Oleh: Sukma Putra Permana*
OPINI, EDUNEWS.ID – Hari ini, 17 Agustus 2016, bangsa kita berusia 71 tahun. Di seluruh pelosok negeri, peringatannya dilakukan dengan upacara bendera yang khidmat ataupun dengan mengadakan berbagai acara lomba yang meriah. Semua itu sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dan terima kasih kepada para Pendiri Bangsa. Dahulu, para Pendiri Bangsa bercita-cita menjadikan negeri ini diakui oleh dunia sebagai bangsa bermartabat sejajar dengan bangsa-bangsa merdeka lainnya di muka bumi, setelah terjajah oleh bangsa asing untuk waktu yang sangat lama.
Salah satu moment yang dapat menjadi pijakan kebangkitan bangsa ini adalah tanggal 20 Mei 1908, saat didirikannya Budi Utomo (BU) oleh Wahidin Sudirohusodo dan rekan-rekan mahasiswa STOVIA, Jakarta. Tujuan didirikannya BU adalah: kemajuan nusa bangsa yang harmonis dengan jalan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, kebudayaan, mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa yang terhormat.
Setelah 108 tahun peringatan didirikannya BU dan 71 tahun usia kemerdekaan bangsa ini, apakah cita-cita untuk menjadi bangsa terhormat melalui pendidikan itu sudah tercapai? Alih-alih demikian, dunia pendidikan kita sekarang malah penuh oleh hiruk-pikuk masalah.
Mulai dari kisruh Ujian Nasional (UN), sertifikasi guru (yang membuat para guru lebih disibukkan dengan urusan administrasi daripada menambah ilmu demi kualitas mengajar di muka kelas), wacana sekolah full day atau non full day, perkelahian pelajar yang menjurus ke tindak kriminal, sampai pada masalah – yang tampaknya sangat sepele tapi berpengaruh sangat besar terhadap tingkat literasi bangsa ini – yaitu rendahnya minat baca masyarakat.
Minat baca bangsa ini memang tergolong rendah dibanding negara lain. Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara di dunia (hasil penelitian dari Central Connecticut State University tahun 2016/ www.jpnn.com, 08 Juni 2016).
Rumah Puisi Taufik Ismail juga menyimpan data tentang kewajiban membaca buku bagi siswa SMA di beberapa negara. Di Thailand, hingga tamat SMA seorang siswa harus selesai membaca 5 judul buku. Sementara di Malaysia 6 judul buku, Singapura 6 judul buku, Jepang 15 judul buku. Negara-negara Eropa seperti Prancis, Jerman, dan Belanda mewajibkan siswa SMA membaca antara 22 hingga 32 judul buku. Sedangkan Indonesia, nol buku!
Mengapa demikian? Sebab, di negeri ini sedang berkembang pesat budaya menonton televisi bukan budaya membaca buku. Apalagi dengan semakin banyaknya stasiun televisi yang mengudara. Lihat saja tayangan yang ditampilkan televisi kita, sebagian besar adalah hiburan semata. Unsur mendidik yang dikandungnya nyaris tidak ada. Bahkan program berita pun sekarang lebih bersifat menghibur dengan dikemas sangat atraktif, provokatif, dan sensasional.
Sebuah berita kriminal, hanya menonjolkan pelakunya, proses detil terjadinya, dan akibat yang ditimbulkannya. Jarang sekali ditonjolkan sebab-musabab terjadinya dan bagaimana cara-cara mencegahnya. Misalnya, berita tentang maling tertangkap basah, yang ditampilkan hanyalah sang maling babak-belur dihajar massa. Tayangan provokatif tersebut tanpa disadari menjadi ‘sarana belajar’ bagi penonton. Sangat berbahaya bila penontonnya adalah anak-anak atau remaja yang masih labil emosinya.
Bukan tidak mungkin, inilah pemicu terjadinya kekerasan dan perkelahian pelajar. Jika memang demikian keadaannya, maka Kebangkitan Nasional yang diharapkan mengangkat harkat dan martabat bangsa ini, tidak akan tercapai. Lantas bagaimana?
Bagaimana bila kita mulai dari diri dan lingkungan terdekat? Bagaimana bila mulai kita biasakan anak-anak gemar membaca. Mulai anak masih dalam kandungan, orang tua harus senang membaca bacaan yang baik. Ketika anak balita, bacakanlah cerita-cerita teladan yang bermanfaat bagi perkembangan mentalnya. Setelah dapat membaca sendiri, berikanlah anak bacaan-bacaan bermutu sesuai dengan usianya. Berikanlah pula teladan kepada anak dalam menonton televisi. Tontonlah acara-acara yang berisi ilmu pengetahuan, lalu ajaklah mereka untuk lebih mengeksplor melalui buku-buku, apa yang baru saja ditontonnya.
Di waktu luang, ajaklah anak berwisata ke perpustakaan, toko buku, atau pameran buku untuk mengetahui trend perbukuan paling baru dan membeli buku-buku bermutu. Dengan demikian, dapat mengurangi frekuensi menonton televisi anak-anak kita, sehingga dampak buruk tayangan yang tidak baik dapat dihilangkan.
Semoga dengan langkah kecil tersebut, Kebangkitan Nasional yang dicita-citakan oleh para Founding Fathers – melalui Pendidikan Nasional demi mencapai kehidupan bangsa yang terhormat – akan tercapai. Aamiin…..
Sukma Putra Permana, peminat dunia literasi dan puisi, bergiat di Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta. Kelahiran Jakarta, 3 Februari 1971. Dokumentasi puisi pribadinya: Sebuah Pertanyaan Tentang Jiwa Yang Terluka (2015, ISBN: 978-602-336-052-9). Puisi-puisinya pernah muncul dalam beberapa media cetak Surabaya, Surakarta, dan Yogyakarta. Ada pula yang termuat di dalam beberapa antologi puisi bersama, antara lain: Menghantam Tegarnya Karang (2014, ISBN: 978-602-1638-71-2), Tunggu Aku Mengucap Cinta (2015, ISBN: 978-602-336-086-4), dan Semesta Wayang (2015, DisParBud KotaYogyakarta). Beralamat di: RingRoad Timur Mutihan No.362 RT.5 Wirokerten, Kawasan Budaya Kotagede, D.I.Yogyakarta 55194. NoHP: 081 3920 18181. Alamat e-mail: sukmaputrapermana@yahoo.com. Alamat FB: www.facebook.com/sukmaputrapermana.