JAKARTA, EDUNEWS.ID – Anas Urbaningrum curhat melalui akun X pribadinya @anasurbaningrum tentang kisah masa kuliah dan menyinggung kebijakan aturan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim.
Sebelumnya, Nadiem saat menghadiri Rapat Kerja X DPR di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Selasa (21/5/2024) menerangkan kebijakan baru mengenai kenaikan UKT tidak akan membuat mahasiswa menjadi kesulitan membayar uang kuliah. Ia juga menjelaskan aturan baru tersebut hanya berdampak bagi mahasiswa dari keluarga mampu. Sementara, mahasiswa dari keluarga tidak mampu tidak akan terkena dampaknya.
“Yang mungkin akan terdampak adalah untuk mahasiswa dengan keluarga dengan tingkat ekonomi tertinggi. Memang itu adalah untuk mahasiswa dengan keluarga dengan tingkat ekonomi tertinggi,” kata Nadiem.
Nadiem juga meyakini aturan baru tersebut tidak akan membuat mahasiswa menjadi gagal kuliah karena kesulitan membayar UKT.
“Jadi tidak ada mahasiswa yang seharusnya gagal kuliah atau tiba-tiba harus membayar lebih banyak akibat kebijakan ini,” pungkasnya.
Lebih lanjut, Nadiem menambahkan mahasiswa lama atau yang sedang menempuh kuliah tidak akan terkena dampaknya. Aturan baru ini hanya berlaku bagi mahasiswa baru.
“Jadi peraturan Kemendikbud ini ditegaskan bahwa peraturan UKT baru ini hanya berlaku kepada mahasiswa baru, tidak berlaku untuk mahasiswa yang sudah belajar di perguruan tinggi,” tandas Nadiem. (saa/nsi)
Curhatan Anas Urbaningrum di X
Anas Urbaningrum pada Rabu (22/5/2024) mengungkap bahwa kebijakan baru kenaikan UKT tersebut harus dikoreksi dan meminta untuk mengembalikan semangat pendidikan tinggi untuk semua.
Dikutip dari akun pribadinya di X @anasurbaningrum, anas membuat utas sebagai berikut:
Tentang UKT
Pak Menteri @nadiemmakarim mungkin cerita kecil ini ada gunanya untuk pertimbangan terkait kebijakan UKT:
1. Saya masuk kuliah tahun 1988, selesai 1992. Persis 8 semester. Saya hrs bayar uang SPP sebesar 120 ribu rupiah untuk setiap semester. Tidak mahal, tapi tidak murah juga. Tidak semua anak rakyat bisa bayar uang kuliah sebesar itu.
2. Jadi, selama 8 semester, total uang SPP saya adalah sebesar 980 ribu rupiah. Kebetulan saya termasuk yg mendapatkan beasiswa Supersemar. Lumayan. Buat orang kampung, bayar SPP sebesar itu termasuk tidak ringan. Harus ada kenekatan untuk pergi ke Surabaya, hidup sbg anak kost dengan jatah 100 ribu perbulan.
3. Seingat saya, waktu itu harga gabah masih sekitar 300 rupiah. Mengapa ini perlu disebut? Sejumlah 980 ribu rupiah itu sebagian adalah dari hasil jual gabah. Jika harga gabah sekarang 7 ribu rupiah, angka UKT yang setaraf waktu itu adalah 120 ribu dikalikan 23. Berarti 3,3 juta rupiah.
4. Karena nekat belajar nulis di koran, setidaknya sejak semester 3, saya sdh punya penghasilan tambahan setidaknya 75 ribu tiap bulan. Kadang lebih karena tulisan nongol di bbrp koran. Sebagai mhsw, penghasilan dari honor tulisan sangat membantu. Kuliah lancar, kegiatan non kuliah juga berjalan baik.
5. Bayangkan sekarang, jika UKT lebih dari 3,3 juta rupiah persemester dan uang bulanan sebagai anak kost sekitar 2 juta rupiah (20 x 100 ribu), keluarga kampung level apa yang bisa mengirim anaknya kuliah. Belum lagi kalau UKT sampai belasan juta atau bahkan puluhan juta. Orang kampung kebanyakan pasti sudah ngeri lihat angkanya.
6. Generasi mahasiswa kampus tahun 70-an dan 80-an pasti ceritanya lebih bernada “kepahitan”, “kenekatan” dan “keserderhanaan”. Yang penting berani daftar, nekat kuliah apapun kesukaran yang dihadapinya. Tetapi memang proses inilah yang membuat mereka bisa memperbaiki nasib, termasuk keluarganya. Mereka pula yg berkontribusi besar krn kemudian mengisi birokrasi, jalur politik, akademis-intelektual, aktivis advokasi dll.
7. Anak-anak rakyat inilah yang terbantu akses pendidikan tinggi oleh negara yang bikin kebijakan SPP relatif terjangkau. Outputnya adalah orang2 terdidik yang ikut menjadi turbin penggerak perubahan sosial, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Orang2 di kampus dan di berbagai kementerian dan lembaga, termasuk di Kementerian yg dipimpin Pak @nadiemmakarim juga skrg ini adalah produk dari kebijakan lama yg agak “ramah biaya” itu.
8. Jika sekarang UKT dinaikkan secara tidak terukur (baca: meroket), akses pendidikan tinggi akan makin sempit bagi anak-anak orang biasa. Anak-anak rakyat akan terkena “tersierisasi” pendidikan tinggi. Kampus akan lebih ramah bagi kalangan berada. Anak-anak dari orang-orang yang “kurang ada” akan makin kecil kesempatannya. Ini adalah tragedi!
9. Jadi, Yth Pak Menteri @nadiemmakarim, meskipun dibilang kebijakan ini hanya untuk mahasiswa baru, saya dan banyak orang yg lain, merasa bahwa argumentasi itu bukanlah argumen. Mahasiswa baru akan segera menjadi lama pada tahun berikutnya.
Jadi, tolong kebijakan ini dikoreksi. Kembalikan pada semangat pendidikan tinggi “untuk semua”, bagi sebanyak mungkin anak rakyat Indonesia. Itu makna pendidikan yang merdeka dan membebaskan.
