Akademisi

Bagaimana Ormawa Kampus Menyuburkan Mental Hipokrit

EDUNEWS.ID, GORONTALO – Tak seperti biasanya. Kali ini, para mahasiswa yang berkutat pada organisasi internal kampus, seperti HMJ, Senat dan BEM itu, terlihat begitu aktif. Perbincangan, terlihat begitu sengit, terjadi di sudut-sudut kampus, hingga warung kopi setempat.

Masih sama seperti biasanya. Pembahasannya tidak lain, adalah tentang konsolidasi pemenangan, dalam perhelatan politik kampus. Perhelatan yang dimaksud, bukan membahas strategi melawan penindasan dan pembungkaman di ruang kuliah, dan bukan pula tentang mogok membayar UKT yang semakin mahal, dengan kondisi perkuliahan yang tak mengalami perubahan signifikan. Apalagi, tentang perlawanan terhadap pungutan liar, yang telah menjamur hingga ke seluruh fakultas.

Tidak sejauh itu. Gerakan politik yang dimaksud, bukan itu semua. Melainkan, adalah masalah siapa yang akan memimpin BEM, dengan segala mitos visi dan misinya.

Memperebutkan organisasi yang merupakan produk politik rezim orde baru ini, memang terlihat sangat seksi, dimata para mahasiswa yang banyak gaya, kosong isinya. Mahasiswa sama sekali tidak belajar, bahwa kontestasi ini, tidak lebih dari ruang-ruang hampa, tempat mahasiswa melacurkan idealismenya, dengan mitos solidaritas dan perjuangannya.

Sejauh ini, organisasi internal kampus, memang hanya melahirkan aktivis tai ayam yang panasnya, hanya ada di momen seremonial belaka. Tak perduli sejauh apa diskusi yang dibangun di ruang organisasi, mahasiswa tak mau menyadari, bahwa organisasi seperti ini, memang tidak menegaskan identitas seorang mahasiswa. Alih-alih menjadi mahasiswa kritis, aktif di organisasi seperti ini, hanya membuat kita menjadi mahasiswa Hipokrit.

Demontrasi di dalam kampus Uiversitas Negeri Gorontalo.

Membunuh Radikalisasi Gerakan Mahasiswa

Persaingan pemilihan pemimpin organisasi kampus, telah menjadi lahan yang subur, untuk membunuh radikalisasi gerakan mahasiswa. Sebuah gerakan, yang menjadi sejarah panjang pergulatan mahasiswa, dalam setiap pentas peradaban Bangsa.

Alih-alih menciptakan ruang kritis dalam melihat dinamika kampus, perhelatan politik dalam memilih pengurus BEM, malah menjadi ruang-ruang pragmatis. Tempat para mahasiswa yang sering dibilang tim sukses berbagi kue kekuasaan. Proses ini, tak jauh berbeda, dengan perhelatan politik praktis 5 tahunan, yang hanya menghasilkan pejabat korup, oligarki, dan haus kekuasaan.

Proses politik praktis, yang tak menciptakan perubahan berarti dalam tatanan sosial, telah dirawat dengan baik dalam kontestasi politik kampus.

Sebagai manusia yang tumbuh di ruang perguruan tinggi, beserta serikat dan organisasinya masing-masing, mahasiswa seharusnya bergerak dalam ruang-ruang ideologis, yang menawarkan perubahan tegas, atas masalah yang terjadi di kampus.

Ideologi perlawanan, menjadi salah satu ciri penting, dalam majunya gerakan mahasiswa. Gerakan ideologi seperti ini, akan muncul dalam praktik melawan pembungkaman birokrasi kampus, terhadap kebebasan akademik melalui mengkritik, atau melawan kapitalisasi pendidikan, yang membuat mahasiswa menjadi korban pungutan liar, dan maladministrasi.

Namun, nyatanya gerakan ideologi seperti ini, tak digunakan, atau bahkan tak sampai dipikiran para aktivis organisasi kampus. Tawaran yang digunakan adalah gerakan politik praktis. Sehingga, jangan tanya mengapa, setelah panasnya pertempuran pemilihan BEM, hanya tersisa panggung-panggung untuk popularitas, yang diisi oleh pengurus BEM yang banyak bicara, namun tak berani untuk sekedar melawan praktik busuk, yang terjadi di kampus.

Saya tak perlu lagi, menguraikan bagaimana banyaknya persoalan birokrasi kampus, yang membungkam dan menindas mahasiswa, melalui regulasi dan relasi kuasanya. Rasa-rasanya, saya sudah muak, mendengar persoalan seperti ini, hanya menjadi jualan para pengurus BEM, untuk berorasi, berkampanye, hingga mengisi diskusi-diskusi dilingkungan organisasi kampus.

Sebagai organisasi mahasiswa tertinggi di kampus, BEM tentunya sudah mengetahui, banyaknya masalah dalam kampus. Namun masalah ini, lagi-lagi hanya menjadi bualan semata, yang dikeluarkan di ruang-ruang diskusi, agar mendapatkan pengakuan, bahwa “aku mahasiswa kritis”. Padahal, kritis adalah kemampuan, untuk bisa berdiri tegak, melawan dan merubah kesalahan yang terjadi.

Kondisi ini, membuat mahasiswa yang bernaung di BEM, menjadi pelaku onani intelektual. Sungguh, perilaku ini hanya membuat mereka sok-sok’an berbicara kritis, yang manis dan tajam dalam retorika, namun tumpul dalam pergerakan.

Sangat mudah untuk melihat kenyataan ini. Kita cukup mendengar, pembahasan konsolidasi dan kampanye pemenangan calon BEM. Suara ditegaskan, karakter dikuatkan, hanya untuk berebut suara. Persis, seperti para politikus korup.

Gerakan politik praktis memang seperti ini. Ia seperti tai ayam, yang hanya panas beberapa detik, setelah keluar dari pantat. Selebihnya, tinggal menikmati popularitas, fasilitas dan kemewahan berorganisasi. Sambil, kesana-kemari mengaku, orang yang menaungi seluruh gerakan mahasiswa, di kampus.

Lahirlah Mahasiswa Hipokrit

Seluruh proses berorganisasi seperti ini, hanya akan melahirkan seorang mahasiswa hipokrit (munafik). Tanpa sadar mahasiswa terdidik, menjadi seorang yang munafik, yang ingin menjadi pemimpin, namun tidak siap, untuk membawa gerakan ideologis, untuk menggalang gerakan mahasiswa, dalam melawan praktik buruk di kampus.

Kita bisa melihat, bagaimana pemimpin organisasi kampus, begitu haus pengakuan dari mahasiswa lainnya. Mereka menari dan berbicara, dengan gagah berani, di depan para mahasiswa baru, yang minim pengetahuan tentang kampus dan kemahasiswaan.

Alhasil, mahasiswa yang baru masuk di dunia kampus, terpapar dengan perilaku buruk, para seniornya di organisasi kampus. Mahasiswa baru, kemudian menjadi korban-korban baru, untuk dibodohi, dengan doktrin-doktrin bullshit, tanpa bacaan dan pengetahuan yang memadai. Proses seperti ini, akan menciptakan budaya mahasiswa, yang tumpul dalam pemikiran, dan pragmatis dalam gerakan.

Jika ini terus dibiarkan, bangsa ini akan diisi oleh para sarjana dari mahasiswa yang prosesnya penuh dengan hipokrit, yang memamerkan pengalaman memimpin organisasi kampus, meski tak berhasil menciptakan perubahan yang memadai.

Mungkin, inilah wujud dari keberhasilan rezim otoriter Orde Baru, dalam mengontorol gerakan mahasiswa, menjadi lebih pragmatis, dan tak berhasil menyentuh masalah-masalah sosial.

Organisasi internal kampus, begitu erat dengan relasi kuasa birokrasi kampus, sehingga mudah untuk dibungkam dan dikenalikan dengan baik. Asal, mahasiswa di organisasi kampus ini, diberi nilai yang baik, fasilitas mewah, dan dana yang cukup. Agar, mereka tak mempertanyakan lagi, apa dan bagaimana perubahan bisa dilakukan, untuk menciptakan lingkungan kampus yang lebih adil bagi mahasiswa.

Inilah yang menjadi alasan, mengapa para mahasiswa yang sadar, memiliki bacaan dan pengetahuan yang memadai, tidak peduli dengan kontestasi BEM. Mereka menyadari, kontestasi ini hanya menjadi ladang pencarian popularitas, yang tak menghasilkan perbaikan, bagi kondisi mahasiswa di kampus.

Meski begitu, organisasi internal kampus, sebenarnya menjadi lahan yang subur, untuk merawat pergerakan mahasiswa. Namun, semua itu hanya bisa terwujud, jika kontestasinya, dilandasi oleh gerakan ideologis, dan perlawanan atas segela perilaku buruk, yang terus dipelihara di kampus.

Perbaikan ini, bisa dimulai dengan, mengubah pola pengaderan organisasi kampus, menjadi lebih progresif, dan dilandasi dengan nilai intelektualitas, kejujuran dan keberanian melawan segala bentuk ketidak adilan.

Yah, ini semua juga sudah seperti menjadi rahasia umum. Bagaimana pola pengaderan organisasi kampus, masih diisi oleh tradisi buruk, seperti perpeloncoan, pembodohan, senioritas, dan lain sebagainya.

Tak peduli seberapa banyak kajian yang dilakukan, dan seberapa banyak buku yang dibaca. Tradisi buruk pengaderan ini, begitu sulit untuk dihilangkan. Mahasiswa tak mau jujur, dan berani melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Sehingga jelas, lagi-lagi, yang tumbuh adalah mahasiswa bermental HIPOKRIT.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

Kirim Berita

  • redaksi@edunews.id
  • redaksiedunews@gmail.com

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top