Literasi

Menilik Diskriminasi Ajaran Falun Dafa di Indonesia

Ilustrasi

*Oleh Vincamira Tasha Florika

EDUNEWS.ID – Meskipun Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan keragaman budaya, agama, dan etnis, tantangan terhadap penerimaan perbedaan masih menjadi isu yang signifikan. Salah satu kelompok tersebut, ialah Falun Dafa, sebuah komunitas spiritual yang mengajarkan prinsip sejati, baik dan sabar melalui meditasi dan latihan fisik.

Ajaran ini mulanya berkembang di Tiongkok dan menjadi metode kultivasi (pengolahan) ganda jiwa dan raga yang berpedoman pada tiga kebajikan utama – sejati, baik dan sabar (zhen-shan-ren). Diperkenalkan oleh Master Li Hongzhi di kota Changcun pada Mei 1992, ajaran ini banyak menarik perhatian orang-orang tidak hanya di Tiongkok saja, namun hingga seluruh dunia.

Kepopuleran dan perkembangan Falun Dafa yang sangat pesat ini kemudian membuat pemerintah Tiongkok khawatir dan melakukan kampanye represif untuk memberantas Falun Dafa. Mereka memandang organisasi ini dapat memobilisasi massa secara besar-besaran dan ditunggangi oleh berbagai kepentingan politik.

Hal ini yang kemudian membuat ajaran Falun Dafa di seluruh dunia terutama di Indonesia, menjadi sasaran empuk bagi masyarakat yang tidak tau menahu apa itu Falun Dafa. Masyarakat banyak termakan oleh propaganda pemerintah Tiongkok, sehingga dengan mudahnya melabeli mereka sebagai “kultus sesat”.

Diskriminasi ini membawa saya lebih jauh untuk menghubungi ketua himpunan mereka, bernama Gatot Machali. Dalam diskusi itu, Ia bercerita bahwa himpunan Falun Gong atau Falun Dafa di Indonesia mulai menerima tindakan diskriminasi sejak tahun 2002.

Hal ini dimulai ketika Tiongkok mengirimkan nota diplomatik kepada Menlu RI, bahwa pemerintah Indonesia harus mengambil tindakan tegas atas rencana Falun Dafa yang akan mengadakan konferensi besar-besaran. Konferensi ini berjalan lancar, namun prosesi pawai yang dilakukan para praktisi dihentikan secara paksa.

Diskriminasi ini terus berlanjut hingga tahun 2003, dimana terdapat pernyataan bahwa Falun Dafa tidak memiliki legalitas atau perijinan di Indonesia.

Menanggapi hal tersebut, Komnas HAM mengirimkan surat kepada Menteri Dalam Negeri RI dengan mendesak agar pemerintah segera menyelesaikan persoalan pembatasan ruang gerak Falun Dafa. Pembatasan ini bertentangan dengan pasal 24 undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang mana seharusnya masyarakat memiliki hak untuk berkumpul, berpendapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai serta hak untuk mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya.

Pada tahun 2015, aparat kepolisian berusaha menggagalkan aksi damai Falun Dafa untuk membentangkan spanduk pada saat acara puncak konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung. Namun, rencana ini dihalangi. Ketua himpunan dikejar oleh orang tak dikenal, sementara praktisi Falun Dafa lainnya mendapat ancaman melalui telepon agar mereka tidak melakukan aksi bentang spanduk saat konferensi KAA berlangsung.

Hingga tahun 2022 dan 2023, himpunan ini mendapat perlakuan diskriminasi oleh sekelompok preman yang diyakini memiliki keterlibatan dengan PKT. Mereka melakukan demonstrasi agar organisasi ini dibubarkan.

Dalam kesempatan lainnya, oknum-oknum tersebut juga berani mengancam dan menganiaya para praktisi yang melakukan aksi bentang spanduk di depan Kedutaan Tiongkok. Mereka merampas spanduk-spanduk tersebut dan menganiaya salah seorang praktisi dalam aksi damai tersebut.

Prasangka Sosial, Bias dan Sentimen Kolektif terhadap Ajaran Falun Dafa di Indonesia

Aksi diskriminasi yang dilakukan oleh negara, tidak lain merupakan upaya untuk menjaga hubungan bilateral Indonesia dan Tiongkok. Kebebasan beragama dan berekspresi begitu dijunjung, namun realitanya hal itu hanya menjadi angan-angan.

Di dalam masyarakat sendiri, prasangka sosial, bias dan sentimen kolektif memainkan peran yang signifikan dalam membentuk diskriminasi yang dialami oleh komunitas Falun Dafa di Indonesia. Prasangka sosial sendiri dimaknai sebagai sikap negatif terhadap kelompok tertentu yang didasarkan pada stereotip atau generalisasi.

Dalam teori social identity, Henry Tafjel dan John Turner (1979) menjelaskan bahwa identitas sosial individu terkait erat dengan kelompok yang mereka anggap sebagai “kami” (in-group) dan “mereka” (out-group), yang seringkali berujung pada munculnya prasangka, stereotip dan diskriminasi terhadap kelompok lain. Anggapan ini dapat menyebabkan adanya pembentukan batas sosial antara mereka yang mayoritas dengan kelompok minoritas dengan berkembangnya citra negatif antar kelompok.

Melalui citra tersebut, bias dan sentimen kolektif dapat tumbuh dalam benak individu maupun kelompok, seperti yang disebutkan oleh Susan Fiske (2000) dalam bukunya yang berjudul Stereotyping, Prejudice and Discrimination: The Science of Affect bahwa bias sosial sering terjadi dalam proses kognitif yang cepat dan otomatis, yang mengarah pada stereotip atau diskriminasi terhadap individu atau kelompok.

Proses ini cenderung dilakukan manusia untuk mengurangi kompleksitas dan dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, pengaruh sosial dan media massa.

Dalam konteks Falun Dafa, prasangka tersebut sangat dipengaruhi oleh gencarnya propaganda yang dilakukan oleh Pemerintah Tiongkok dalam mempromosikan narasi bahwa Falun Dafa adalah “sekte sesat”. Narasi ini kemudian disebarkan melalui media internasional dan membuat adanya prasangka dan stigma di masyarakat.

Mereka memandang bahwa Falun Dafa adalah agama atau ajaran baru yang tidak masuk ke dalam enam agama resmi di Indonesia, sehingga masyarakat memandang ajaran ini menyimpang atau bertentangan dengan norma di masyarakat.

Selain itu, sentimen masyarakat terhadap komunitas Tionghoa juga masih begitu kuat. Masyarakat memandang bahwa Falun Dafa berasal dari Tiongkok dan lekat dengan komunitas Tionghoa di Indonesia.

Melalui hal ini, diskriminasi yang dialami oleh komunitas Falun Dafa di Indonesia mencerminkan tantangan yang sangat kompleks dalam upaya membangun masyarakat yang inklusif. Sebagai kelompok minoritas, Falun Dafa menghadapi tekanan yang bersumber dari berbagai lapisan — baik dari prasangka historis, stigma sosial hingga pengaruh kebijakan luar negeri.

Hal ini memperlihatkan bahwa diskriminasi masih bersifat sangat sistemik dan berakar dari ketidaktahuan yang diperparah oleh narasi global dan politik identitas lokal. Kapankah Indonesia betul-betul mewujudkan rasa toleransi dan keberagaman?

Referensi

Fiske, S. T. (2000). Stereotyping, prejudice, and discrimination at the seam between the centuries: Evolution, culture, mind, and brain. European journal of social psychology, 30(3), 299-322.

Tajfel, H. & Turner, J.C. (1979). An integrative theory of intergroup conflict. The social psychology of intergroup relations/Brooks/Cole

Penulis merupakan Mahasiswa Magister Antropologi UGM

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

Kirim Berita

  • redaksi@edunews.id
  • redaksiedunews@gmail.com

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top