JAKARTA, EDUNEWS.ID – Di dunia urban, kerap kita mendengar problematika seputar anak-anak ‘zaman sekarang’ yang semakin kecanduan internet dan piranti komunikasi pintar. Namun, pernahkah kita berpikir; tidak semua anak ‘zaman sekarang’ bahkan pernah menyentuh gadget ?
Boro-boro kecanduan internet, berbahasa Indonesia saja mereka tidak bisa. Itu adalah realitas yang terjadi di berbagai pelosok Tanah Air. Setidaknya gambaran itu dijumpai pada mayoritas masyarakat yang hidup di pedalaman pulau besar paling timur Nusantara, Papua.
Di balik lebatnya rimba Bumi Cendrawasih, masih banyak dusun kecil yang tidak bisa dijangkau transportasi darat maupun udara. Tak hanya itu, sebagian besar dari perkampungan-perkampungan mikro itu putus koneksi antara satu dengan lainnya.
Praktis, sekitar 1,5 juta penduduk dusun-dusun pedalaman itu masih hidup dengan pola primitif, tanpa terjamah fasilitas medis, pendidikan, dan bahkan pengenalam terhadap ajaran agama. Banyak dari mereka yang masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.
Kondisi keterbelakangan itu tentu saja memengaruhi anak-anak yang lahir dan dibesarkan di sana. Sebagian besar dari mereka hanya bisa berkomunikasi dalam bahasa kesukuan. Tak heran, Papua mendominasi 400 dari sekitar 700 bahasa daerah yang berkembang di Indonesia.
Sebenarnya, pemerintah sudah berupaya membuka akses pendidikan di desa-desa terpencil Papua dengan mendirikan sekolah-sekolah negeri. Sayangnya, 90% dari guru-guru di sekolah itu hanya muncul dan melaksanakan tugasnya selama satu hingga dua bulan dalam setahun.
Saat ujian, kebanyakan guru kedapatan hanya memberikan lembar jawaban kepada muridnya agar mereka sekadar menerima sertifikat kelulusan. Akibatnya, banyak anak Papua lulus sekolah, tapi tidak mengantongi pengetahuan dan hanya bisa berhitung angka ‘1 sampai 3’.
Keprihatinan itu menggerakkan hati sebagian sukarelawan untuk menerobos akses pendidikan di pedalaman Papua. Dari ribuan desa terpencil di sana, 200 di antaranya dibidik program Misssion Aviation Fellowship (MAF), termasuk di Mamit, Daboto, dan Karubaga.
Namun, memperkenalkan dunia pendidikan modern kepada anak-anak yang terbiasa hidup primitif di hutan pegunungan adalah tantangan yang luar biasa berat. Hal itu dirasakan oleh salah satu sukarealawan dari Yayasan Pendidikan Harapan Papua (YPHP), Wahyu Soraya.
Dia menceritakan perjuangan membuka akses pendidikan di pedalaman Papua dimulai dari Desa Mamit pada 2013. Mamit adalah sebuah perdesaan yang terselubung di areal pegunungan Jayawijaya, dan bisa ditempuh melalui jalur udara selama 1 jam dari Sentani.
Saat pertama kali ke Mamit, lanjutnya, kebanyakan anak di sana berpenampilan kotor dan lusuh tanpa sepatu dan dengan ingus mengalir dari hidung. Mereka tidak tahu soal kebersihan dan sanitasi. Mereka hanya tahu warna hitam dan putih dan tidak mengenal angka.
“Mereka tidak bisa berbahasa Indonesia. Susah diajak berkomunikasi. Kalau hari ini kami beri seragam, buku, dan alat tulis; besoknya mereka menghilangkan semuanya itu. Jadi awalnya, bahkan kami yang harus menyimpan buku dan mencucikan seragam mereka,” ujarnya.
Tidak ada dokter di desa mereka, dan listrik hanya mengaliri 1 atau 2 rumah di Mamit. Namun, Wahyu mengatakan saat ini anak-anak itu sudah bisa memakai seragam sendiri, bisa mandi, menggosok gigi, mencuci tangan dan rambut, serta belajar menggunakan toilet.
“Mereka juga sudah mulai mengenal aneka ragam warna, belajar berhitung, berbicara dalam bahasa Indonesia, bahkan bernyanyi dalam bahasa Inggris. Kami juga mendatangkan dokter dan perawat, serta membantu akses listrik melalui panel surya,” jelasnya.
Pada awalnya, hanya ada 3 orang guru dari YPHP yang diterbangkan ke Mamit untuk merintis sekolah bernama Lentera Harapan. Pada 2014, muridnya hanya 35 orang, tetapi tahun ini jumlahnya sudah mencapai 116 siswa. Tahun depan, targetnya adalah 165 murid.
“Tahun ini, kami menargetkan ada 60 siswa baru di tingkat TK hingga SD kelas 1. Jumlah gurunya saat ini sudah 11 orang. Mereka adalah lokomotif untuk mendorong anak-anak itu belajar, bertumbuh, dan berkembang. Tidak hanya sebagai guru, mereka harus berperan sebagai caregiver, pembimbing spiritual, dan perawat di saat sakit,” kata Wahyu
Setelah Mamit, pada Juli dan Agustus tahun ini, upaya serupa juga dilakukan di Desa Daboto dan Karubaga. Di Daboto terdapat 4 guru dengan 44 siswa setingkat TK dan SD kelas 1, sedangkan di Karubaga terdapat 3 guru dengan 45 murid.
Ketua YPHP Aileen Hambali Riady berpendapat jika semata-mata menunggu bantuan dari pemerintah, upaya percepatan akses pendidikan di pelosok Papua akan semakin tersendat. Meskipun demikian, dia mengaku sangat sulit melakukan pendekatan kepada warga setempat.
“Mereka masih menganggap segala sesuatu yang bersifat asing atau tidak baik adalah roh jahat. Bahkan, saat ada anak yang terlahir dengan bibir sumbing; anak itu bisa dibunuh karena dianggap berasal dari roh jahat. Itu semua akibat minimnya pendidikan,” ujarnya.
Untuk mengubah stigma soal roh jahat itu, pembangunan manusia tidak hanya dilakukan melalui pendidikan anak-anak. Menurut Aileen, akses pendidikan harus juga dibarengi dengan sistem kesehatan, fasilitas listrik, agrikultur dan peternakan, serta konektivitas.
Dia mengungkapkan dana yang dibutuhkan untuk menyokong program pendidikan di Mamit, Daboto, dan Karubaga mencapai US$450.000 atau sekitar Rp6 miliar. Sebab, untuk mendirikan satu ruang kelas saja dibutuhkan biaya US$15.000 atau sekitar Rp200 juta.
“Biaya itu memang sangat mahal, tetapi itu adalah cara untuk membangun sarana edukasi formal pertama bagi banyak anak-anak di pelosok Papua, agar mereka bisa mengakses dunia luar dengan berbagai peluang yang tak terbatas,” kata Aileen.
Lalu, di mana posisi dan peran pemerintah untuk pendidikan di Papua? Apakah pemerintah hanya tutup mata dan melimpahkan tugasnya ke pihak swasta? Pertengahan tahun ini, Kementerian Pendidikan sebenarnya sudah mencangangkan program pendidikan Papua.
Salah satu caranya adalah dengan menggandeng 52 perusahaan yang memiliki program corporate social responsibilities (CSR) di bidang pendidikan di Papua. Hal itu sekaligus untuk menjawab tantangan rendahnya anggaran untuk pendidikan di Papua.
Pada 2015, dari Rp11,94 triliun nilai APBD Papua, hanya Rp100 miliar (0,84%) yang dialirkan ke sektor pendidikan. Dari alokasi itu, setiap siswa hanya mendapatkan dana pendidikan senilai Rp165.400/tahun dari pemerintah provinsinya.
Berdasarkan Neraca Pendidikan Daerah 2015, di Papua terdapat 7.628 ruang kelas rusak di tingkat SD dan 300 kelas yang tidak bisa dipakai. Di tingkat SMP ada 2.246 kelas rusak dan 300 tidak bisa dipakai, dan di tingkat SMA terdapat 1.158 kelas rusak.
Kemendikbud juga mencatat di Papua terdapat 43% anak yang tidak mengenyam pendidikan SD, 58% tidak masuk bangku SMP, dan 64% tidak menerima pendidikan SMA. Adapun, warga tuna aksara di Papua pada 2014 menembus 584.441.
Angka itu setara dengan prevalensi 28,61%. Itupun hanya yang terdata oleh Kemendikbud. Prevalensi itu sangat jauh jika dibandingkan dengan tingkat buta huruf di DKI Jakarta, yang hanya 0,70% pada tahun yang sama.
Pemerintahan Jokowi-JK juga sebenarnya juga punya program Guru Garis Depan, yaitu mobilisasi 3.500 tenaga pengajar untuk daerah terpencil; khususnya di Papua dan Papua Barat. Toh, solusi itu belum mampu menjawab masalah ketimpangan akses pendidikan.
Sudah bukan saatnya menyalahkan kondisi geografis Papua sebagai justifikasi ketimpangan akses pendidikan di sana. Akses yang sulit dan tantangan sosiokultural yang berat jangan lagi dijadikan dalih untuk tidak menjangkau anak-anak di Bumi Cendrawasih.
Dibutuhkan upaya lebih keras untuk memberikan hak anak Papua memperoleh pendidikan, sebagaimana dijamin pasal 60 ayat (1) UU No.39/1999 tentang Hak Asazi Manusia. Seperti kata Aristoteles, “Akar dari pendidikan memang pahit, tetapi buahnya akan terasa manis.”