JAKARTA, EDUNEWS.ID – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meyakini kerugian negara sebesar Rp319 miliar dalam kasus dugaan rasuah pengadaan alat perlindungan diri (APD) di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bukan asal jiplak. Hitungan itu didasari hasil audit BPKP.
“Penghitungan firm-nya adalah Rp319 miliar,” kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu di Jakarta, Sabtu, (5/10/2024).
Asep menjelaskan dugaan kerugian negara yang awalnya terendus dalam perkara itu adalah Rp600 miliar. Namun, setelah dihitung oleh ahli menjadi Rp319 miliar.
KPK menegaskan bisa mempertanggungjawabkan tuduhan tersebut. Nanti, akan ada ahli yang memberikan keterangan dalam persidangan.
“Nanti ini tentunya akan dijelaskan oleh ahli pada saat di persidangan. Ya pasti ini juga akan menjadi sebuah materi. Ini ada perbedaan dan lain-lainnya,” ujar Asep.
Penghitungan kerugian itu dikomplain oleh kubu mantan pejabat pembuat komitmen (PPK) Kemenkes Budi Sylvana yang menjadi tersangka dalam perkara ini. Kuasa hukumnya, Ali Yusuf bahkan menegaskan kliennya tidak membuat negara merugi.
“Setiap rekomendasi dari hasil audit BPKP tidak ada menyebutkan Budi Sylvana telah melakukan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan negara merugi,” ujar Ali.
Ali mengamini ada uang negara yang harus dikembalikan atas pengadaan APD di Kemenkes. Klaim kubu Budi, totalnya cuma Rp8,1 miliar.
KPK menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini yakni mantan pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kemenkes Budi Sylvana, Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik dan Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo.
Kasus ini bermula ketika Kemenkes melalui Pusat Krisis Kesehatan membeli APD sebanyak 10 ribu pcs untuk penanganan covid-19 pada 20 Maret 2020. Transaksi dilakukan dengan PPM yang sudah mendistribusikan kebutuhan APD selama dua tahun.
Harga APD yang ditawarkan saat itu yakni Rp379.500 per set. Seluruh kebutuhan medis itu diambil oleh TNI berdasarkan perintah BNPB untuk diserahkan ke sepuluh provinsi di Indonesia, namun, tidak disertai dengan dokumentasi maupun berkas terkait.
Sehari setelah pengiriman ada kesepakatan jual beli APD sebanyak 500 ribu set dengan PT EKI. Harganya mengikuti nilai dolar saat itu.
Kesepakatan itu berlanjut dengan kerja sama PPM dan EKI untuk menjadi distributor APD dengan margin 18,5 persen diberikan kepada PPM. Hasil negosiasi PPM dan EKI diserahkan kepada BNPB.
Kepala BNPB saat itu Hermansyah melakukan negosiasi harga APD dalam sebuah rapat dengan Satrio terkait harga yang sudah ditetapkan. Dia mau jual beli kebutuhan medis menjadi USD50 dari sebelumnya USD60.
Rapat dengan Kepala BNPB itu juga menghasilkan kesimpulan penagihan APD yang sudah dikirimkan. PPM akan menagih pembayaran atas 170 ribu set APD yang sudah didistribusikan TNI dengan harga USD50 per set.
Pembahasan soal pengadaan APD ini berlangsung sampai 27 Maret 2020. Pembayaran dilakukan dengan metode cicil.
Pembayaran pertama sebesar Rp10 miliar diterima PPM dari BNPB pada 27 Maret 2020. Lalu, Kemenkes membayar PPM Rp109 miliar pada 28 Maret 2020.
Dalam kasus ini, Budi baru ditunjuk sebagai PPK di Kemenkes pada 28 Maret 2020. Dokumen pengangkatannya dibuat mundur ter tanggal 27 Maret 2020.
Peran Budi dalam kasus ini yakni ikut menyetujui pengadaan APD sebanyak lima juta set dengan harga USD48,4 dengan para tersangka. Dokumen yang dibuat tidak memerinci spesifikasi pekerjaan, waktu pelaksanaan, sampai pembayaran.
Para tersangka juga melakukan negosiasi ulang terkait pengadaan APD ini pada Mei 2020. Kemenkes diketahui cuma menerima APD sebanyak 3.140.200 set pada 18 Mei 2020. Negara ditaksir merugi Rp319 miliar atas kasus ini.
Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.