JAKARTA, EDUNEWS.id— Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Efendy beberapa hari yang lalu mengungkapkan rencana pemberlakuan sekolah satu hari full atau ‘full day school’ bagi siswa. Kebijakan tersebut pun menuai pro dan kontra dari berbagai elemen masyarakat.
Anggota Komisi X DPR RI yang menangani bidang pendidikan. Reni Marlinawati pun angkat bicara terkait rencana Mendikbud yang ingin menerapkan sekolah ‘full day’
Politisi PPP ini mengungkapkan, wacana sekolah Full Day yang disuarakan Mendikbud Muhadjir Effendi harus dikaji dengan matang dan melalui pertimbangan atas dampak yang akan muncul.
“Karena jika “Full Day” harus dipertimbangkan matang di antaranya soal guru,” katanya dalam keterangan yang diterima edunews, Selasa (9/8/2016).
Menurut Reni, semakin lama guru di sekolah maka semakin sedikit melakukan evaluasi belajar serta semakin sedikit waktu untuk merencanakan program pembelajaran di hari berikutnya.
“Saya tidak bisa membayangkan, alangkah repotnya guru-guru tersebut. Berangkat pagi, pulang jam 18.00 sore. Sampai di rumah sudah sangat capek belum lagi memeriksa tugas anak-anak dan menyiapkan rencana pembelajaran hari berikutnya,” tuturnya.
Selain itu, Reni juga mengungkapkan, berbagai persiapan terkait rencana tersebut mestinya menjadi bahan acuan dan kajian Kemdikbud.
“Bagaimana dengan ketersediaan fasilitas sekolah untuk menunjang program full day? Seperti fasilitas olahraga, fasilitas tempat mengaji dan fasilitas penunjang untuk program full day lainnya,” ungkapnya.
Pertanyaannya, apakah semua sekolah memiliki fasilitas yang memadai walaupun itu di sekolah negeri?
“Bahkan di dapil saya masih ada SDN lantainya masih dari tanah. Hal-hal teknis seperti ini terkait dengan ketersediaan fasilitas untuk program Full Day akan menjadi persoalan serius,” ujarnya.
Ide ini juga menyederhanakan persoalan bahwa seolah-olah orang tua anak di Indonesia yang bekerja sepulang bekerja bisa jemput anaknya. Kalau di kampung hal tersebut relatif mudah.
“Namun di kota besar seperti di Jakarta kemacetan yang luar biasa. Saat berangkat kerja bebarengan dengan jadwal masuk sekolah macetnya luar biasa. Apalagi saat pulang kantor yang bebarengan dengan menjemput anak, tentu macetnya makin luar biasa,” katanya.
Namun jika di Kampung orang tua jauh lebih banyak waktu untuk mendidik anak. Saya kira wacana “Full Day” ini dalam perspektif metroplitan.
“Saya sebagai umat Islam tentu senang, bila program “Full Day” ada alokasi untuk belajar mengaji,” katanya.
Namun masalahnya anak sekolah tidak hanya dari masyarakat muslim. Itu juga harus menjadi bahan pertimbangan. Argumentasi mengaji di sekolah untuk menangkal faham radikalisme, hal tersebut merupakan simplifikasi terhadap persoalan.
“Saya kira harus ada kajian dan penelitian tentang semakin banyak anak mendapat pelajaran di sekolah apakah kelak saat lulus sekolah akan menjadi anak yang kompeten, mandiri, adaptif terhadap perkembangan zaman?,” tambahnya.
Keberhasilan anak bukan terletak seberapa besar nilai yang diraih namun bagaimana anak memiliki sikap percaya diri, keberanian serta adaptif terhadap lingkungan. Harus diingat, anak memiliki 3 lingkungan yakni di rumah, sekolah dan masyarakat. Kalau anak hanya hidup di lingkungan rumah dan sekolah sedangkan lingkungan masyarakat sedikit tentu akan merepotkan bagi anak. Karena kelak anak-anak lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan masyarakat. Intinya, jangan menyimpulkan anak kelak akan berhasil kalau menerima banyak pelajaran. Namun bagaimana menanamkan kepada anak tentang keberanian hingga mampu beradaptasi melakukan kreativitas.
“Wacana program “Full Day” oleh Mendikbud jika akan diwujudkan dengan kebijakan harus hati-hati dan dengan melalui kajian yang mendalam. Yang harus dicatat, kita tidak bisa membandingkan Indonesia dengan negara maju yang secara geografis lebih mudah dan aksesibilitasnya juga lebih mudah. Yang paling penting dilakukan Mendikbud tak lain kebijakan lama yang baik untul lebih ditingkatkan,” tutupnya.