JAKARTA, EDUNEWS.ID – Anggota Komisi X DPR Arzetty Bilbina Setyawan menginginkan agar Undang-undang No 20 Tahun 2013 tetang Pendidikan Kedokteran (UU Dikdok) agar tetap dijalankan. Termasuk amanat UU ini terkait pelaksanaan Program Studi Dokter Layanan Primer (DLP). Pasalnya, pelaksanaan Prodi DLP ini sempat menimbulkan pro kontra.
“Kita harus menjalankan UU ini agar tidak mundur kembali. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi akan membuka Program Studi Dokter Layanan Primer. Kita ketahui, pada 1 Sepetember 2016 lalu, sebanyak 17 Fakultas Kedokteran (FK) menyetujui ini. Bahkan ada satu FK yang sudah menyiapkan kesediannya untuk DLP dan mereka memiliki kurikulum sesuai dengan standar kompetensi,” jelas Arzetty saat RDPU antara Panja Program Studi Dokter Layanan Primer (Prodi DLP) dengan pakar kedokteran, Senin (23/1/2017).
Arzetty mencoba merunut perjalanan pro kontra DLP ini. Pada Oktober 2016 lalu, ribuan dokter melakukan demo di Istana Presiden. Memang banyak faktor yang disampaikan dalam demo itu. Namun salah satunya terkait DLP.
“Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI), DLP itu hanya memperpanjang masa pendidikan kedokteran. Program tersebut juga bisa dikatakan tidak pro rakyat, karena selain menghabiskan anggaran, program itu dinilai tidak menyelesaikan permasalahan pada pelayanan kesehatan,” kisah Arzetty.
Bahkan kala itu, masih kata Arzetty, IDI juga menawarkan program pendidikan kedokteran berkelanjutan (P2KB), karena menolak program DLP. IDI juga sudah melakukan advokasi, agar Pemerintah memahami konsep P2KB itu.
“Tidak ada paksaan kepada dokter untuk mengikuti program DLP. Namun kita tahu, ada FK yang menjalankan prodi DLP, dan banyak juga pihak yang setuju dengan DLP, namun belum ada kesepatakatan. Kalau kita sama-sama melihat tujuan negara kita, tujuannya sama dan mulia yakni untuk menguatkan pelayanan kesehatan primer,” imbuh Arzetty.
Untuk itu, politisi asal dapil Jawa Timur itu berharap, konflik terkait DLP ini tidak perlu berlanjut lagi. Karena tujuannya adalah untuk kepentingan masyarakat, dan distribusi dokter di Indonesia agar bisa merata.
