Oleh: Mohd. Sabri AR*
TAFAKUR, EDUNEWS.ID – Di tangan filsuf sosial Antonio Gramsci, anggitan “subaltern” mekar, menyengat dan punya makna magis. Ia merumuskan subaltern sebagai paras buram “kaum inferior”, kelompok-kelompok sosial “kurang beruntung” dan mereka yang menjadi subjek hegemoni kelas penguasa: para gelandangan, pengemis, PKL, buruh tani, nelayan kecil, buruh pabrik, penjaga toko, tenaga honorer dan tukang sapu jalanan. Ringkasnya, kelas subaltern adalah mereka yang “bukan elite” dan acap kali terlipat dalam sejarah.
Notes on Italian History (1934) —tulisan Gramsci yang menyalak bagai petir— mengeritik pedas sejarahwan yang abai menulis sejarah kelas subaltern, dan hanya jadi abdi untuk proyek penulisan sejarah kekuasaan, riwayat dinasti-dinasti atau kisah raja-raja yang menekuk keberadaan subaltern.
Padahal, bagi Gramsci, sejarah kelas subaltern tak kalah jamak dan berwarnanya dengan sejarah kelas elite, hanya saja, yang terakhir dilabeli sebagai “sejarah resmi”. Dalam pendakuan Gramsci, hanya percikan api revolusi yang bisa memotong hegemoni ini.
Studi tentang subaltern belakangan kian berwarna terutama dalam rengkuhan Gayatri Chakravorty Spivak. Melalui artikelnya, “Can the Subaltern Speak? Speculations on Widow-Sacrifice” (1985), Spivak melontarkan tanya dengan nada sangsi: adakah sesuatu yang mungkin bagi kaum subaltern berbicara, menyuarakan kegetiran dan menjeritkan penderitaannya? Atau, bisakah kepahitan hidup yang dialami kelas subaltern disuarakan kaum intelektual?
Spivak menjawab: nonsense, sebab derita yang mengepung kaum subaltern, tak tunai dengan kalam, alih-alih kaum intelektual menyuarakannya? Sebab jika hal itu dipaksakan, demikian Spivak, yang terjadi kemudian justeru “kekerasan epistemik” terhadap kaum subaltern.
Gramsci agaknya tidak sepenuhnya sependapat dengan Spivak. Dalam pendakuan Gramsci, mereka yang menihilkan keberadaan kaum intelektual di tengah deru kehidupan getir kelas subaltern, adalah paradigma dominan sebagai ciri studi-studi kolonial.
Mereka mengandaikan intelektual selaiknya hanya “berumah di langit,” di jagat ide, yang berkhidmat merekonstruksi realitas dan memroduksi teori-teori untuk pengembangan ilmu. Pandangan ini mengandaikan para politisi, teknolog, dan ekonomlah yang paling tepat terlibat dalam disain dan kancah perubahan sosial.
Bagi Gramsci, intelektual adalah nurani kaum subaltern, yang tidak sekadar hadir untuk menyuarakan penderitaan yang mengimpit mereka, tetapi terutama memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga negara secara layak dan terhormat. Dengan demikian keterlibatan intelektual secara fenomenologis —dalam denyut nadi dan asa kelas subaltern— bagi Gramsci bukan pilihan, tapi sebuah keniscayaan sejarah.
Lalu, apa yang musti kaum intelektual lakukan ketika kelas penguasa–bertindak untuk dan atas nama negara —menggerus kaum miskin kota, menangkapi gelandangan, menyeret dan membongkar paksa lapak pedagang kaki lima? Gramsci menasihatkan: tengoklah nuranimu, menyelamlah pada lokus terdalam denyut jantungmu, dan bertindaklah!
Mohd. Sabri AR. Pengajar Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.