INOVASI, EDUNEWS.ID – Dari tahun ke tahun, masalah yang menjangkiti sumber daya manusia tidak lagi hanya persoalan kualitas intelektual dan skill atau keterampilan yang rendah. Dewasa ini, masyarakat justru dibuat terheran-heran dengan maraknya pemberitaan terkait masalah psikososial yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.
Di Kota Makassar sendiri, masalah psikososial seperti kecemasan berlebih, mudah marah atau tersinggung, sulit konsentrasi hingga stress dan depresi sudah sering ditemukan. Masalah ini kian merebak tidak hanya di kalangan orang dewasa tetapi juga di kalangan anak-anak dan remaja. Dalam beberapa tahun terakhir saja, sudah banyak kasus viral yang berawal dari gangguan psikososial. Contohnya pada tahun 2022, ada kasus pelajar SMA yang diduga bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 18 Hotel Karebosi Premier Makassar. Tahun 2023, kembali terjadi kasus dugaan bunuh diri pelajar SMP di salah satu sekolah islam ternama di Makassar. Di tahun yang sama, seorang remaja juga ditemukan tewas gantung diri di kamar mandi rumahnya. Tidak hanya kasus bunuh diri, peristiwa penyerangan, penganiayaan, hingga pembunuhan berencana juga turut terjadi seperti pada tahun 2023 lalu, dua orang remaja tega membunuh bocah 11 tahun untuk memperoleh uang dalam jumlah besar dengan menjual organ tubuh si korban. Selain itu, di 2024 ini juga terdapat kasus cucu membunuh neneknya untuk menguasai harta korban. Tentunya, rentetan peristiwa naas di atas hanya sejumlah kecil dari banyaknya kasus kekerasan yang terjadi di Kota Makassar.
Kasus Kekerasan di Kota Makassar Tak Hanya Ditengarai Faktor Ekonomi, Tetapi Juga Lingkungan Keluarga
Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Makassar mencatat ratusan kasus tiap tahunnya yang jika diamati lebih lanjut, kasus kekerasan terhadap anak menduduki peringkat tertinggi jika dibandingkan jumlah kekerasan terhadap perempuan (laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Makassar tahun 2020-2024). Kasus tersebut termasuk kekerasan psikis, fisik, seksual, trafficking, penelantaran, eksploitasi, bullying, penculikan, penipuan/pencurian, hingga sajam (senjata tajam).
Dampaknya, korban kekerasan dapat mengalami gangguan psikis, fisik, hingga gangguan seksual seperti hilangnya rasa percaya diri, cemas berlebih, depresi, dan yang paling parah adalah korban juga berpotensi menjadi pelaku di kemudian hari. Hal ini dapat disimpulkan sebagai ‘lingkaran setan’ dari masalah psikososial.
Pada wawancara edunews.id dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kota Makassar, terdapat banyak faktor yang memicu terjadinya tindak kekerasan seperti faktor ekonomi, pendidikan, lingkungan pergaulan, teknologi informasi, dan keluarga. DPPPA Makassar sendiri saat ini tengah menggaungkan pentingnya ketahanan keluarga sebagai isu nasional.
“Banyak kasus yang kami temukan muaranya dari keluarga. Orang-orang yang melakukan kekerasan atau perbuatan menyimpang lainnya itu banyak yang karena masa kecilnya tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup dari keluarganya, atau karena keluarganya broken home, orang tuanya sibuk bertengkar, sibuk main HP atau sibuk bekerja sehingga dia diasuh oleh neneknya, tantenya, atau tetangganya. Selain itu masih banyak juga orang tua yang belum mengetahui parenting yang tepat. Justru juga, saat ini kekerasan paling banyak dilakukan oleh keluarga sendiri sehingga melanggengkan rantai kekerasan di unit terkecil dan itu terbawa ke masyarakat,” terang Kepala DPPPA Makassar, Achi Soleman, pada pertemuan di Kantor Lurah Ballaparang, Selasa (06/06/2023).
Shelter Warga Sebagai Gerakan Masyarakat Lawan Masalah Psikososial
Pemerintah Kota Makassar melalui DPPPA pada tahun 2016 menggagas Shelter Warga, yakni sebuah organisasi/gerakan berbasis masyarakat di level kelurahan untuk berpartisipasi terhadap pemenuhan hak anak, perlindungan, pencegahan serta pelayanan kasus bagi perempuan dan anak yang menjadi korban tindak kekerasan. Pengadaan Shelter Warga ini hingga tahun 2022 yang lalu menjadi satu-satunya dan yang pertama di Indonesia sebelum akhirnya mulai diadopsi oleh beberapa kota dan kabupaten, utamanya di pulau Sulawesi. Hingga Juli 2024 ini, sebanyak 91 dari 153 kelurahan di Kota Makassar telah memiliki Shelter Warga.
Meskipun awalnya Shelter Warga dibentuk khusus menangani kasus perempuan dan anak, fungsi ini mulai berkembang seiring dengan besarnya kepercayaan dan keterlibatan masyarakat di dalamnya. Para anggota shelter mulai diperhadapkan dengan banyak masalah sosial masyarakat seperti ‘cekcok’ antar tetangga, pencurian ayam, hingga masalah utang piutang warga yang menimbulkan pertengkaran. Tak hanya menangani kasus, shelter juga seringkali melakukan edukasi kepada masyarakat sekitar.
Shelter Kelurahan Pattingalloang, misalnya. Shelter ini aktif melakukan pendampingan, edukasi pola pikir, pelatihan atau pengembangan keterampilan serta pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat melalui kolaborasi mandiri yang dijalin dengan berbagai instansi. Nuraeni, Ketua Shelter Warga Pattingalloang mengatakan bahwa hal tersebut dilakukan karena kasus kekerasan diyakininya tidak berdiri sendiri.
“Kekerasan tidak berdiri sendiri dan tidak berakhir sendiri. Misalnya kami berusaha menyelesaikan masalah ekonomi dengan sumber daya lokal karena banyak sekali kasus KDRT juga disebabkan ekonomi yang lemah. Jadi shelter bukan cuma menangani kasusnya, tetapi kita juga mengubah orangnya. Memperbaiki anak korban kekerasan, begitu juga dengan orang tuanya. Shelter itu mengubah pola pikir, pendampingan berkesinambungan itu harus. Kalau tidak, kejadian serupa (kekerasan) akan terulang,” jelas Nuraeni saat mengikuti pembentukan Shelter Warga di Kelurahan Mario, Senin (7/8/2023).
Perkembangan fungsi Shelter Warga ini mengarah pada satu kesatuan utuh yang secara tidak langsung menghidupkan budaya Tudang Sipulung di tengah-tengah problematika kompleks masyarakat perkotaan. Tudang Sipulung ini secara umum diketahui sebagai tradisi masyarakat Bugis dan Makassar di Provinsi Sulawesi Selatan untuk bersama-sama membicarakan, merundingkan, dan memecahkan suatu masalah untuk mencapai kesepakatan melalui musyawarah.
Shelter Warga mempunyai kecenderungan menyelesaikan perkara di level terendah dengan anggapan banyaknya perkara ringan yang sebenarnya masih bisa ditangani oleh masyarakat bersama pemerintah setempat. Untuk itu, DPPPA Makassar seringkali menegaskan agar keanggotan shelter diisi oleh orang-orang yang memiliki kepedulian dan keikhlasan yang besar untuk bekerja. Shelter Warga juga diisi oleh unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, RT/RW, hingga Binmas dan Babinsa. Semua unsur tersebutlah yang nantinya akan duduk bersama untuk sebisa mungkin mencegah dan menangani masalah warga, utamanya kasus-kasus psikososial yang berujung kekerasan. Tentunya hal ini dilakukan dengan tetap berkoordinasi bersama Pemkot dan mitra lainnya jika sewaktu-waktu diperlukan.
Meski saat ini sikap “ikut campur dalam urusan rumah tangga orang lain” terbilang tabu, pihak DPPPA tetap mengimbau agar para anggota shelter tak luput memperhatikan masalah warga di wilayahnya.
“Kepoki’. Tetapki saling mencegah, saling mengingatkan. Banyak sekalimi sekarang orang tua pukul anaknya karena dia menganggap anaknya itu miliknya dan bebas mau diapai. Jangan sampai itu menghalangi kita. Upayakan dicegah dengan pendekatan-pendekatan khusus. Jadi kalau ada masalah di wilayah, panggil ketua RT, ketua RW, Binmas, Babinsa, sama-samaki’ selesaikan. Kalau tidak bisa, baru dirujuk,” ucap Kepala Bidang Perlindungan Perempuan DPPPA Makassar, Hapidah Djalante, dalam peningkatan kapasitas Shelter Warga di Hotel Ibis Style, Kamis (14/9/2023).
Hapidah juga mengingatkan agar Shelter Warga bersama masyarakat bahu membahu memperhatikan anak-anak di wilayahnya. Hal ini sesuai program Walikota Makassar Jagai Anakta’.
“Jadi anakta’ itu bukan cuma yang kita lahirkan, tapi anaknya tetanggata’, itu juga anakta’. Kalau adami kita lihat aneh-aneh kelakuannya, sering pulang malam, sering pergi tidak tahu dimana, atau bahkan ada yang putus sekolah, segeraki’ koordinasikan,” tegasnya.
Spirit Tudang Sipulung yang dibawa oleh Shelter Warga juga terlihat dari pelibatan Forum Anak Kelurahan (FAK) sebagai salah satu unit dalam struktur organisasinya. FAK ini menjadi perpanjangan tangan untuk lebih menjangkau anak-anak sehingga terlindungi dari kekerasan dan terpenuhi haknya. Ada pula unit Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) sebagai layanan psikososial yang menyediakan tenaga ahli untuk mendengarkan dan mencarikan solusi bagi warga yang memiliki masalah, seperti edukasi untuk mencegah pernikahan usia anak, edukasi parenting, dsb. Bahkan, pihak DPPPA juga menegaskan bahwa Shelter Warga akan terus dilatih untuk berjejaring sehingga memudahkan shelter dalam penanganan kasus.
Tantangan
Setelah berjalan kurang lebih 1 windu, Program Shelter Warga memiliki berbagai tantangan. Pertama, kualitas SDM yang dipengaruhi banyak faktor, salah satunya anggaran. Seperti dikutip dari edunews.id, hingga tahun 2023 lalu anggaran Shelter Warga hanya sekira Rp 600.000. Hal tersebut diungkapkan Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota Makassar, Kasrudi, pada Sosialisasi Shelter Warga di Kel. Panaikang Kec. Panakkukang. Jumat (11/8/2023). Jumlah tersebut dinilainya sangat kecil, sedangkan operasional Shelter termasuk rujukan dan mediasi kasus saja sudah menelan banyak biaya.
Meski Komisi D berjanji untuk memperjuangkan kenaikan anggaran, Pemkot bersama shelter juga perlu memikirkan langkah taktis lain untuk dapat menjalankan program ini. Shelter Warga Pattingalloang yang telah lebih dahulu melakukan pemberdayaan ekonomi lokal dan kemitraan dapat dijadikan inspirasi oleh shelter lainnya. Terbukti Shelter Pattingalloang sejauh ini bahkan dapat melakukan studi banding dan kegiatan lainnya sebagai bentuk motivasi dan pendampingan untuk para korban kekerasan.
Tantangan lainnya adalah mekanisme evaluasi Shelter Warga. Meski dalam beberapa kesempatan DPPPA telah melakukan evaluasi melalui jajak survei atau kuisioner oleh perwakilan masyarakat, hingga saat ini belum ada mekanisme utuh yang dapat dijadikan rujukan untuk evaluasi yang berkesinambungan. Hal ini penting dipikirkan mengingat perjalanan Shelter Warga sebagai gerakan masyarakat yang direncanakan untuk berkesinambungan. Semakin naiknya pamor Shelter Warga juga mengharuskan peningkatan kapasitas yang tepat sasaran.
Terakhir, Pemkot Makassar perlu memikirkan agar Shelter Warga tetap merakyat. Kedekatan shelter dengan warga serta bervariasinya masalah sosial yang dilaporkan ke shelter tak dipungkiri dapat dimanfaatkan secara salah oleh oknum yang ingin bermanuver dalam dunia politik. Bahkan tak heran jika banyak orang yang tidak berkapasitas ingin turut serta berkecimpung di Shelter Warga untuk sekedar melanggengkan dominasi kelompok dan menciptakan previlege untuk kepentingannya sendiri.
“Jangan ada kepentingan ini, kepentingan itu. Saya tidak arahkan ke situ (berpolitik). Saya juga sampaikan bahwa biarlah orang berpolitik, tapi kita (shelter) jangan. Kita fokusnya pada kasus,” tegas Kepala Bidang Perlindungan Perempuan DPPPA Makassar, Hapidah Djalante, dalam peningkatan kapasitas Shelter Warga di Hotel Royal Bay, Rabu (8/9/2023).
