakui oleh negara.

Kasus dilemma identitas seperti ini juga terlihat pada orang Minahasa. Steenbrink dan Aritonang(2008:419) menjelaskan bahwa kristenisasi di Minahasa belum terjadi secara masif pada periode awal(1570-1820) karena agama Kristen hanya hadir di beberapa desa pesisir saja.

Barulah pada tahun 1827, seorang misionaris bernama G.J Hellendoorn mulai melakukan kristenisasi secara masif dengan mendirikan dua puluh sekolah agama dengan 700 murid secara keseluruhan. Jika Hellendoorn memiliki fokus pada syiar melalui bidang pendidikan, maka misionaris lain seperti Schwarz dan Riedel (1831-1860) memiliki fokus lain yakni pada kehidupan sosial, ekonomi, dan keagamaan.

Kebudayaan Minahasa sangatlah berbeda dengan ajaran Kristen. Dalam kebudayaan adat Minahasa, menggunakan pakaian merah menggunakan hak prerogatif bagi kepala suku atau headhunter.

Kepala suku (headhunter) beserta istrinya juga menjadi satu-satunya yang berhak untuk membuat tato dengan motif kepala manusia. Masyarakat Minahasa merayakan posso yakni sebuah festival besar dengan banyak babi dan minuman tradisional bernama saguer, yang melambangkan kekuatan otoritas dan prestise para pemimpin kelompok.

Ketika ajaran agama Kristen bersinggungan dengan kebudayaan setempat, para misionaris mencoba untuk menganjurkan mereka berhemat, mencoba melarang minuman beralkohol, menari dan tidak menyukai upacara tradisional.

Para misionaris tersebut kemudian memperkenalkan natal sebagai festival baru, dan memperbolehkan upacara dan pesta untuk acara-acara seperti panen, atau pindah ke rumah yang baru dibangun.

Menurut Steenbrink & Aritonang (2008: 423), para pemimpin agama adat(walian dan tona’a) justru memilih agama Kristen ini alih-alih melakukan oposisi, para pemimpin agama lebih memilih untuk bertobat dan mengikuti mayoritas penduduk. Bahkan, dalam banyak kasus, merekalah (walian dan tona’a) yang pertama masuk agama Kristen.

Kristenisasi di Minahasa ini kemudian menjadi lebih terinstitusi ditandai dengan dibentuknya GMIM(Gereja Masehi Injil Minahasa).

Pembentukan gereja ini membuat penolakan akan paganism semakin keras namun Kristen Minahasa semakin memiliki posisi yang baik di hadapan pemerintah Indonesia. Sifat keterbukaan orang Minahasa terhadap kristenisasi serta pengaruh barat yang dibawanya membawa sebuah dilemma identitas asli Minahasa.

Akhirnya terdapat seorang aktivis bernama Dr. Bert A. Supit membentuk sebuah LSM Minahasa Wangko pada 30 Oktober 1999. Bagaimana dengan gereja? GMIM pun melakukan upaya ‘perdamaian’ adat Minahasa dan agama Kristen cara pertama yang ditempuh adalah dengan menyelipkan mitos-mitos (narasi tradisional) orang Minahasa dalam setiap khutbahnya.

Selanjutnya, gereja pun melakukan penggabungan pada ritual gereja dan ritual perdukunan. Misalnya adalah saat pembaptisan, para jemaat akan dibawa ke gunung dan pergi ke sungai untuk melakukan pembersihan dengan menuangkan air ke tubuh mereka, sambil memohon kepada leluhur dan dewa mereka untuk membebaskan mereka dari kesalahan atau dosa. Nama-nama dewa yang dipercaya dalam kepercayaan Minahasa pun diganti dengan dewa-dewa dalam agama Kristen.

Kisah Diaspora : Mereka Orang Indonesia? 

Saya merasa sedikit tergelitik ketika membaca definisi diaspora yang ditulis oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Definisi diaspora dijelaskan secara sederhana hanya sebagai masyarakat Indonesia yang tinggal di luar negeri.

Nampaknya definisi seperti ini seperti mengaburkan konteks sejarah, sosial, dan politik yang dilakukan oleh para diaspora itu selain itu kita harus mempertanyakan kembali apakah kelompok yang melakukan diaspora itu memang sudah bisa dipastikan setuju dengan gagasan Indonesia?

Pertanyaan tersebut akan terjawab melalui catatan-catatan etnografis mengenai diaspora orang Jawa di Suriname, diaspora orang Maluku di Belanda, dan diaspora orang Bawean di Vietnam.

Keberangkatan orang-orang Jawa ke Suriname dilakukan di masa pemerintahan kolonial Belanda. Terdapat sekitar 33.000 orang Jawa yang diberangkatkan ke sana untuk menjadi buruh kontrak. Mereka berangkat dalam keadaan buta huruf.

Oleh karena itu, orang-orang Suriname menganggap orang Jawa sebagai orang yang bodoh, terbelakang, dan miskin. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai petani di lahan kecil atau sebagai pekerja kerah biru dengan penghasilan kecil.

Identitas Jawa yang dibawa oleh para pekerja kontrak Jawa diturunkan secara turun temurun kepada generasi-generasi orang Jawa yang ada disana mengingat para pekerja kontrak tersebut juga ada beberapa yang turut serta membawa anak dan istri mereka.

Barulah pada tahun 1933, orang-orang Jawa mulai mencoba secara bertahap melakukan adopsi terhadap atribut-atribut Kreol(budaya setempat) seperti ; ekspresi kasar dan cemoohan, langsung dan mengekspresikan emosi dan pikiran mereka secara terang-terangan, serta boros dalam membelanjakan uang mereka untuk pakaian dan hiburan.

Pengadopsian atribut-atribut Kreol oleh orang-orang Jawa dilakukan mereka sebagai bentuk kepercayaan diri dan menimbulkan perasaan setara dalam melakukan hubungan dengan kelompok lain. Menurut Ismael (1945:58) rasa kepercayaan diri ini muncul seiring dengan peningkatan status ekonomi yang menjadi lebih baik.

Oleh karena itu, orang-orang Suriname kini mulai perlahan melepaskan identitas Jawa untuk kepentingan dan faktor-faktor tertentu.

Kini justru orang-orang Suriname sedang berusaha untuk menjadi seorang kreol daripada menjadi seorang Jawa selain itu meskipun lokasi etnis asal orang Jawa itu sekarang telah menjadi Indonesia, namun tidak serta merta menjadikan mereka sebagai bagian dari Indonesia karena orang-orang Suriname melakukan diaspora di masa kolonial Belanda sehingga pada masa itu Indonesia belum terbentuk, masih bernama Hindia Belanda.

Kritik terhadap definisi diaspora yang dibuat oleh negara juga datang dari catatan etnografi orang Maluku di Belanda.

Amersfoot (2004) menceritakan bahwa pada zaman kolonial Belanda, para pria muda Maluku direkrut menjadi tentara KNIL(Koninklijk Nederlands Indische Leger) oleh tentara Belanda kala itu. Orang-orang Maluku dinilai memiliki loyalitas yang tinggi kepada Kerajaan Belanda sehingga bisa dimanfaatkan untuk melancarkan kepentingan untuk mempertahankan wilayah.

Namun ketika kolonialisme Jepang berakhir dengan ditandai menyerahnya Jepang kepada sekutu di tahun 1945, pada tahun itu juga di tanggal 17 Agustus 1945 terjadilah kemerdekaan dan terbentuklah Indonesia.

Hal ini mengharuskan Kerajaan Belanda untuk segera menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia sehingga pada tanggal 28 Desember 1949 penyerahan itu pun terjadi.

Setelah penyerahan tersebut terjadi, para mantan tentara KNIL dihadapkan kepada dua pilihan yakni didemobilisasi (dibebastugaskan) atau bergabung dengan militer Indonesia yang notabenenya merupakan musuh mereka.

Tentara-tentara KNIL di luar Ambon telah menetapkan pilihannya, namun tentara KNIL di Ambon masih merasa bimbang untuk memilih namun bagaimanapun KNIL harus segera dibubarkan seiring dengan kemerdekaan Indonesia.

Akhirnya, seiring dengan berjalannya waktu, ada beberapa tentara KNIL di Ambon yang memilih untuk di demobilisasi Menurut peraturan KNIL, tentara berhak memilih tempat demobilisasi ketika kontrak mereka berakhir.

Tentara Ambon pun menuntut untuk diberhentikan di Ambon untuk bergabung dalam perjuangan RMS. Sementara itu, Indonesia melarang pengangkutan tentara ke Ambon selama gerakan RMS tidak digulingkan. Pengadilan Belanda melarang pemerintah Belanda untuk memberhentikan mantan prajurit KNIL terakhir di Jawa (dijadikan anggota tentara reguler), mereka menolak menjadi bagian dari pasukan di wilayah negara asing.

Akhirnya pemerintah Belanda tidak melihat jalan keluar lain selain memindahkan 3.578 tentara terakhir ke Belanda dan melepaskan mereka di sana. Oleh karena itu, selama tahun 1951 para prajurit, bersama dengan anggota keluarga mereka—semuanya sekitar 12.500 orang—diangkut ke Belanda.

Di sana mereka diberhentikan pada saat kedatangan dan ‘sementara’ ditempatkan di kamp-kamp sampai mereka dapat kembali ke pulau-pulau Maluku.

Kasus diaspora orang Maluku eks-KNIL ke Belanda, semakin memperlihatkan meskipun kini Maluku berada di teritorial Indonesia, orang-orang Maluku yang melakukan diaspora ke Belanda merupakan kelompok yang justru sangat menolak kehadiran Indonesia sehingga hal ini semakin memperkuat kritik atas definisi diaspora yang disebut oleh pemerintah.

Cerita Para ‘Pendatang’

Salah satu kondisi yang menarik pada salah satu bagian dari imagined communities pada Indonesia adalah keberadaan diaspora Tionghoa. Diaspora Tionghoa ke Nusantara sebetulnya telah terjadi sejak masa pra-kolonial sehingga mereka pun turut serta sebagai bagian dari aktor yang terlibat ketika masa kolonialisme Belanda.

Orang-orang Tionghoa memiliki spesialisasi untuk berdagang dan selalu berupaya untuk memperluas bisnis yang dibuatnya. Salah satu upaya untuk memperluas bisnisnya adalah dengan pergi ke beberapa daerah di Nusantara yakni Timor sebagai contohnya.

Ptak(1983) menyatakan bahwa beberapa pedagang Tionghoa telah mendatangi Timor sejak Dinasti Song(960-1279) untuk mencari kayu cendana. Gupta(2001:122) menambahkan bahwa saat itu VOC telah berusaha keras untuk menghentikan kehidupan perdagangan mereka di daerah Kupang tetapi hal ini tidak berhasil.

Selain itu, pedagang Tionghoa berbeda dengan pedagang Barat atau mestizo di Kupang dan Dili, pedagang Barat enggan untuk memasuki daerah pedalaman karena dianggap berbahaya. Namun, para pedagang Tionghoa malah menghendakinya dan mereka pun mampu untuk berbaur dengan masyarakat pedalaman Timor.

Kasus kedatangan orang Tionghoa ke pulau Timor ini akan difokuskan pada apa yang terjadi di daerah Lidak dan Belu. Lidak sendiri merupakan sebuah wilayah yang tidak begitu padat dan memiliki sedikit komoditas.

Pada saat itu, penguasa di Lidak memiliki menjalin kesepakatan dengan Belanda yang menjadi salah satu penguasa wilayah itu, di sana pula ada Portugis yang sama-sama menduduki Timor.

Sebetulnya pada saat itu antara Belanda dan Portugis belum ada kejelasan mengenai wilayah kekuasaan mereka sehingga keduanya pun secara asal menarik garis batas tidak jauh dari Lidak.

Sementara itu, para pedagang Tionghoa tetap menjalin hubungan dagang dengan Portugis di Belu Utara. Sayangnya, hubungan dagang itu dinilai tidak memuaskan oleh orang Tionghoa bersama Liurai Wehali melakukan berbagai aksi untuk menghancurkan Portugis.

Pada akhirnya, orang Tionghoa pun dianggap sebagai antek Belanda karena tidak mentolerir biaya bea cukai dan orang Cina menjalin hubungan politik dengan elit tertinggi Timor dan mendapat dukungan pribumi dengan memberikan pengaruh di daerah terpencil yang minim sentuhan Eropa dan pengetahuan.

Lalu bagaimana para penduduk setempat(pribumi) menanggapi kehadiran para pendatang Tionghoa? Meskipun orang Tionghoa di Timur merupakan minoritas, mereka memiliki jaringan serta akses ke modal yang baik sehingga dapat menangani perdagangan.

Selain itu, orang Timor banyak sekali membutuhkan berbagai komoditas yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa dibandingkan Eropa. Oleh karena itu, sangat dimungkinkan apabila orang Tionghoa tampil lebih baik di depan orang Timor terlebih di daerah Pelabuhan karena kehadiran kolonialisme Eropa malahan tidak memberikan dampak atau manfaat nyata seperti ketertiban dan keamanan lokal.

Kisah Masyarakat Perbatasan yang Tidak Memiliki Batas

Bentuk kritik lain terhadap keberadaan “Indonesia” beserta logika kenegaraan yang dimilikinya dapat tersampaikan melalui catatan etnografi masyarakat perbatasan Iban, Kenyah, Sama dan Bajau, dan Kanome.

Kisah pertama datang dari orang Iban yang bertempat tinggal di daerah Kalimantan Barat. Prasojo(2013) menyatakan bahwa tempat tinggal orang Iban merupakan jalur lintas antar dua negara sehingga kemungkinan untuk terjadinya interaksi sangatlah dimungkinkan disana.

Keberadaan mereka pada perbatasan dua negara tersebut membuat adanya dinamika kehidupan dalam berbagai aspek seperti ekonomi, kekerabatan, sosial, dan budaya.

Horstman (dalam Lumenta, 2004) menjelaskan bahwa budaya hegemonic negara pasca kolonial di Asia Tenggara telah menjadi mimpi buruk bagi etnis minoritas yang terpinggirkan seperti halnya masyarakat Iban yang berada di perbatasan dua negara.

Letak tempat tinggal mereka yang berada di perbatasan dua negara menjadikan adanya perebutan dalam hal tanah, populasi dan identifikasi. Pada masa pemerintahan kolonial, Belanda mencoba menguasai Kalimantan Barat pada tahun 1800 an kemudian disusul oleh Inggris dan keduanya saling bolak-balik bermigrasi.

Perbatasan antara Kalimantan Barat dan Sarawak terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Kalimantan Barat yang dipegang oleh Belanda (Karesidenan Divisi Barat Borneo) dan Sarawak yang dikuasai oleh Pemerintahan Brooke (Inggris) pada tahun 1848.

Masyarakat Iban tinggal dan menetap di kedua wilayah ini dan mereka sudah sejak lama terbiasa untuk bolak-balik melintasi wilayah ini.

Hal ini membuat Belanda khawatir karena merasa terancam akan aktivitas Inggris yang menjalin perdagangan dengan para penguasa Melayu dan Dayak.

Dengan demikian, Belanda akhirnya melakukan negosiasi dengan masyarakat setempat salah satunya adalah bertemu dengan pemuka adat Iban, Batang Loepar. Negosiasi tersebut kemudian menghasilkan sebuah kesepakatan mendirikan kompleks administrasi yang fokus pada wilayah perbatasan dengan Inggris di Sarawak.

Selain itu, orang Iban di Kalimantan juga diberikan hak istimewa oleh Pemerintah Belanda untuk menggantikan penarikan pajak dengan jasa pelayanan terhadap pemerintah kolonial. Hal ini disebabkan tujuan utama mereka adalah agar otoritas Belanda diakui oleh Iban.

Namun meski garis batas telah ditetapkan, masyarakat Iban tetap melintasi begitu saja wilayah Kalimantan dan Sarawak untuk melakukan berbagai keperluan sehingga memicu Belanda untuk melakukan patroli perbatasan.

Seiring dengan berjalannya waktu yakni memasuki masa orde baru, keadaan ini masih tetap sama tidak ada perubahan positif. Polemik perbatasan ‘asal-asalan’ ini justru dilanggengkan dengan pembangunan Jalan Utara yang bertujuan untuk melarang orang Iban di Kalimantan melakukan perdagangan dengan masyarakat Iban di Sarawak.

Sejarah panjang mengenai kehidupan masyarakat Iban mengenai migrasi dan jaringan perdagangan, komunikasi dan kekerabatan yang terbilang mapan sejak zaman pra-kolonial seakan-akan dihapuskan dan diganti dengan sejarah versi pemerintah.

Hal ini kemudian diperkuat oleh peta yang seringkali menunjukkan perbatasan-perbatasan wilayah semu karena nyatanya masyarakat setempat dengan bebas melakukan mobilisasi.

Selain itu administrasi pemerintah mengenai keimigrasian juga justru semakin memperkeruh kehidupan di sana yakni ditandai kehadiran negara melalui materialisasi berupa dokumen(paspor) dan aturan keimigrasian.

Keadaan semacam ini juga terjadi pada kasus orang Apo Kayan. Mereka juga sama-sama telah memiliki kehidupan mobilitas tradisional yang sudah mapan sejak zaman pra-kolonial.

Namun kedatangan kolonialisme dengan berbagai ambisinya untuk menguasai wilayah dan sumber daya memicu terbentuknya konsepsi administrasi perbatasan untuk melindungi sumber daya wilayah tersebut dan mencegah mereka untuk menyerahkan sumber daya yakni kayu kepada pihak lain yaitu masyarakat yang tinggal di Sarawak.

Sementara itu, halangan kehidupan masyarakat kini diperkuat kembali dengan dikotomi migrasi legal dan ilegal hal itu disebabkan sejarah mengenai kemapanan mobilitas mereka telah habis ditutupi oleh narasi sejarah yang dibuat kekuasaan.

Masih berbicara mengenai mobilitas antar perbatasan, kini catatan etnografi lainnya datang dari Orang Sama Bajau atau biasa dikenal pula sebagai Suku Bajo.

Dahulu mereka terbiasa hidup nomaden pada sebuah perahu di atas laut. Namun kini beberapa orang Bajo sudah ada yang mendirikan rumah-rumah di laut dangkal seperti yang terlihat di Pulau Papan, Sulawesi dan diatas perairan laut perbatasan Indonesia -Australia, juga perbatasan Indonesia – Malaysia – Filipina.

Oleh karena itu, orang Bajo terbagi atas dua kategori sosial yakni Bajo Darat(Bajo Kubang) dan Bajo Laut. Tentu saja perbedaan antara dua kategori tersebut didasarkan pada letak tempat tinggal.

Orang Bajo Darat memiliki rumah permanen di daratan, sedangkan orang Bajo Laut sangat bergantung pada laut, mereka bertempat tinggal di atas laut, hidup dan bertahan hidup di perahu mereka.

Cara hidup orang Bajo yang nomaden serta berada pada perbatasan dua negara kemudian menimbulkan permasalahan baru jika dilihat dari logika negara yakni pada masalah pengakuan kewarganegaraan. Orang-orang Bajo merupakan kelompok minoritas yang kian terpinggirkan sehingga kian lama akan kehilangan haknya.

Penyebab dari kesulitan dalam menentukan kewarganegaraan termasuk didalamnya adalah hak tinggal ini adalah karena sejauh ini pengakuan atas sebuah hak tinggal masih menggunakan logika tanah sementara untuk laut belum pernah terpikirkan atau luput dari perhatian.

Klaim-klaim hak tinggal bagi masyarakat adat sejauh ini hanya pada narasi mengenai “tanah warisan leluhur” saja dengan begitu jika pengakuan hak tinggal ini stagnan pada logika tanah maka komunitas adat seperti orang Bajo akan semakin sulit mendapat hak tinggalnya.

Hal tersebut kemudian mengakibatkan terbukanya potensi mereka untuk dianggap sebagai anti nasionalis karena melanggar batas-batas negara serta tidak memiliki dokumen kependudukan yang ‘sah’.

Oleh karena itu, melalui catatan-catatan etnografis di atas dapat terlihat bahwa seringkali aspek historis termasuk didalamnya adalah kemapanan hidup sebelum zaman kolonial dilupakan dan diganti dengan narasi sejarah yang dibuat oleh kekuasaan. Alih-alih mengkritisi warisan pemerintah kolonial, justru pemerintah Indonesia malah melanggengkannya.

Hal ini terlihat melalui catatan etnografis masyarakat perbatasan yang justru semakin dijebak dengan konsep negara yang bersifat menetap (sedentary) seperti yang dicontohkan oleh praktik administrasi pemerintah kolonial Belanda.

Melintasi Batas Waktu

Pembentukan Indonesia sebagai sebuah komunitas imajiner telah berlangsung melalui waktu demi waktu. Meskipun masyarakat yang kini menjadi bagian dari penduduk yang ada pada teritorial Indonesia telah melewati berbagai waktu, namun gagasan tentang identitas “Indonesia” dengan segala keragamannya perlu kemudian dipertanyakan. Mengingat pada kenyataannya kehadiran Indonesia malah menjadi entitas hegemonik.

Dari berbagai paparan etnografi di atas terbitlah pertanyaan, apakah negara Indonesia yang menjadikan mereka sebagai bagian dari komunitasnya mampu merangkulnya atau justru akan menganggap sebagai sesuatu yang ‘terbelakang’ sehingga perlahan ingin menghilangkan?

Penulis merupakan mahasiswa Magister Antropologi UGM

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, B. R. O’G. 2006 [1983]. Imagined Communities. London: Verso.

 

Amersfoort, H. V. (2004). The waxing and waning of a diaspora: Moluccans in the Netherlands, 1950–2002.

Journal of Ethnic and Migration Studies, 30(1), 151-174.

Abdulsalam, H. (2017,30 Oktober). Polemik Etnisitas antara Batak dan Mandailing. Tirto.id.

https://tirto.id/polemik-etnisitas-antara-batak-dan-mandailing-cze2 (diakses 21 Desember 2021)

Gupta, Arun Das. 2001. The maritime trade of Indonesia: 1500–1800. In Paul H. Kratoska (ed.), South East Asia; Colonial history. Vol. I. London: Routledge, pp. 91–123.

Hammersley, M., & Atkinson, P. (2019). Ethnography: Principles in practice. Routledge.

Lumenta, D., 2004. “Borderland Identity Construction within a Marketplace of Narratives: Preliminary Notes on the Batang Kanyau Iban in West Kalimantan”, Jurnal PMB, Jilid XXX No. 2 Ptak, Roderich. 1983.

Some references to Timor in old Chinese records. Ming Studies 17: 37–45.

Sihombing, A. A. (2018). “Mengenal Budaya Batak Toba Melalui Falsafah Dalihan Na Tolu (Perspektif Kohesi dan Kerukunan”. Jurnal Lektur Keagamaan. 16(2).

Prasojo, Z. H. (2013). Dinamika masyarakat lokal di perbatasan. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 21(2), 417-436.

Suparlan, Parsudi. 1976. “The Javanese in Surinam: Ethnicity in an Ethnically Plural Society” Ph.D. Dissertation, University of Illinois at Urbana-Champaign.

Steenbrink, K. A., & Aritonang, J. S. (2008). Chapter Ten. How Christianity Obtained A Central Position In Minahasa Culture And Society. In A History of Christianity in Indonesia (pp. 419-454). Brill.

Suparlan, Parsudi. 1976. “The Javanese in Surinam: Ethnicity in an Ethnically Plural Society” Ph.D. Dissertation, University of Illinois at Urbana-Champaign.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

Kirim Berita

  • redaksi@edunews.id
  • redaksiedunews@gmail.com

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top