Artikel

Akar Kekerasan Seksual di Kampus: Sebuah Tinjauan Kritis

Kekerasan seksual di kampus, khususnya yang menempatkan perempuan sebagai korban, terus terjadi. Kondisi kampus yang sibuk mengejar gelar, dan nilai administratif dan mengabaikan makna pendidikan tinggi, membuat kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan, apalagi jika dia merupakan seorang mahasiswa, menjadi kabur dan susah diselesaikan secara adil. Kasus kekerasan seksual, bagaikan fenomena gunung es. Yang terungkap di ruang publik, tidak lebih banyak dari yang masih tersebunyi.

Tentunya ini menjadi realitas yang sangat menakutkan, apabila kita memikirkan secara jernih, apa tujuan kita datang ke kampus, dan bagaimana harapan besar yang orang tua kita gantungkan, saat kita memilih untuk masuk ke perguruan tinggi. Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi dan melibatkan orang-orang kampus, menandakan bahwa ada sesuatu yang salah, yang membuat kampus berjalan jauh dari fungsinya: mencetak para cendekiawan, yang lahir dari kolega antara mahasiswa dan Dosen.

Bergesernya Fungsi Kampus

Kampus sejatinya adalah pusat peradaban sebuah bangsa. Aktifitasnya yang terus-terusan bergelut dengan masalah pengetahuan, membuat kampus dapat memberikan kritik dan masukan, sebagai upaya memajukan peradaban. Dari kampuslah, gagasan-gagasan tentang kemajuan, itu hadir dan terus mewarnai kehidupan masyarakat. Dalam berbagai Sejarah peradaban, produk intelektual dari kampus memiliki peran besar dalam mengubah zaman. Namun akhir-akhir ini, fungsi kampus mulai bergeser jauh. Tak ada lagi tradisi akademik yang berarti di dalamnya. Diskusi dan kegiatan-kegiatannya, hanya berkutat di ruang-ruang perkuliahan, yang seringkali angkuh dan tak mampu melahirkan perubahan yang berarti di masyarakat. Kasus korupsi dan nepotisme, tak lagi jarang kita dengar, terjadi di kampus. Bahkan sebagai mahasiswa, kita seringkali melihat, bagaimana dengan mudah, seseorang masuk menjadi tenaga pengajar, hanya bermodalkan kedekatan dengan pihak birokrasi. Ada juga para pengajar, yang nampaknya sudah sangat jauh dari tri dharma perguruan tinggi, serta keteladanan kepada mahasiswa. Mereka adalah para Dosen senior. Apalagi jika ia memiliki jabatan penting, dan kedekatan dengan pimpinan kampus.

Sejak awal kampus dibangun, ada harapan besar untuk melahirkan gagasan-gagasan segar yang berarti bagi perubahan. Gagasan berkualitas, hadir dari nuansa akademik yang adil, antara Dosen dan Mahasiswanya. Dosen dituntut untuk memberikan pembelajaran yang berkualitas, termasuk keteladanan. Sedangkan mahasiswa, terus menimba ilmu dengan gigih. Mahasiswa yang memiliki etos belajar yang baik, akan mendorong suasana perkuliahan yang berkualitas, yang akan berujung pada perkembangan kualitas belajar baik mahasiswa dan Dosennya.

Realitas hari ini, sungguh sangat jauh dari cita-cita ideal, kampus hadir di tengah masyarakat. Relasinya mulai timpang, untuk tidak dibilang sangat berat kepada para Dosen. Mereka tidak lagi memposisikan diri sebagai para ilmuan, yang bertanggung jawab atas pengetahuannya. Sangat mudah, kita untuk mendapati para Dosen yang sudah jarang terlibat dalam aktivitas literasi, dan riset-riset pengembangan kualitas keilmuan. Mereka malah sibuk dengan persoalan administrasi, dan simbol-simbol kolot yang menjadi mitos dalam dunia akademik. Karenannya, makna pendidikan tinggi menjadi kabur. Akhirnya ketika Dosen seperti ini, ketemu dengan mahasiwa yang aktif dalam kegiatan literasi dan organisasi, ia dengan mudah mendapatkan tanggapan tajam dari mahasiswa. Ketika tak mampu menjawab dengan baik, maka arogansi dan tekanan kekuasaan, menjadi jalan yang umumnya digunakan oleh para Dosen. Kondisi inilah yang membuat banyak mahasiswa, lebih memilih bungkam dibangdingkan bersuara.

Baca Juga :   Peran Pendidikan Keluarga dalam Membentuk Karakter Anak: Fondasi Kuat Menuju Masa Depan yang Berarti

Pembungkaman seperti ini, juga terjadi dalam kasus kekerasan seksual. Tentu orang yang pertama harus disalahkan, adalah pelaku yang tidak tuntas dengan dirinya sendiri, namun berhasil melenggang bebas di dunia perguruan tinggi, yang begitu bermartabat. Relasi kuasa yang sangat besar, dan seringkali tidak terkontrol, sangat melemahkan posisi mahasiswa dalam menjernihkan mana yang menjadi haknya. Sehingga, tak jarang banyak hak mahasiswa yang dieksploitasi, termasuk tubuh dan seksualitasnya.

Menanti kesadaran

Bergesernya fungsi kampus, sangat berimbas pada pola pikir mahasiswa. Relasi kuasa yang timpang, membuat mahasiswa hidup dalam kepatuhan dan keseragaman sedemikian rupa, sehingga sangat mudah dikontrol. Termasuk kesadaran. Mahasiswa bebas melakukan apa saja, bergabung di organisasi apa saja, dan membuat kegiatan apa saja. Tapi, jangan sampai bersinggungan atau bahkan menabrak kekuasaan, seperti Dosen dan birokrasi kampus. Kenapa seperti itu? Karena disanalah kesadaran itu ditemukan. Mahasiswa akan benar-benar sadar secara kritis, apabila mengetahui dengan jernih apa yang sebenarnya terjadi di kampus. Bagaimana sebenarnya haknya sebagai mahasiwa, dan kewajiban kampus terwujud, atau tidak. Namun sayangnya, tidak demikian. Tak perduli sebanyak apa mahasiswa itu bergelut dengan dunia organisasi dan diskusi. Ia takut berhadapan dengan kekuasaan. Relasi kuasa yang dimiliki birokrasi kampus, membuatnya tak mau mencari masalah, meski melihat secara langsung, bagaimana ketidak adilan terjadi.

Sangat sulit menemukan mahasiswa yang menumbuhkan kesadaran kritisnya dengan baik, dalam kondisi kampus yang tidak sehat. Jika bukan karena ativitas mahasiswa dalam organisasi yang progresif, mungkin harapan kita untuk dapat melihat mahasiswa yang kritis dan berani, adalah hal yang mustahil. Padahal keberanian untuk mengatakan “tidak”, meskipun itu mengganggu birokrasi kampus, adalah bagian dari pembelajaran mahasiswa, bahwa ia harus jujur dalam pengetahuannya.

Sayangnya, kesadaran seperti ini tidak, dan bahkan sulit diperoleh mahasiswa. Ia tidak menyadari, bahwa dirinya menjadi korban kekerasan seksual. Seorang mahasiswa akan berpikir berulang kali, ketika mengetahui dirinya menjadi korban kekerasan seksual. Mengapa? Yah kerena situasi kampus, yang tak banyak memberikannya harapan, untuk sekedar mendapatkan kebijakan adil dari birokrasi kampus. Bayang-bayang intimidasi pun mengintari pikirannya, membuatnya merasa tak perlu mempersoalkan kekerasan seksual lebih besar lagi. Maka jangan heran, kenapa sampai dengan saat ini, masih sangat sulit kita menemukan ada perempuan sebagai mahasiswa, yang berani bersuara secara lantang dan terbuka, tentang perilaku buruk di dunia kampus. Ketakutan berhadapan dengan pihak kampus, dan bayang-bayang menjaga nama baik instansi, membuatnya tak mampu berbuat apa-apa, selain bersabar dan memaki didalam hati.

Baca Juga :   Peran Pendidikan Keluarga dalam Membentuk Karakter Anak: Fondasi Kuat Menuju Masa Depan yang Berarti

Kesadaran menjadi hal yang mahal, dalam kondisi kampus yang tidak sehat nuansa akademisnya. Dosen yang salah, malah mencari berbagai macam cara untuk bisa dianggap benar, dan terlepas dari hukuman berat yang menantinya. Kampus harus menghadirkan suasana akademis yang sehat. Caranya, dengan mendorong mahasiswanya untuk terbiasa berani berkata benar, dan melawan ketika terjadi ketidak adilan. Bukankan itu merupakan makna dari ilmu pengetahuan, yang mejadi amunisi terbesar yang hanya dimiliki oleh kampus? Jika sudah demikian, maka kesadaran mahasiswa akan menjadi hal yang pasti terwujud.

Relasi yang tidak setara

Suasana kampus seharusnya memberikan kondisi yang setara, khususnya saat berhadapan dengan nuansa akademik. Dosen dan mahasiswa adalah kolega, yang sama-sama bertanggung jawab membangun iklim demokrasi intelektual yang berkualitas, untuk bisa menghasilkan produk ilmu pengetahuan yang bermutu. Jika tidak, maka mustahil kualitas intelektual mahasiswa terwujud dengan baik. Alhasil, kesadaran kritis hanya seperti angan-angan, yang sulit digapai oleh mahasiswa.

Akhir-akhir ini, kampus malah berkutat pada hal-hal teknis, yang bertujuan untuk mengatur mahasiswa agar disiplin. Kampus mengecilkan perannya sebagai lumbung gagasan peradaban bangsa, dan malah sibuk mengurus persoalan teknis seperti ini. Kita dengan mudah melihat spanduk besar, berisi aturan cara mengirim pesan Whatsapp kepada mahasiswa, atau aturan berpakaian dan tidak berambut gondorong. Bahkan beberapa diantaranya tidak terpampang secara umum, namun dilaksanakan di ruang-ruang tertutup, seperti pungutan liar, intimidasi dan sebagainya. Dibalik itu, Dosen dengan mudah dapat bersikap tidak disiplin, jarang membaca, mudah mengganti jadwal kuliah dan berbagai perilaku seekanya saja. Dosen tak perlu berpikir panjang, untuk segera melakukan kebijakan yang dapat merubah model perkuliahan. Ia tahu, bahwa mahasiswa tak mampu melawan. Kenapa? Karena relasi yang tidak setara inilah. Maka kekerasan seksual, sama seperti penindasan dan ketidak adilan yang umumnya terjadi di dunia kampus.

Aturan yang kaku dan ketat, hanya dihadirkan untuk mengontrol mahasiswa. Membuat mahasiswa terbiasa hidup dalam kepatuhan, dan keseragaman. Disisi lain, hampir tak ada aturan yang berarti kepada dosen, yang bertanggung jawab mendidik mahasiswanya. Aturan yang ketat, dari model berpikir hingga berpenampilan, ditambah dengan relasi kekuasaan yang besar dimiliki oleh Dosen, membuatnya bisa dengan mudah menyalahgunakan wewenangnya sebagai tenaga pengajar. Kita dengan mudah menemukan, penyalahgunaan wewenang seperti ini, ada dalam alur cerita kekerasan seksual di kampus. Misalnya mahasiswa yang mengantar tugas, sudah diluar wilayah dan jam operasional kampus, hingga kebijakan-kebijakan dosen yang merubah ketetentuan perkuliahan seenaknya. Dengan sistem seperti ini, siapa saja bisa tergoda untuk berperilaku tercela. Seseorang yang mempunyai niat buruk, bertemu dengan sistem yang mudah diakali, ditambah dengan mahasiswa yang sudah terbiasa menjadi penakut dan patuh dalam segala hal, adalah resep yang murajarab untuk melakukan keburukan. Termasuk pelecehan seksual. Kampus tak memberikan rasa aman kepada mahasiswanya. Tak ada sistem pelaporan yang baik, dan menjamin terlindunginya korban dan saksi, yang melaporkan masalah di dunia kampus. Beberapa Dosen yang kerapkali menjadi tempat berkeluh kesah mahasiswa, malah mendiamkan masalah yang ia ketahui, dan memilih tidak ikut campur agar posisinya dikampus tetap tenang dan terjamin.

Baca Juga :   Peran Pendidikan Keluarga dalam Membentuk Karakter Anak: Fondasi Kuat Menuju Masa Depan yang Berarti

Menanti Keberanian

Ujung dari segala ketimpangan, dan ketidakbecusan kampus dalam menangani kekerasan seksual yang menimpa mahasiswanya adalah ketimpanan relasi, dan jauhnya kesetaraan antara Dosen dan mahasiswa, dalam nuansa akademik. Slogan kampus sebagai wahana kebebasan akademik, nampaknya semakin jauh dan mendekati janji palsu.

Mahasiswa perlu kembali mengisi ruang oposisi, dan menjalankan fungsinya sebagai entitas yang menyeimbangkan serta mengawasi jalannya birokrasi kampus. Mahasiswa harus membangun kembali, semangat keberanian untuk melawan ketidakadilan dan perampasan hak yang muncul, akibat relasi kuasa birokrasi kampus yang terus menguat, tanpa adanya kontrol yang berarti. Apalagi jika kampus sudah menjadi perguruan tingggi berbadan hukum (PTNBH), sungguh kebebasan untuk menentukan kebijakan semau gue bisa dengan mudah dilakukan. Mahasiswa penakut, dan jauh dari kesadaran kritis, menjadi resep sempurna, untuk terus menjalankan penindasan dan ketidakadilan.

Penulis melihat, bahwa kekerasan seksual adalah salah satu imbas perampasan hak, yang selama ini terjadi di dunia kampus, yang tidak sehat iklim intelektualitasnya. Seharusnya kondisi ini sudah diketahaui dengan baik oleh mahasiswa. Namun anehnya, mereka malah sibuk dengan persoalan sepele, yang dapat memecah belah solidaritas mahasiswa. Padahal, solidaritas adalah kekuatan besar, yang membuat nama mahasiswa berarti di negeri ini. Perhelatan BEM, konsolidasi menguasai organisasi internal, hingga perpeloncoan antar angkatan, lebih disukai oleh mahasiswa hari ini. Padahal itu semua merupakan produk rezim otoriter Soeharto, yang sering mereka caci maki dalam materi sejarah gerakan mahasiswa. Sebuah materi yang terus menjadi doktrin perjuangan mahasiswa. Tanpa sadar, mereka sedang berada dalam kungkungan rezim tersebut.

Bergesernya fungsi kampus, juga membuat fungsi mahasiswa bergeser sangat jauh. Mahasiswa yang dulunya sibuk mengadvokasi hak dan keadilan, kini malah sibuk terpecah belah dengan produk politik orde baru, yang berwujud pada kehadiran organisasi internal kampus. Tak ada yang bisa diharapkan, selain sadar dan fokus pada masalah besar yang mendera mahasiswa di negeri ini.

Kemenangan adalah hadiah bagi siapapun yang ingin berjuang. Mahasiswa memiliki latar belakang perjuangan besar, yang membawanya menjadi bagian pentin dalam perubahan bangsa ini. Keberanian untuk melawan kekuasaan yang sewenang-wenang, adalah ujung dari berbagai aktivitas organisasi dan kegiatan diskusi yang kita lakukan. Wujudkanlah kesadaran dengan aktif berorganisasi. Jujurlah dalam mengamalkan pengetahuan, dan rangkulah solidaritas bersama. Karena hanya dengan itulah, relasi kuasa di kampus, yang terus berakumulasi, memiliki lawan yang berarti.

“Jika solidaritas adalah senjata, mari kita kokang bersama”

 

Penulis: Rivaldi Hapili.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kerjasama dan Mitra silakan menghubungi 085171117123

ALAMAT

  • Branch Office : Gedung Graha Pena Lt 5 – Regus – 520 Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Pampang, Makassar Sulawesi Selatan 90234
  • Head Office : Plaza Aminta Lt 5 – Blackvox – 504 Jl. TB Simatupang Kav. 10 RT.6/14 Pondok Pinang Kebayoran Lama, Jakarta Selatan 12310. Telepon : 0411 366 2154 – 0851-71117-123

 

To Top
WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com