Oleh: Sampean*
SKETSA, EDUNEWS.ID – Semakin hari peran pemuda semakin keluar dari lintasan sejarah. Sejarah bangsa Indonesia berdiri di atas pundak para pemuda. Lintasan sejarah yang dilalui pemuda di negeri ini telah melewati empat zaman; Perjuangan kemerdekaan, Orde Lama (ORLA), Orde Baru (ORBA), dan orde reformasi (ORREF). Catatan istimewa ditorehkan oleh melalui politik kebudayaan dan gerakan sosial. Politik kebudayaan dan gerakan sosial dilakukan para pemuda berangsur-angsur dihilangkan dan hanya menyisakan romantisme masa lalu.
Di masa perjuangan kemerdekaan peran pemuda memiliki porsi yang besar terhadap perjuangan kebangsaan. Mereka tidak hanya hidup di kampus, sekolah, dan rumah. Tetapi, mereka terlibat langsung dalam perjuangan meraih kemerdekaan. Tekanan penjajah tidak menyurutkan pemuda melakukan politik kebudayaan dan gerakan sosial. Politik kebudayaan mereka lakukan dengan menumbuhkembangkan organisasi pemuda. Pemuda bertugas menyadarkan, mendidik, dan mengabarkan pentingnya rasa senasib dan sepenanggungan dalam satu bangsa dan negara. Bentuk politik kebudayaan paling nyata dan membekas sampai sekarang dengan menggaunkan sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, slogan kebangsaan yang dibangun atas imajinasi dan kesadaran kepemilikan identitas bersama.
Wujud imajinasi kebangsaan itu dilakukan dengan gerakan sosial dan politik oleh berbagai organisasi kepemudaan. Pengucapan Sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 oleh Jong Java, Jong Batak, Jong, Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, dan Jong Ambon, spiritnya menjalar di berbagai daerah. Organisasi kepemudaan bertumbuh satu persatu dan saling menopang dan mendukung perjuangan masing-masing organisasi.
Perlawanan pun semakin gencar terhadap pendudukan Belanda. Perlawanan tidak hanya dilakukan dengan perjuangan bersenjata. Tetapi, Pemuda melawan dengan kekuatan pena dengan lantang bersuara di media cetak baik yang diperbolehkan pemerintah Belanda maupun media cetak yang liar. Kebangkitan nasional dirintis di ujung pena makin menggigit. Dari tulisan yang tersebar di media cetak, Penjajah semakin beringas menangkapi pemuda yang telaten menulis di berbagai media. Soekarno, Hatta, Nasir, dan Tan Malaka, keluar masuk penjara dan pulang pergi dari pengasingan berkat tulisan dan orasinya yang membakar. Politik kebudayaan yang mereka bangun melalui tulisan semakin efektif membakar kesadaran masyarakat. Tulisan-tulisan mereka mengusik penjajah dan menyadarkan rakyat atas pentingnya kemerdekaan. Pada akhirnya kekuatan pena dan keterlibatan pemuda dalam politik mengantarkan Indonesia ke depan pintu kemerdekaan.
Jika di masa perjuangan kemerdekaan dan ORLA, peran pemuda selalu menentukan keputusan politik. Maka di ORBA dikebiri. Sedangkan, peran pemuda di orde Reformasi simpang siur. Di ORLA menurut Wijdanarko Puspoyo (1991) merupakan arena politisasi aktivitas pemuda dalam semua arena kehidupan, pemuda masa itu denyut nadi, suara masyarakat, dan gema bangsanya. Sementara, pada masa Orde Baru, Hilmar Farid (2011) pemuda dijadikan kaki tangan pembunuhan massal yang dikendalikan militer dan agenda perubahan sosial berada di tangan militer.
Kendali militer di masa ORBA fungsi dan peran sosialnya dikebiri. Aktivitas politik pemuda dikurangi dengan memecah dan mengklasifikasi pemuda berdasarkan usia dan status pendidikan. Hilmar Farid (2011) menukaskan bahwa di luar istilah pemuda dan mahasiswa, Orbamemunculkan kategori baru ; siswa, anak muda, dan remaja. Tentunya setiap kategori itu memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Mahasiswa diorganisir ke dalam partai politik, gerakan politik dan politik kebudayaan dikurangi dengan mengembalikan mereka ke dalam kampus. Ruang gerak mahasiswa di ranah sosial dikurangi dan politik kebudayaan di hilangkan seiring kediktatoran ORBA. Arus dominasi yang diperankan ORBA tidak serta membunuh jiwa pemuda untuk memberontak. Wijil Thukul tidak pernah kembali karena sajaknya. Sementara sajak W.S Rendra mengabarkan kenyataan sosial, yang berulang kali di intimidasi penguasa ORBA. Pramoedya Ananta Toer mendekam di Pulau Buru karena novel-novelnya. Jatuhnya ORBA tidak lepas dari gerakan pemuda yang hanya diidentikkan dengan mahasiswa. Keterlibatan anak muda, remaja, dan siswa hilang di peredaran, mereka dianggap anak cupu tidak tahu apa-apa. Mereka hanya menghabiskan waktunya di bangku sekolah. Kegiatan politik mereka dihilangkan. Jika di masa era perjuangan dan ORLA muncul anak muda yang cerlang. Pemuda usia belasan tahun tampil di arena perjuangan dan politik kebudayaan. Salah satunya Daan Mogot tewas pada usia 20 di Lengkong karena berondongan senjata Jepang (Tirto.id). Usia Daan Mogot di ORBA belum masuk kategori pemuda sehingga generasi itu di masa ORBA menghasilkan generasi cupu politik, Sosial, dan budaya. Efek politik kebudayaan ORBA berimbas pada masa Orde Reformasi.
Mencari Pemuda Di Masa Orde Reformasi
Pemuda yang terfragementaris (Terpecah-pecah) di ORBA kehilangan identitas di era reformasi. Pemuda era reformasi keluar dari lintasan sejarah. Pemuda (Mahasiswa) berhasil menumbangkan ORBA. Tapi, mereka tidak melahirkan generasi pemuda yang militan dalam politik kebudayaan dan gerakan sosial-politik di masyarakat. Fragmentaris di ORBA berpengaruh terhadap fragmentaris pemuda di era reformasi (ORREF). Di ORREF Peran pemuda direpresentasikan di pundak mahasiswa. Sementara, dalam undang-undang kepemudaan No 40 Tahun 2009 dikatakan pemuda ketika sudah berusia 16 -30 Tahun. Secara otomatis mahasiswa sudah menjadi pemuda. Dalam undang-undang tersebut pemuda tidak diberikan ruang sebagai pelopor politik kebudayaan dan penggerak gerakan sosial-politik tetapi, pemuda tidak lebih sebagai makhluk pasif yang harus dibentuk sesuai mekanisme kebijakan dan kekuasaan. Peran aktif pemuda di ranah sosial, budaya, dan politik dikaburkan.
Pengaburan identitas kepemudaan berbagai kategori bukan hanya mengurangi peran dan fungsi pemuda. Tetapi, juga melahirkan kekacauan sosial. Anak muda, remaja, dan siswa yang tidak mendapatkan ruang sosialnya. Mereka menciptakan arena sosialnya sendiri. Mereka mengidentifikasi dirinya berbeda dengan mahasiswa. Maka, Setidaknya ruang ekspresi mereka ciptakan di jalanan, di tempat hiburan, anak kumpulan bakat dan minat untuk menunjukkan eksistensinya bahwa mereka juga ada di ruang sosial. Sementara, mahasiswa menunjukkan identitasnya sebagai anak dari demokrasi, yang harus bersuara lantang atas nama kemanusiaan.
Dua kategori ini saja telah memberikan tarik ulur di ruang sosial untuk saling mendapatkan pengaruh. Belum lagi kategori undang-undang tidak menerjemahkan gerak pemuda sebagai pejuang nasib kebangsaan atau politik kebudayaan dan gerakan sosial yang harus dilakukan pemuda. Peran dan fungsi sosial pemuda dikebiri, bahkan dihujat ketika terlibat dalam politik dan gerakan sosial-politik. Aksi demonstrasi mahasiswa atau pemuda atas ketidakadilan sudah tidak mendapat tempat di hati masyarakat. Sebab, mereka telah dijauhkan dari masyarakat dan pemuda diidentikkan sebagai makhluk akademik yang tunduk, patuh, duduk, diam, termenung, dan mengikuti kata dosen. Bangsa Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan bangsa yang berani. Tapi, bangsa Indonesia di ORBA dan ORREF bangsa yang tidak bisa bersuara. Sedikit bersuara, kena kutukan dan jerat undang-undang. Bahkan, perjuangan di ujung pena pemuda tenggelam dalam arus demonstrasi mahasiswa. Media Pun kadang menutup diri terhadap sikap kritis dan tulisan kritis para pemuda dan mahasiswa. Pemuda pun harus terombang-ambing dengan keputusan politik.
Sampean. Lahir di Bulukumba, 10 Februari 1989. Penulis Pernah Bergiat di Komunitas Belajar Menulis (KBM) di Yogyakarta. Alumni Sosiologi UNM. Dan, sementara menempuh pendidikan pasca sarjana Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor (IPB).