Literasi

Menyoal Penundaan Pemilu 2024

Foto Ilustrasi Pemilu 2024 / sumber foto : Riaupos

Oleh Akbar*

OPINI, EDUNEWS.ID-Wacana penambahan masa jabatan presiden melalui penundaan Pemilu 2024 kembali dimunculkan. Meskipun beberapa kali gagal, namun kini harus kita waspadai, mengingat kebijakan pemerintah belakangan ini cenderung sepihak serta banyak dilakukan dengan senyap oleh para elit politik.

Mewaspadai ‘Operasi’ Elit Politik

Derasnya wacana penundaan pemilu 2024, harus dibaca sebagai bentuk konsolidasi politik istana yang sistematis, terstruktur dan massif. Relasi kuasa yang telah terjalin diantara mereka, memberi sinyal kepada kita bahwa para elit politik sementara menjalankan sebuah agenda besar untuk berkuasa lebih lama.

Operasi elit politik ini ditandai dengan komunikasi publik yang dilakukan oleh beberapa ketua partai, menteri dan berbagai ormas. Berbagai alasan pun dirangkai dan dipoles sedemikian rupa agar penundaan pemilu 2024 dapat diterima, mulai dari alasan pandemi covid 19, survei kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi, aspirasi-aspirasi berbagai kelompok masyarakat hingga klaim Big data oleh salah satu menteri Jokowi. Lalu bagaimana jika operasi elit politik ini berhasil?

Yogi Timor Ardani, kolumnis LSF Discourse dalam tulisannya mengatakan bahwa dalam sebuah negara demokrasi, mayoritas memiliki kecendrungan tinggi untuk memiliki kekuasaan yang tak terbatas. Dengan begitu, operasi politik untuk menunda pemilu 2024 akan mengarah pada praktik abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan). Sederhananya, mereka menggunakan kekuasaannya untuk menunda pemilu 2024. Hal ini mengakibatkan kepentingan publik tidak lagi menjadi prioritas, sehingga akan mengarah pada praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) hingga upaya memanipulasi pemilu berikutnya.

Padahal mayoritas hasil Survei menolak Penundaan Pemilu 2024 atau perpanjangan masa jabatan presiden. Survei Lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan bahwa dari 1.072 responden, sebanyak 74% menolak pemilu ditunda. Survei lembaga Fixpoll menunjukkan bahwa dari 1.240 responden sebanyak 57,5% juga menolak. Hasil survei Center for Indonesia Strategic Actions (CISA) juga menunjukkan 58,25% responden menolak penundaan Pemilu 2024.

Meski begitu, kita semestinya banyak belajar dari berbagai peristiwa penting sebelumnya, misalnya UU KPK dan UU Omnibus Law yang tetap disahkan walaupun mendapat penolakan besar masyarakat.

Pelecehan Konstitusi

Kelompok yang sepakat dengan penundaan Pemilu 2024 memandang persoalan ini sebagai bagian dari Nilai-nilai Demokrasi. Penundaan Pemilu 2024 dinilai sah-sah saja asal melalui prosedur hukum dengan mengamandemen Konstitusi. Artinya, atas nama demokrasi, penundaan pemilu 2024 harus kita terima. Dari sinilah penulis menyadari, bahwa sistem demokrasi yang kita anut selama ini, juga memiliki sisi kelemahan. Demokrasi dapat menjadi alat legalitas elit politik untuk melanggengkan kekuasaannya.

Penundaan Pemilu 2024 atau memperpanjang masa jabatan presiden berkedok ‘menjalankan nilai-nilai demokrasi’, seharusnya ditanggapi dengan serius. Kita harus memahami, penundaan pemilu 2024 tidak hanya memberikan keuntungan secara ekonomi politik terhadap Presiden, tetapi juga akan dimanfaatkan oleh elit-elit lainnya, termasuk penghuni Senayan hingga elit politik yang ada di daerah-daerah seluruh Indonesia.

Jika penundaan pemilu 2024 terealisasi atas nama demokrasi, maka di momentum inilah Demokrasi ‘terlecehkan’. Saat ini kita berada dalam situasi yang sulit, dimana Konsitusi diamandemen sesuai ‘pesanan’ atau permintaan para elit politik, bukan rakyat. Menunda pemilu 2024, tidak hanya menyalahi Pasal 7 UUD yang secara tegas mengatur ambang batas jabatan dan periode presiden, tetapi juga menjadikan hukum kita hanya sebatas ‘stempel’ untuk melegalkan kepentingan penguasa.

Sekarang kita diperhadapkan pada dua pilihan, membiarkan elit politik terus bergerak memenuhi ambisinya, atau ikut berdiri di barisan yang menolak wacana ini dengan keras dan lantang. Untuk melawan kekuatan elit politik, kita perlu membangun basis massa dengan sistematis, terstruktur dan massif pula. Salah satunya dengan berani menjatuhkan sanksi sosial.

Menjatuhkan Sanksi Sosial

Sebagai warga negara yang baik, kita wajib menjaga kesakralan konstitusi dan demokrasi agar tidak disalahgunakan. Untuk itu, people power sebagai gerakan ‘moral’ menjadi salah satu opsi dalam melawan dominasi elit politik. Kita dapat melakukannya dengan memberikan sanksi sosial sebagai bentuk penegasan kedaulatan rakyat dan komitmen penolakan perpanjangan masa jabatan presiden.

Sanksi sosial yang sederhana namun berpengaruh efektif yakni dengan memboikot elit politik pada kontestasi Pemilu 2024 dan tidak lagi menaruh kepercayaan kepada mereka, baik secara kelembagaan sebagai partai politik maupun secara personal sebagai pejabat negara.

Partai-partai yang turut mendukung penundaan Pemilu 2024 seperti PKB, PAN dan GOLKAR adalah lawan kita. Namun bukan berarti menjadikan partai dan pejabat lain yang saat ini masih kontra dengan wacana penundaan pemilu 2024, lantas dijadikan sebagai kawan. Sikap kritis dan kewaspadaan penting kita pegang dengan teguh, mengingat iklim politik kita sangatlah dinamis dan licik. Artinya, bisa jadi partai atau pejabat yang hari ini menolak wacara penundaan pemilu 2024, esok hari tiba-tiba menjadi pro terhadap wacana ini.

Selanjutnya, di negara demokrasi, rakyat adalah penentu keputusan tertinggi, sehingga langkah tidak menaruh kepercayaan serta tidak memilih mereka pada 2024 atau pemilu lainnya adalah langkah tepat sebagai sanksi sosial.

Lagi pula, tidak ada jaminan ketika rezim ini diberi kekuasaan lebih lama mampu bekerja lebih baik. Justru belakangan ini, berbagai persoalan negara mulai dari minyak goreng langkah, mahalnya BBM, kriminalisasi aktivis dan ulama, konflik lahan atas nama pembangunan, pengrusakan lingkungan, kegaduhan yang dibuat institusi negara, hingga produk undang-undang yang menguntungkan oligarki, pemilik partai dan elit politik lainnya, semakin marak terjadi.

Apapun alasannya, Pemilu 2024 harus tetap dilangsungkan. Sebab ini terkait dengan Etika Konstitusi yang harus kita junjung dan jaga bersama. Terlebih, KPU telah menetapkan 14 Februari sebagai pesta demokrasi kita semua. Jokowi sebagai presiden harusnya mengambil sikap tegas menolak wacana ini dan menegur para pembisiknya yang terus membesar-besarkan kejahatan atas konstitusi ini.

Jokowi juga seharusnya belajar dari Presiden Amerika Serikat, Barack Obama. Meskipun rakyat menginginkannya untuk menjabat lagi, namun dia tetap berkomitmen dua periode saja. Semua dilakukan dengan kebesaran hati dan ketaatan atas konstitusi.

 

Akbar, Ketua Umum HMI (MPO) Cabang Makassar 2021-2022

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Edunews.

Kirim Berita

Kirim berita ke email : [email protected][email protected]

ALAMAT

  • Jl. TB Simatupang, RT.6/RW.4, Jati Padang, Kec. Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540 Telepon : 021-740740  – 0817 40 4740

__________________________________

  • Graha Pena Lt 5 – Regus Jl. Urip Sumoharjo No. 20, Makassar Sulawesi Selatan 90234 Telepon : 0411 366 2154 –  0811 416 7811

Copyright © 2016-2022 Edunews.ID

To Top