Oleh : Ahmad Sahide*
SPEKTRUM, EDUNEWS.ID – Donald Trump, Presiden Amerika Serikat 2017-2021, adalah figur yang sangat kontrovesial. Bukan hanya ketika dia berhasil mendiami Gedung Putih, bahkan ketika dia mengikuti konvensi Partai Republik pun karakter itu sudah mulai nampak. Oleh karena itu, ketika Trump muncul sebagai figur yang kuat dalam memenangi konvensi Partai Republik 2016 silam,
William Liddle, Professor Emeritus Ohio State University, merespons kehadirannya di kancah politik Amerika dengan menulis di harian Kompas pada 15 Oktober 2016. Dalam tulisannya, William Liddle menggambarkan sosok Trump sebagai Orang Kuat yang Mengerikan.
Trump adalah candidate of fear, kandidat yang menghadirkan ketakutan dan kecemasan bukan hanya bagi Amerika, tetapi dunia. Bahkan internal Partai Republik sekalipun ikut terbelah karena sosok Donald Trump yang konstroversial itu (Sahide, 2022). Ketika Trump akhirnya memenangi konvensi dari Republik, beberapa elite partai memberikan sinyal untuk tidak mendukung Trump, termasuk George Walker Bush, Presiden Amerika ke-43. Namun demikian, laju Trump untuk mendiami Gedung Putih tidak terhentikan. Trump kemudian memenangi pemilihan Presiden Amerika pada 2016 melawan Hillary Rodham Clinton, dari Demokrat.
Kemenangan Trump yang kontroversial tersebut mengejutkan dunia internasional di samping sebagai catatan negatif atau noda hitam dari iklim demokrasi Amerika. Amerika yang dikenal sebagai negara kampiun demokrasi dunia dan dengan tingkat peradaban yang maju dan tinggi justru memilih figur seperti Donald Trump, yang pernyataannya banyak tidak berdasar, anti sains, untuk menjadi pemimpinnya. Dan dalam empat tahun mendiami White House, Trump melanjutkan sikap kontrovesialnya serta pernyataan-pernyataan politiknya yang tidak berdasar data. Trump tercatat sebagai Presiden AS yang paling banyak melakukan kebohongan publik, menjadikan Twitter sebagai media untuk menyebarkan “fake news” (Grynbaum, 2019). Tidak merepresentasikan Amerika sebagai negara dengan tradisi riset dan keilmuan yang kuat. Makanya, demokrasi Amerika turun dari full democracy ke flaud democracy semasa kepemimpinannya. Artinya Trump hadir merusak instrumen demokrasi yang mapan dan sudah lama terbangun di Amerika Serikat.
Kemunduran demokrasi Amerika di bawah Trump itulah, yang mendorong Steven Levitsky bersama dengan Daniel Ziblatt menulis buku dengan judul How Democracies Die, terbit pada 2018. Levitsky dan Ziblatt dalam bukunya dengan jelas mengatakan bahwa demokrasi bisa saja mati di tangan orang-orang yang terpilih melalui mekanisme yang demokratis. Amerika, meski sebagai negara kampiun demokrasi di dunia, dengan memilih Trump jelas sebagai contoh yang banyak diulas dalam bukunya tersebut. Trump terpilih melalui mekanisme yang demokratis pada 2016 dengan mengalahkan Hillary Clinton, tetapi Trump muncul sebagai figur yang tidak mengindahkan nilai-nilai demokrasi. Sebaliknya, Trump merusaknya. Levistky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya menuliskan ada empat indikator kemunduran demokrasi di era Trump (Indicators of Authoritarian Behavior), yaitu Rejection of (or weak commitment to) democratic rules of the game, Denial of the legitimacy of political opponents, toleration or encouragement of violence, readiness to curtail civil liberties of opponents, including media (Levistky dan Daniel Ziblatt, 2018).
Pilpres 2020
Donald Trump kembali maju untuk memertahankan posisinya sebagai Presiden AS pada pemilihan yang berlangsung 3 November 2020. Dalam daur ulang demokrasi kali ini, Trump ditantang oleh politisi senior dari Partai Demokrat, Joe Biden yang menggandeng Kamala Harris, perempuan berkulit hitam. Biden pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Amerika di bawah pemerintahan Barack Obama dari 2009-2017 awal.
Hasil dari daur ulang kepemimpinan ini adalah Trump kalah dari Joe Biden. Trump menolak hasil ini. Bahkan ketika proses penghitungan suara masih berlangsung dan menunjukkan bahwa Trump tertinggal dari Biden, Trump langsung mengumumkan bahwa dirinya kembali memenangi pemilihan presiden. Dan setelah Trump semakin tertinggal dari Biden akan perolehan Electoral Votes, Trump menuding adanya kecurangan yang dilakukan oleh pihak Biden-Harris. Trump menuding Demokrat mencuri suaranya. Karena menuding adanya kecurangan inilah sehingga Trump mengerahkan massa untuk demonstrasi di tempat-tempat yang dimenangi Biden (Kompas, 8/11/2020). Tentu ini sikap politik yang tidak mencerminkan Amerika sebagai negara kampiun demokrasi di dunia dengan segudang ‘jasanya’ mengajari banyak negara untuk berdemokrasi. Tradisi di mana kandidat yang kalah dan menuding pihak menang berlaku curang (tanpa bukti) sebenarnya hanyalah tradisi politik dan berdemokrasi di negara-negara berkembang yang demokrasinya belum matang. Tapi kini, dengan kehadiran Trump, telah meruntuhkan tradisi kematangan berdemokrasi Amerika.
Selain itu, pada saat pelantikan Joe Biden-Kamala Harris sebagai Presiden dan Wakil Presiden Amerika pada Januari 2021, Trump mengambil langkah politik untuk tidak menghadiri prosesi pelantikan lawan politiknya itu. Apa yang dilakukan Trump tersebut kembali merusak nilai-nilai dan tradisi demokrasi Amerika. Mungkin karena itu jugalah sehingga Trump mendapatkan hukuman dari pemilih Amerika untuk tidak memilihnya kembali. Seolah kekalahan Trump 2020 adalah kembalinya kematangan demokrasi Amerika Serikat. Tidak salah kemudian jika framing-framing media global terhadap Trump pada pemilihan presiden 2020 banyak mendiskreditkan dirinya. Kemenangan Biden-Harris bukan karena fugurnya yang fenomenal sebagaimana Obama pada 2008, melainkan karena kontroversi dari Trump itu sendiri. Biden dan Harris adalah pasangan yang dilihat (waktu itu) dapat menghentikan laju kematian demokrasi Amerika di tangan Trump. Titik!
Pilpres 2024
Kekalahan politik pada 2020 dan juga framing media yang negatif terhadap dirinya sebagai figur yang kontroversial, anti sains, dan juga menuntun jalan mundur demokrasi Amerika, dari full democracy ke fraud democracy, ternyata gagal ‘mematikan’ jalan politik Trump. Trump ternyata ‘hidup’ kembali sebagai figur yang kuat (meski mengerikan Amerika dan dunia) dari Republik dan diprediksi bakal memenangi pilpres 2024 ketika dia akan kembali bertarung melawan Joe Biden. Biden dengan tidak adanya prestasi politik selama empat tahun mendiami Gedung Putih, ditambah dengan usianya, 81 tahun, yang tidak mendukung lagi, dipredikasi akan kalah telak dari Trump. Oleh karena itu, sejak debat pertama melawan Trump pada 27 Juni 2024, telah muncul suara-suara agar supaya Biden mundur dari proses pencalonan (Kompas, 27/06/2024). Mulai muncul keraguan apakan Biden cukup fit untuk memimpin Amerika satu periode lagi? Biden akhirnya menyatakan mundur dari pencalonannya pada 21 Juli 2024 lalu. Tujuannya hanya satu, menghentikan laju Trump untuk kembali menjadi orang nomor satu di negeri Paman Sam tersebut. Narasi yang dibangun oleh Demokrat adalah Trump figur yang berbahaya untuk memimpin Amerika Serikat.
Setelah kemunduran Biden, maka Trump pun akan menghadapi Kamala Harris. Dengan Kamala Harris, Demokrat berharap bisa mengubah peta politik untuk memenangi kembali kontestasi. Walakin, siapa pun yang memenangi kontestasi politik nantinya, fenomena ‘hidupnya’ Kembali Trump di panggung politik Amerika menjadi menarik untuk dikaji. Hal itu karena sejak 2016 media-media global dan pakar politik, dalam dan luar negeri, membangun narasi politik yang negatif tehadap Trump. Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya How Democracies Die sangat gamblang mengatakan bahwa Trump menghidupkan alarm kematian demokrasi Amerika. Namun semua itu tidak berhasil mematikan Trump dalam proses politik yang demokratis. Trump nampaknya menjadi bukti dari matinya kepakaran sebagaimana yang sudah dituliskan oleh Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise (2017). Maka hidupnya Trump kembali di kancah politik Amerika adalah tanda nyata ‘kematian’ pengaruh seorang pakar.
Ahmad Sahide. Ketua Prodi Hubungan Internasional Program Magister Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
