Perlakukan orang apa adanya, maka dia akan tetap menjadi apa adanya. Perlakukan orang sesuai dengan kemampuanya dan sebagaimana mestinya, maka dia akan menjadi orang yang menunjukan kemampuannya dan menjadi sosok yang semestinya. –Goethe
OPINI, EDUNEWS.ID – Masih segar dihadapan kita, peristiwa di bulan lalu 14 Juli 2016 diberbagai pemberitaan mengenai “asrama kamasan”, asrama Papua bergolak. Aparat kepolisian dan beberapa ormas menyatroni dan menggagalkan unjuk rasa yang hendak dilakukan oleh beberapa mahasiswa Papua. Beberapa tuntutan itu; mendukung lolosnya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) di forum Melanesian Spehead Group (MSG). Gerakan separatisme terseret dalam kecurigaan aksi tersebut.
Pemerintah Yogyakarta terburu-buru mencium gelagat separatisme. Sweping orang berkulit hitam dan rambut keriting melanisian menyeruak dibeberapa pemberitaan medsos; gambar beberapa polisi yang berpakaian sipil tengah mengeroyok dan menghujamkan tendangan kemuka pemuda Papua. Beberapa ormas terlibat dalam aksi tersebut, pernyataan dibumbui dengan nama-nama sederet binatang kepada mahasiswa asrama Papua. Lecutan rasisme sungguh melukai nilai kemanusiaan sebagai bangsa besar berkebhinekaan.
Dan kita pun menyadari ternyata ini harus terjadi di kota Yogya, kota yang tertumpuk tebaran sanjungan akan nilai-nilai toleransinya. Kota simbol pendidikan yang saling mengikat dengan julukannya thecity of tolerance.
Herry Zudianto dengan serius menyorotti permasalahan multikultuaralisme Yogya dan memberi buah pikiran tentang “manajemen kota multikultur”. Dalam bukunya “Kekuasaan sebagai Wakaf Politik” di Bab IV menyentil tentang kedudukan para mahasiswa yang tinggal dipondok rumahan (kos) maupun relevansi kehadiran asrama mahasiswa di Yogyakarta.Alasan ini bukan tanpa sebab, Herry memandang kehadiran mahasiswa yang berinduk semang dibawah atap asrama dianggap berjarak dari warga Yogyakarta itu sendiri.
Nihilnya sikap teposeliro dikalangan anak asrama merupakan representasi mereka yang gagal memiliki sense of social responsibility.Asrama sebagai “identitas” kian kehilangan legitimasi aspirasi politiknya. Herry dalam bab tersebut mencoba mengemukakan gagasannya tentang pengalifungsi asrama sebagai anjunggan budaya. Pendeknya, asrama ingin disejajarkan dengan Taman Mini Indonesia Indah Jakarta yang menyuguhkan pernak-pernik etalase kebudayaan tradisi dan dapat mengundang perhatian banyak para “turis”datang ke Yogyakarta.
Semakin jelaslah bila demikian yang diinginkan. Fungsi asrama sebagai bahtera yang dikelilingi lentera harapan dan tempat mengasah gagasan kian pudar. Kita menafikan dari sekian tabir yang tersingkap. Agar asah masih tetap menyala marilah kita sejenak menengok sejarah. Asrama dahulu menjadi tempat merakit gagasan merebut kemerdekaan 1945. “Asrama menteng 31” dijadikan “gudang strategi” pemuda revoluisoner. Beberapa dari mereka; Chaerul Saleh, Sukarni dan Wikana adalah pemuda yang pernah terlibat pada persitiwa Rengasdengklok. Peristiwa penculikan Bung Karno, yang kelak buahnya adalah peryataan proklamasi kemerdekaan.
Selain dituntut belajar, kuliah dan mampu berkomunikasi dengan masyarakat, mereka juga mampu menawarkan warna-warni ekspresi transformasi keadilan. Asrama menjajakan peluang politik bagi mereka yang pandai berkelakar tentang semesta gagasan. Itulah sebab mengapa para pemuda tersebut mau bermukim disebuah asrama. Karena asrama bukanlah sekedar tempat tinggal, tapi rumah bagi ide dan gagasan peradaban bermekar.
Yang banyak luput dari itu semua ialah rupa-rupanya ruang belajar yang bebas masih terganjal oleh pelbagai masalah. Masih banyaknya ditemui penekanan dan intimidasi oleh kelompok-kelompok masyarakat Yogya lainya seperti yang mengatasnamakan front anti kelompok tertentu. Tugas mereka melakukan pembubaran ruang-ruang belajar maupun diskusi bebas yang disitu pula mahasiswa melakoni aktivitas akademik. Buku-buku dan forum diskusi yang berbicara tentang Syiah–Kiri misalnya, mendapat ancaman sinisme serta tindakan represif yang semena-mena. Kebebasan berpendapat dikekang dan dilanggar secara kasar. Pada akhirnya warisan Orba masih subur berjalan. Forum-forum diskusi seperti yang beberapa pernah terjadi; Pembubaran Iran corner UMY, Rausyan Fikr, pembredelan majalah Lentera dan beberapa aktivitas pemutaran film bernarasi peristiwa politik 65 semakin terang menjadi bukti bahwa ancamanhidup nyaman dengan demokerasi nyata terancam.
Sebagaimana Amartya Sen berpendapat; “Kekerasan bisa terjadi akibat tumbuhnya rasa identitas yang diandaikan bersifat kodrati sekaligus tunggal–bahkan kerap bersifat agresif–yang dianggap melekat pada diri kita dan seolah membebani kita dengan tuntutan yang berat (kadangkala menuntut kita bertindak kejam)”. Kita mesti menyadari bahwa kita berada dalam identitas yang tidak seragam. Kita memang berbeda dalam sebuah keberagaman. Dan rasa memiliki suatu identitas bukan hanya bisa menjadi sumber lahirnya kebanggaan dan kebahgiaan, melainkan pula sumber tumbuhnya kekuatan dan kepercayaan diri. Begutupun dengan mahasiswa Papua, sekalipun aspirasi dianggap lebih dekat dengan separatis, hak mengemukakan pendapat tak bisa dihalangi.
JANESA MAHARDIKA, mantan ketua asrama mahasiswa Sulawesi Tengah Yogyakarta periode 2008-2010.